Kamis, 18 Desember 2014

JURNAL FISIOTERAPI



BAB I
PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang Masalah
Tingkat kecelakaan lalu lintas di kota besar terbilang cukup tinggi. Dimana kecelakaan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan lalu lintas tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban itu sendiri dapt berupa efek fisik dan psikis. Dari segi fisik tentunya kecelakaan dapat menyebabkan timbulnya luka pada setiap jaringan tubuh yang terkena trauma dari kecelakaan lalu lintas baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung dari trauma tersebut dapat berupa adanya fraktur, luka terbuka ataupun kerusakan pada organ dalam tubuh yang dapat juga menyebabkan kematian. Sedangkan efek psikis dari kecelakaan lalu lintas dapat berupa trauma ataupun rasa takut.
Fraktur sebagai akibat dari trauma langsung dapat terjadi pada setiap tulang pembentuk tubuh tergantung dari penyebab dan mekanisme terjadinya trauma. Fraktur adalah suatu kondisi terputusnya kontinuitas dari jaringan tulang yang diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak langsung maupun patologis. Fraktur dapat bersifat tunggal maupun multiple dimana pada fraktur ini dapat mengenai beberapa tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat menimbulkan beberapa macam masalah.
Pada laporan kasus ini fraktur yang terjadi adalah fraktur terbuka tibial plateu dextra, disertai fraktur phalanx pedis dekstra, dan fraktur femur 1/3 tengah dextra, dimana merupakan fraktur yang mengenai tulang tibia, phalanx, dan femur bagian tengah. Adapun penanganan yang dapat diberikan pada kasus ini adalah operasi dengan pemasangan plate and screw pada tibia proksimal dan femur, serta pemasangan kischner pada phalanx 1-3. Masalah-masalah yang ditimbulkan dari post operasi adalah adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak yang terkena fraktur, serta kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder berupa miositis ossifikan, avaskuler nekrosis dan lain sebagainya.
Fisioterapi merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu serta masyarakat untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi sepanjang daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik, mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
Beberapa latar belakang masalah tersebut, maka kami tertarik untuk mencoba mengkaji dan memahami mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx, dan fraktur femur 1/3 tengah dextra.
  1. B.     Identifikasi Masalah
Penanganan yang dilakukan pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dapat dilakukan secara konservatif dan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan yaitu dengan pemasangan plate and srew, dimana pada post operasi pemasangan plate and srew akan ditemui permasalahan yaitu adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak yang terkena fraktur.
  1. C.    Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah dan keterbatasan waktu yang ada, maka kami hanya membatasi permasalahan pada penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan ORIF berupa plate and srew.
  1. D.    Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas, maka kami merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Modalitas fisioterapi apa saja yang dapat digunakan  pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew.
  2. Problematik fisioterapi apa saja yang dialami oleh pasien dengan kondisi open fraktur tibial plateu dextra.
  1. E.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui manfaat terapi latihan pada kasus fraktur tibia plateu dextra yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerak dan aktifitas fungsionalnya.
  1. F.     Manfaat Penulisan Makalah
  1. Bagi Penulis
Adanya penulisan laporan kasus ini akan menambah pemahaman dalam melaksanakan  proses fisioterapi pada kasus post op open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew.
  1. Bagi Institusi
Sebagai referensi tambahan untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post op open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew
  1. Bagi Fisioterapis
Untuk mendapatkan metode terapi yang tepat dan bermanfaat dalam melakukan penanganan pada kasus open fraktur tibial plateu dextra.
  1. Bagi Masyarakat
Sebagai pertimbangan bagi masyarakat mengenai peran fisioterapi pada kasus open fraktur tibial plateu dextra sehingga tidak terjadi malpraktek akibat ketidaktauan masyarakat akibat kesalahan penanganan pada kondisi ini.

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Deskripsi Teoritis
1. Anatomi Fungsional
1. Osteologi
a. Tulang Femur
Femur merupakan tulang panjang terpanjang pada tubuh dan dibagi dalam corpus, collum, ujung proximal, dan ujung distal. Pada corpus kita bedakan menjadi tiga bagian yaitu, facies anterior lateral dan medial. Facies lateral dan medial dipisahkan dari sisi dorsal oleh dua peninggian berbibir kasar, lineaaspira yang merupakan daerah tebal tulang kompakta. Disekitar linea aspera terdapat foramen nutricea, labium medial dan lateral, labiumlateral berakhir pada tuberusitas glutea. Kadang-kadang tuberusitas glutea lebih nyata dan dikenal sebagai trochanter ketiga. Labium medial berjalan kepermukaan bawah collum. Sedikit lebih lateral dari labium medial kita temukan birai yang turun dari trochanter minor yaitu linea pectinea.
Pada bagian proximal dan distal corpus femoris kehilangan bentuk segitigany dan menjadi lebih bersisi empat. Caput femoris dengan lekukan yang menyerupai pusar yaitu fovea cacitis yang mempunyai batas irregular dengan collum. Peralihan dari collum. Peralihan dari collum ke corpus femoris dianterior ditandai oleh linea intochanterica dan diposterior oleh crista introchanterica. Tepat dibawah trochanter mayor terletak fossa trochanterica. Trocanter minor menonjol ke posterior dan medial.
Pada ujung distal dibentuk oleh epicondylus, tepat dekat epicondylus terletak condylus lateralis dan medialis. Keduanya disatukan pada permukaan anterior oleh facies patelaris dan diposterior dipisahkan oleh fossa intercondyloidea. Fossa ini dibatasi oleh linea intercondylloidea yang membentuk dasar segitiga (planumpopiliteum) yang sisinya dibentuk oleh labium divergen linea aspera. Dibawah epycondylus lateralis terletak sulcus popliteus dan diatas epicondylus medialis terdapat tubercullum adductorius.
b. Tulang Patella
Patella merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia. Tulang patella berbentuk gepeng dan segitiga. Apex dari tulang patella menghadap kearah distal. Pada permukaan anterior tulang patella kasar dan permukaan dosal mempunyai permukaan sendi yang dipisahkan ole sebuah peninggian menjadi facies lateralis yang lebih besar dan facies medialis yang lebih kecil.
c. Tulang Tibia
Tulang tibia dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, bagian ujung proximal, corpus dan ujung distal. Bagian tulang tibia membentuk sendi lutut adalah bagian proximal. Pada bagian proximal terdiri atas condylus medialis tibiae. Condylus medialis tibiae permukaan sendi dinamakan facies articularis superior condyli medialis tibiae. Tapi lateral facies artecularis superior condyli medialis agak menonjol dan dinamakan tuberculum intercondyloiddeum mediale. Pada condylus lateralis tibiae permukaan sendi yang dinamakan facies articularis superior condyli lateralis tibiae dinamakan tubercullum intercondyloideum yang memisahkan kedua facies articularis pada bagian ini terdapat eminentia intercondyloideum, fossa intercondyloideum anterior, fossa intercondyloideum posterior. Pada tuberusitas tibea tonjolan dibagian ventral dan merupakan lekat tendo m. Quadriceps femoris melalui ligamentum patella pada bagian corpus (diaphysis) tibiae berbentuk segi tiga dibedakan atas facies lateralis. Facies medialis tibiae, facies psterior tibiae terdapat linea poplitea tempat alas m. Soleus sedangkan pada bagian kranialnya merupakan tempat lekat m. popliteus dan crista interossea tibiae terdapat diantara facies lateralis dan facies posterior berhadapan dengan crista interossea fibulae. Pada bagian distal agak melebar dibagian terdapat malleolaris. Incisura fibularis pada malleolus medialis bagian medial pars distalis yang menonjol kekaudal, pada sulcus malleolaris permukaan dorsal malleolaris medial yang dilalui oleh tendines mm. Tibialis posterior et flexordigitorum longus. Pada incisura fibularis lekukan dibagian lateral yang berhubungan dengan fibulae.
d. Tulang Fibula
Tulang fibula dibagi menjadi tiga bagian yaitu ujung proximal, corpus, dan ujung distal. Pada bagian proximal terdiri capitulum fibulae melekat kebagioan karniodorsal tibia. Puncak capitulum fibulae dinamakan apex capituli fibulae. Pada bagian corpus fibulae berbentuk seperti prisma. Tapi yang berhadapan dengan crista interossea tersebut dihubungkan oleh membrana interossea cruris. Pada bagian distal ditandai oleh penonjolan kekaudal yang dinamakan malleolus lateralis. Malleolus lateralis mempunyai permukaan sendi dinamakan facies articularis malleoli lateralis yang bersendi dengan tulang talus dipermukaan dorsal malleolus lateralis terdapat sulcus tendinis mm. Peronerum.
e. Tulang Talus
Tulang talus dibagi menjadi tiga yaitu caput tali, collum tali, corpus tali. Pada bagian caput tali terdapat facies articularis navicularis yang bersendi dengan naviculare pedis. Pada collum tali menghubungkan capu tali dan corpus tali. Di collum tali terdapat sulcus tali yang bersamaan dengan tulang calcaneus membentuk sinus tarsi. Sinus tarsi tempati oleh ligamen talocalcaneum interosseum. Pada bagian corpus tali dimana terdapat trocheal tali, facies malleolaris meialis tali, processus lateralis tali, processus poterios tali. Pada bagian processus posterior tali terbagi menjadi dua yaitu tubercullum laterale dan tubercullum mediale.
f. Tulang Calcaneus
Tulang calcaneus dibagi menjadi dua yaitu facies articulares talares anterior et media dan facies talares posterior. Pada facies articulares talares menonjol kemedial dinamakan sustentaculum talim. Dibagian dorsal calcaneum terdapat tonjolan besar dinamakan tuber calcanei. Permukaan medianya terbagi dua bagian yaitu processus medialis calcanei dan processus lateralis tuberis calcanei.
g. Tulang Naviculare Pedis
Tulang naviculare pedis dilihat dari distal terdiri dari facies articularis terdapat caput tali dan ossa cuneiformiae dipermukaan medianya tuberusitas ossis naviculare pedis yang dapat diraba dibawah depan malleolus medialis.
h. Tulang Cuneuforme
Tulang cuneuforme terdiri atas tulang cuneuforme medialis berbentuk paling besar bentuknya. Tulang cuneuforme intermedius paling kecil permukaan sendinya seperti huruf “L” terbalik dan tulang cuneiforme lateralis.
i. Tulang Metatarsale
Tulang metatarsale terdiri dari lima buah setiap bagian terdiri dari corpus distal, media, lateral.
j. Tulang Basis Phalangis
Tulang basis phalangis terdiri dari lima setiap bagian terdiri dari distal, medial, lateral.
k. Tulang phalanx
Tulang phalanx terdiri dari phalanx distal, phalanx proksimal
2. Otot-otot Tungkai Atas
a. Otot Sartorius
Origo            : Spina iliaca anterior superior
Insertio         : Facies madialis tibiae dekt tuberusitas tibiae bersama-sama
Dengan tendo otot gracilis dan otot semitendinosus
b. Otot Rectus femoralis
Origo            : Caput rectum, spina anterior inferiorcaput obliqum, agak
dikranial acetabulum
Insertio         : Tuberusitas tibiae melalui ligament patellae
c. Otot-otot Vastus medialis
Origo            : Bagian paling kaudal linea intertrochanterica, labium mediale
linea aspera
Insertio         : Tepi medial tendo otot rectus femoralis, patella
d. Otot-otot Intermedius
Origo            : Permukaan depan dan lateral femur
Insertio         : Tendo otot rectus femoralis
e. Otot-otot Vastus lateral
Origo            : Permukaan depan dan kaudal trochanter major, labium laterale
Linea aspera
Insertio         : Tepi lateral tendo otot rectus femoris, patella
f. Otot Articularis genu
Origo            : Permukaan depan bagian kaudal femur
Insertio         : Permukaan atas dan lateral capsula articularis articulatio genu
g. Otot Pectineus
Origo            : Pectin ossis pubis, fascia pectinea
Insertio         : Linea pectinea femoralis
h. Otot Adductor longus
Origo            : Ramus superior ossis pubis diantara symphisis et tuberculum
pubicum
Insertio         : Labium mediale linea aspera
i. Otot Gracilis
Origo            : Ramus inferior ossis pubis
Insertio         : Facies mediale tibea dekat tuberositas tibea bersama-sama dengan
tendineae mm. sartorius et semitendinosus (Pesanserinus)
j. Otot Adductor Brevis
Origo            : Ramus inferior ossis pubis
Insertio         : Labium mediale linea aspera
k. Otot Adductor Magnus
Origo            : Ramus inferior ossis pubis
Insertio         : Labium mediale linea aspera
l. Otot Adductor Minimus
Origo            : Ramus inferior ossis pubis
Ramus inferior ossi inchi
Insertio         : Labim mediale linea aspera
m. Otot Semimembranosus
Origo            : Tuber ischiadikus
Insertio         : Condilus mediale tibiae
n. Otot Bicep femoralis
Origo            : Caput longum : tuber ischiadicum
Caput breve    : labium laterale linea asperae
Insertio         : Capitulum fibulae, condylus lateralis
3. Otot Tungkai Bawah
a. Otot Tibialis anterior
Origo            : Condylus lateralis tibea, facies lateralis tibea, membrane interssea
Cruris, facies cruris
Insertio         : Permukaan plantar tulang cuneuforme I, permukaan atas basis
Ossis metatarsalis I
b. Otot Extensor digitorum longus
Origo            : Capitulum et facies medialis fibulae, fascia cruris
Insertio         ; Aponeurosis dorsalis jari kaki II, V
c. Otot Pereneus tirtius
Origo            : Fibula (merupakan bagian paling lateralis m. extensor digitorum
longus)
Insertio         : Basis ossis metatarsalis 5
d. Otot Extensor Hallucis Longus
Origo            : Facies medialis fibulae, membrana interossea cruris
Insertio         : Basis phalanx terakhir ibu jari kaki
e. Otot Gastocnemius
Origo            : Caput mediale epicondylus medialis moris, caput latrale,
epicondylus lateralis femoris
Insertio         : Tuber calcanei dengan perantaraan tendo calcanei achilles
f. Otot Soleous
Origo            : Capitulum febulae, facies posterior fibulae, linea poplitea tibiae,
Arcus tendinis otot soleus
Insertio         : Tuber calcanei melalui tendo calcanei achillus
g. Otot Tibialis Anterior
Origo            : Condylus lateralis femoralis, ligament popliteum tibiae
Insertio         : Planum popliteum tibiae
h. Otot Plantaris
Origo            : condylus lateralis femoralis
Insertio         : Tuber calcanei
i. Otot Flexor Digitorum Longus
Origo            : Facies posterior tibiae, facies cruris lembar dalam
Insertio         : Phalanx distal jari kaki II, III
j. Otot Flexor Hallucis Longus
Origo            : Facies posterior fibulae, facies cruris lembar dalam
Insertio         : Phalanx distal ibu jari kaki
k. Otot Tibialis Posterior
Origo            : Facies posterior fibulae, membrane interossea cruris, facies
posterior tibiae
Insertio         : Tuberositas ossis navicularis
l. Otot Peroneus Longus
Origo            : Facies lateral fibulae
Insertio         : Ossa curneuforme I, basis ossis metatarsalis I.
m. Otot Peroneus Brevis
Origo            : Facies lateralis fibulae
Insertio         : Basis ossis metatarsalis V
4. Otot-otot Kaki
a. Otot Extensor Hallucis Brevis
Origo            : Bagian depan calcaneus
Insertio         : Oponerosis dorsalis ibu jari kaki
b. Otot Extensor Digitorum Brevis
Origo            : Bagian depan calcaneus
Insertio         : Oponerosis dorsalis jari kaki II sampai V
c. Otot bAbduktor Hallucis
Origo            : Processus medialis tuberis calcanei, flexor retinaculum
Insertio         : Sisi medial phalanx proximal
d. Otot Flexor Digitorum Brevis
Origo            : Processus medialis calcanei, aponerosis plantaris
Insertio         : Phalanx intermedius jari II sampai V
e. Otot Abduktor Digiti V
Origo            : Processus medialis et lateralis tuberis calcanei
Insertio         : basis ossis metatarsalis V, basis phalanx proximal jari V
f. Otot Quadratus Plantae
Origo            : Facies plantaris calcanei
Insertio         : Facies plantaris tendo otot flexor digitorum longus
g. Otot Lumbricales
Origo            : Tendo flexor digitorum
Insertio         : Aponerosis dorsalis jari II sampai IV
h. Otot Adduktor Hallucis
Origo            : caput obliqulum basis asseum metatarsalae II sampai V caput
tranversum sampai sendi articularis metatarsophalanxealis II sampai V
Insertio         : Basis phalanx proximal ibu jari
i. Otot Flexor Digiti V Brevis
Origo            : Basis ossis metatarsalis V
Insertio         : Basis phalanx proximal jari V
5. Ligamen-ligamen pada sendi lutut
a. Ligamen Collateral Medial
Terbentang dari condylus medialis femoralis sampai tuberositas tibia
b. Ligamen Collatera lateral
Barasal dari condylus lateralis menuju capitulum
c. Ligamen Cruciatum Anterior
Berjalan dari fossa intercondyloidea anterior tibia kepermukaan medial condylus lateral femoralis
d. Ligamen Cruciatum Posterior
Berjalan dari permukaan lateral condylus femoralis medial kefossa intercondylodea posterior tibia. Ligamen ini diperkuat oleh ligamen cruciatum anterior
e. Ligamen Popliteum Arcuatum
Terletak pada daerah femoralis, erat hubungannya dengan otot popliteum
f. Ligamen Popliteum Obliqum
Berjalan dari condylus lateralis femoris kemudian turu menyilng menuju facia meial popliteum
6. Ligamen-ligamen pada sendi kaki
a. Dilihat dari lateral
1) Ligamen Talofibulare posterior
Berjalan dari  tulang talus melintang ketulang fibula bagian belkang
2) Ligamen Calcaneofibulare anterius
Berjalan dari tulang calcaneus membentang ketulang fibula
3) Ligamen Tibiofibulare anterius
Berjalan tulang tibia bagian depan dan tulang fibula bagian depan
4) Ligamen Talofibulare anterius
Berjalan tulang talus membentang lurus ketulang fibula bagian depan
5) Ligamen Calcaneonavicular
Berjalan dari tulang calcaeus dan tulang naviculare melintang pada gagian atas punggung kaki.
6) Ligamen Calcaneocuboideum
Berjalan dari tulang calcaneus dan tulang cuboideum pada bagian atas
punggung kaki
b. Dilihat dari medial
1) Ligamen Tibiotalare Anterius
Berjalan melintang dari depan dari ujung Tibia dan tulang talus pada sisi depan
2) Ligamen Tibiotalare Posterior
Berjalan melintang dari belakang dari tulang Tibia dan tulang Talus pada sisi belakang
3) Ligamen Tibionaviculare
Berjalan disamping pada tulang tibia dan tulang Naviculare
7. Biomekanika pada sendi lutut dan pergelangan kaki
a. Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan struktur tulang dari tungkai atas dan tungkai bawah yaitu tulang femur, tibia, fibula dan patella serta dibentuk dari beberapa ligamen dan minikus. Sendi lutut mempunyai gerakan diantaranya fleksi, ekstensi, eksternal rotasi. Gerakan fleksi dari posisi full ekstensi, dimulai gerakan rotasi secara simultan tibia terhadap femur melalui kontraksi otot popliteus, selanjutnya terjadi gerakan fleksi aktiv akibat kontraksi M. Hamsting.
Pada gerakan fleksi-ekstensi maka meniscus akan menguat terhadap tibia yang bergerak terhadap femur. Pada gerakan rotasi dengan fleksi lutut, maka meniscus akan bergerak mengikuti femur trhadap tibia. Ligamentum cruciatum anterior akan mengalami penegangan saat ekstensi dan mengendor saat fleksi. Gerakan rotasi eksternal tibia terhadap femur pada 20 derajat menuju posisi ekstensi disebut mekanisme screw home dan keaadan tersebut dipengaruhi sususnan kondilus dan pengendalian struktur ligamentosa.
Kontraksi Mm. Quadriceps maka parella, ligamentum yang berhubungan dengan kapsula sendi akan tertarik kearah anterior dan keatas, sehinggga mencegah terjadinya pergerakan antara condylus pada sisi yang berlawanan. Ada tiga facet sendi pada permukaan persendian dari femur. Pada pergerakan menuju fleksi meuju ekstensi, maka hubungan antara permukaan sendi melalui dari facet medial dan selanjutnya kefacet interior. Kerja otot pada pergerakan ekstensi dilakukan oleh kelompok otot bicep femoris.
Struktur ligament akan membantu ekstensi lutu ketika tibia menguat pada posisi menumpu berat badan. Saat lutut bergerak dari fleksi keekstensi, gerakan kondylus lateral akan dihentikan pada gerak sendi 160 derajat oleh ligamen cruciatum anterior dan ligamentum colateralis. Selanjutnya dari kontraksi quadriceps menyebabkan kondylus medialis akan menambah jangkauan jarak gerak sendi sebesar 20 derajat (untuk menambah full fleksi menjadi 180 derajat) dan menimbulkan gerakan internal rotasi tibia terhadap femur.
b. Sendi Pergelangan Kaki
Struktur tulang pembentuk sendi pergelangan kaki dibentuk oleh dua buah tulang sendi berikut:
1) Pada bagian proximal disusun oleh dua buah tulang panjang yang merupakan
struktur tulang dari tungkai bawah yaitu tulang tibia dan fibula.
2) Pada bagian distal disusun oleh 12 tulang pendek yang merupakan struktur
tulang dari kaki yaitu : tulang talus, tulang calcaneus, tulang kuboideum, metatarsal I, II, III, IV dan V
2. Fraktur tibia plateu
1. Pengertian 
Fraktur Adalah suatu diskontuinitas susunan/jaringan tulang yang
disebabkan oleh trauma atau keadaaan patologis. (Kumpulan bahan kuliah Program Diploma IV Fiosioterapi, 2004)
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang partial (Chairudin rasjad). Jadi fraktur tibia plateu merupakan kasus yang sering menimbulkan komplikasi sekunder seperti kelainan sendi lutut dan instabilitas sendi lutut. Sehingga akan menyebabkan gangguan fungsi sendi dan disability setelah cidera. (Apley, 1995)
2. Etiologi
Menurut Apley (1995) bahwa penyebab terjadinya fraktur dibedakan menjadi 4 macam yaitu a) fraktur karena trauma langsung ( direct violence ), b) fraktur karena trauma tak langsung (indirect violence), c) fraktur akibat kelelahan tulang (fatique fracture) dan d) karena kondisi patologis (pathological fracture ). Fraktur yang terjadi pada kasus ini adalah fraktur karena trauma langsung pada tibia plateu akibat kecelakaan lalu lintas.
  1. Patofisiologi fraktur tibia plateu
Mekanisme cidera pada fraktur tibia plateu disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas tertabrak motor sehingga terjadi fraktur pada tibia plateu. Menurut Adam (1992) sebagian besar fraktur pda tibia plateu sering diikuti kerusakan permukaan sendi lutut dan gangguan stabilitas sendi, sehingga menyebabkan arthropathy dan disabilitas. Beberapa jaringan lunak sering mengalami kerusakan termasuk meniskus dan ligamentum stabilisator sendi lutut, namun apabila trauma yang terjadi sangat keras sering pula mengalami kerusakan arteri popletia dan pembuluh saraf tepi terutama nervus peroneus dan tibialis.
Jaringan yang mengalami cidera akan melewati beberapa tahap untuk mencapai penyembuhan yaitu tahap injury, inflamasi, proliferasi sel dan remodeling, ( Miclovitz, 1996)
  1. Gambaran Klinis
Tanda yang menunjukan adanya fraktur tibia lateu tidak jauh berbeda dengan tanda fraktur secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas dan gangguan fungsi, namun pada fraktur tibia plateu ini mempunyai ciri-ciri yang khas adanya pembegkaanpada lutut dan sedikit deformitas, memar biasanya luas dan jaringan terasa adonan karena hemathrosis. Pada pemeriksaan secara hati-hati ( dibawah anesthesia) dapat menunjukan ketidakstabilan kearah medial  maupun lateral. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa dengan cermat untuk mencari ada tidaknya tanda tanda cidera pembuluh darah    dan neurulogi ( Apley, 1996).
4. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur ada dua yaitu:
a. Fraktur terbuka: terputusnya hubungan tulang dan menembus jaringan otot dan kulit sehingga dapat terlihat dari luar.
b. Fraktur tertutup: terputusnya hubungan tulang tetapi fraktur ini tidak
menembus jaringan kulit, sehingga tidak terlihat dari luar.
Houglund dan states mengklasifikasikan fraktur tibia berdasarkan bearnya energi yang menyebabkan terjadinya fraktur, yang dapat menentukan prognosis:
a. Fraktur berkekuatan tinggi; misalnya dari kecelakaan mobil dan tabrakan,
fraktur dari group ini sembuh kira-kira 6 bulan.
b. Fraktur berkekuatan rendah ; misal dari kecelakaan bermain ski, fraktur dari group ini sembuh kira- kira 4 bulan.
  1. Komplikasi
Komplikasi yang sering muncul akibat fraktur tibia plateu adalah (1) kekakuan sendi lutut, (2) deformitas sendi lutut, (3) osteoarthritis lutut. ( Apley, 1995).
2. ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
A. Definisi
ORIF adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk mengembalikan struktur tulang yang fraktur pada keadaan anatomis dari dalam dengan memberikan ikatan dari dalam.
B. Jenis Perangkat Fiksasi
  1. Cortical bone screw
  2. Cancellous bone screw
  3. Self tapping screw
  4. Dinamik hip screw / dinamik condilar screw
  5. Plates
  6. Blade p;ates
  7. Intramedularis nail
  8. Tension band wiring
C. Indikasi Fiksasi Internal
  1. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi misalnya fraktur dengan displacement dan tidak stabil.
  2. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran setelah dilakukan reduksi, misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan kaki yang bergeser.
  3. Fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh otot, misalnya fraktur melintang pada patella atau olecranon.
  4. Fraktur yanfg penyatuaannya kurang baik dan perlahan-lahan terutama pada frakktur leher femur.
  5. Fraktur patologi akibat suatu penyakit tulang
  6. Fraktur multiple dimana bila fiksasi dini dengan fiksasi internal atau dengan tujuan untuk mrengurangi resiko komplikasi umum dan kegagalan berbagai organ sistem tubuh (Philips dan Conteas, 1990).
  7. Kondisi fraktur dimana suplay drah pada angggota gerak tergangggu dan pembuluh-pembuluh darah harus terlindungi (Dandy, 1990)
  8. Ditemukan banyak debris, dan fragmen yang merusak jaringan otot dan jkaringan lunak lainnnya.
D. Penentuan Penggunaan Tipe Fiksasi
  1. Posisi fraktur
  2. Panjang dan bentuk fraktur
  3. Ukuran fraktur
  4. Tekstur dan kekuatan otot diarea sekitar fraktur. (Mc. Rae, 1994)
E. Keuntungan Fiksasi Internal
  1. Memberikan kesempatan yang lebih baik untuk reduksi dan penyambungan tulang (Mc. Ray, 1994)
  2. Memberikan kesempatan mobilisasi awal dan latihan yang lebih cepat
  3. Mobilisasi dan latihan yang lebih cepat komplikasi fraktur dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
  4. Pasiewn dapat pulang kerumah lebih awal dengan ctatan pulang agar pasien tetap melakukan latihan-latihan yang diberiakan selam dirumah sakit dan menjauhkan larangan-larangan yang diberikan seperti tidak boleh melkukan pembebanan yang maksimal pada daerah fraktur.
F. Komplikasi Fiksasi Internal
  1. Komlikasi infeksi, merupakan penyebab osteotis yang paling sering ditemukan, hal ini tidak diakibatkan logam yang digunakan tapi akibat pembedahan yang tidak memenuhi standart aseptic dan antiseptic.
  2. Non union, hal ini lebih sdering ditemukan pada tulang lengan atau tungkai bawah dimana apabial hanya salah satu tulang yang patah dan tulang yang sebelahnya tetap utuh.
  3. Kegagalan implant, diakibatkan implant yang ditananamkan kropos dan penyatuan tulang yang patah belum terjadi. Apabila ditemukan rasa nyeri yang hebat pada fraktur harus diwaspadai dan ditangani.
  4. Fraktur tulang diakibatkan karena pelepasan implant yang terlalu cepat, waktu yang paling cepat pelepasan implant minimal satu tahun dan satu setengah tahun dan yang paling aman setelah dua tahun setelah masa pelepasan tulang dalam kondisi lemah diperlukan perwatan dan perlindungan.
G. Teknik Tindakan ORIF
  1. Banyak metode yang digunakan tergantung jenis kondisinya fraktur dan perangkat yang digunakan juga dengan alasan yang sama.
  2. Bila menggunakan plate, memungkinkan plate harus dipasang pada permukaan yang dapat diregangkan yaitu pada sisi tulang yang cembung.
  3. Bila menggunakan paku intermedular digunakan paku yang dapat dikuncikan dengan sekrup melintang. (Muller dkk, 1991)
3. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Post ORIF Open Fraktur Tibia plateu Dextra dengan Plate and Screw
  1. Pemeriksaan Subjektif
a.Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk memperoleh informasi akurat dan relevan, sehingga pertanyaan harus jelas dan mudah dijawab. Anamnesis dikelompokkan menjadi: a. Heteroanamnesis, tanya jawab pada orang-orang/keluarga pasien yang mengetahui kondisi pasien, b. Autoanamnesis, tanya jawab secara langsung kepada pasien, dapat dibagi menjadi: 1) anamnesis umum, 2) anamnesis khusus.
Keluhan utama mengenai keluhan yang mendorong pasien mencari pertolongan termasuk didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, faktor – faktor yang memperberat atau memperingan, irritabilitas dan derajat berat keluhan, sifat keluhan dalam 24 jam, dan stadium dari kondisi.
Riwayat Penyakit Sekarang berupa perjalanan penyakit dan riwayat pengobatan
  1. Pemeriksaan Objektif
a. Tanda-tanda vital
Tanda – tanda vital adalah tanda / gambaran pada tubuh seseorang yang penting untuk diketahui sehingga kita dapat mengetahui keadaan tubuh seseorang,pemeriksaan tanda vital meliputi
1)      Tekanan darah
2)      Denyut nadi
3)      Frekuensi pernafasan
4)      Temperature
5)      Tinggi badan
6)      Berat badan
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal yang bisa dilihat/diamati seperti keadaan umum, kondisi berat badan, sianosis, pucat, bentuk thorak,bentuk vertebra,gerakan – gerakan pernafasan abnormal,kontraksi otot bantu pernafasan, clubbing finger. Macam-macam inspeksi ada 2, yaitu:
1)      Inspeksi statis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan diam.
2)      Inspeksi dinamis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan bergerak, contoh waktu penderita bernafas,beraktivitas.
c. Palpasi
Palpasi adalah cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang organ/bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya spasme otot, nyeri tekan, suhu, tumor/oedema, kontur organ , tingkat kesamaan ekspansi, atropi, kontraktur
d. Perkusi
1)      Dull bila ada kolaps/konsolidasi
2)      Stoney dull bila ada efusi pleura
3)      Sonor (jaringan paru yang normal)
4)      Hypersonor (hyperinflasi, pneumothorax)
5)      Redup (konsolidasi,atelektasis)
6)      Pekak (pleural effusion)
e. Auskultasi
Proses untuk mendengarkan dan menginterpretasikan suara yan timbul dalam thorak dengan menggunakan alat bantu “stethoscope”. Dipergunakn untuk mengidentifikasi gangguan ventilasi atau gangguan pembersihan jalan nafas ( lokasi mukus) dan menilai efektifitas terapi, serta untuk mendengarkan suara jantung.
f. Pemeriksaan Gerak Dasar
1) Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif; untuk menentukan kekuatan otot, ROM aktif, nyeri dan koordinasi gerak.
2) Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif; untuk menentukan ROM pasif (normal, hypomobilitas, hypermobilitas), nyeri, end feel, bunyi, tonus dan panjang otot.
3) Pemeriksaan kontraksi isometrik; untuk menelaah rasa nyeri (provokasi myotendinogen) dan kelemahan otot (gangguan neuromuskular).
g. Pemeriksaan Khusus antara lain; Palpasi yaitu untuk memeriksa temperature local, nyeri tekan, dan bengkak Antropometri yaitu untuk memeriksa adakah perbedaan panjang segmen, lingkar segmen, oedem, atropi otot.
h. Pemeriksaan penunjang, seperti sinar X, MRI, CT scan, laboratorium.
i. Muscle Test (Kekuatan Otot) adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui kemampuan seseorang dalam mengkontraksikan group ototnya secara voluntary.
Nilai:
0 = Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
1 = Kontraksi otot bisa dipalpasi tapi tidak ada gerakan sendi
2 = Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melaqwan gravitasi
3 = Subyek bergerak penuh dengan LGS penuh melawan gravitasi      tanpa
melwan tahanan
4 = Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan sedang (moderat)
5 = Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan maximal.
j. Anthropometri (Pengukuran komposisi tubuh): Pengukuran lingkar segmen tubuh yaitu pada anggota gerak bawah untuk menetahui ada tidaknya udem. Dilakukan dengan menggunakan meteran (meter line), pelaksanaan pengukuran lingkar anggota gerak ini menggunakan patokan lingkar lutut yaitu tuberusitas tibia.
k. ROM Test: menggunakan goniometer untuk mengetahui luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi.
l.  Pemeriksaan nyeri: dengan skala VAS, cara pengukuran derajat nyeri dengan menunjukkan satu titik pada garis skala nyeri (0-10cm). Salah satu ujung menunjukkan tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri yang hebat. Panjang garis mulai dan tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.
3. Problem Fisioterapi
Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita post ORIF open  fraktur tibia plateu dextra dengan plate and screw dilakukan secara bertahan susuai dengan problem yang ditemukan pada saat dilakukan assesment. Untuk itu sebelum melakukan intervensi fisioterapi, hendaknya kita mengetahui problem fisioterapi apa saja yang ada pada penderita dengan post ORIF open fraktur tibia plateu dextra dengan plate and screw
  1.  Terdapat udema disekitar knee dan ankle
  2. Adanya nyeri tekan dan gerak pada daerah cidera
  3. Adanya penurunan LGS knee
  4. Kelemahan otot –otot flexor dan extensor knee
  5. Adanya spasme otot quadriceps
4. Diagnosa Fisioterapi
Impairment (gangguan), functional limitation (Keterbatasan fungsi), dan disability/participation restriction (ketidakmampuan) yang menyebabkan kecacatan.
5. Rencana Intervensi
a. Target dan tujuan intervensi terapi dibuat setelah diagnosa fisioterapi ditetapkan berdasarkan penemuan atau hasil pemeriksaan yang ada.
b.  Rencana intervensi fisioterapi meliputi:
(1) Tujuan jangka pendek: Mengurangi udema, mengurangi nyeri, mengurangi spasme, meningkatkan dan memelihara ROM, meningkatkan dan memelihara kekuatan otot.
(2)   Tujuan jangka panjang: meningkatkan, mengembangkan dan memelihara kemampuan fungsional ADL pasien secra mandiri
c. Rencana intervensi
(1) Terapi latihan: passive movement, aktif movement
(2) Transfer dan ambulasi
(3) Edukasi
6. Metode intervensi
a. Terapi latihan: Terapi latihan merupakan jenis terapi yang didalam pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan tubuh, baik secara pasif maupun aktif (Kisher, 1996). Appley (1995) berpendapat bahwa penanganan pasca operasi dengan mobilisasi sedini mungkin betujuan untuk mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional serta memperbaiki fungsi tubuh.
Modalitas fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan berupa:
1. Passive movement/ gerakan pasif
Pasive movement adalah suatu latihan yang dilakukan dengan gerakan yang dihasilkan oleh kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot pasien ( Kisner, 1996). Tehnik yang digunakan adalah relaxed passive movement , yaitu pemberian gerak pasif sampai batas nyeri pasien tanpa pemberian kekuatan tambahan dari terapis. Menurut Gartland (1996) relaxed passive movement bermanfaat untuk mempertahankan LGS dan mencegah kontraktur otot.
2. Active movement/ gerakan aktif
 Active movement adalah  gerakan yang timbul dari kontraksi otot pasien sendiri secara volunteer atau sadar ( Kisner, 1996). Dengan gerakan aktif akan menimbulkan kontraksi otot, meningkatkan sirkulasi darah dan nutrisi ke jaringan lunak di sekitar fraktur termasuk fraktur itu sendiri sehingga proses penyambungan tulang akan berlangsung lebih baik.
b. Transver dan ambulasi: salah satu prinsip penanganan pasca operasi yaitu mobilisasi dini mungkin untuk mencegah komplikasi tirah baring lama (Appley, 1995). Latihan transfer dilakukan bertahap yaitu mulai dari tidur terlentang lalu duduk long sitting dengan bantuan tumpuan pada kedua elbow saat bangun kemudian kedua lengan lirus kebelakang menyangga tubuh setelah itu lakukan bridging untuk menggeser keduduk ongkang-ongkang dengan kedua tungkai digeser menuju ketepi bed dan menggantung dapat juga tungkai yang sakit dibabtu oleh terapis lau gerakan badan maju hingga kaki yang sehat menyentuh lantai dan kaki yang sakit menggantung dan lakukan latihan berdiri dengan kruk disertai latihan keseimbangan memberikan dorongan kesamping kanan kiri dan kedepan belakang juga kaki yang sakit diayun ayunkan dengan posisi menggantung. Latihan jalan dengan kruk dapat diberikan jika pasien telah mampu dan keseimbangan telah membaik dengan metode Non Weight Bearing (NWB), dengan cara pasien latihan jalan dengan kedua tangan menumpu pada kruk dan dimulai dari kruk kaki yang sehat sedang kaki yang sakit digantung.
c. Edukasi:
(1) Agar melakukannya sendiri dalam bentuk beraktif pada otot-otot yang tidak mengalami kelemahan dan latihan gerak pasif dengan bantuan keluarga, pada otot yang mengalami kelemahan seperti yang telah dianjurkan terapi
(2) Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga pasien supaya rajin berlatih sesuai program yang diberikan terapis.
(3) Disarankan untuk tidak melakukan aktivitas berat dulu, yang menumpu pada kaki terlalu lama terutama kaki yang sakit jangan menumpu dahulu, jika jalan diusahakan jangan ada trap-trapan dan jangan ditempat yang licin.
(4) Pada saat jalan dengan kruk, hendaknya tungkai yang sakit digantung (NWB) selama sekitar 4-5 minggu atau dapat dilihat hasil foto ronsen apakah sudah terjadi penyambungan tulang yang patah/fraktur atau tulang sudah cukup kuat untuk menyangga berat tubuh, kemudian setelah itu dapat dilanjutkan dengan metode Partial Weight Bearing (PWB) yaitu kaki yang sakit menumpu tapi tidak penuh melainkan sebagian. Setelah menapak penuh dan dipastikan tulang tersebut sudah benar-benar kuat kemudian diteruskan dengan Full Weight Bearing (FWB). Diharapkan keluarga membantu memberi suport agar semangat dalam berlatih.
7. Rencana Evaluasi
Sesuai dengan problematik fisioterapi
8. Prognosis berisi perkiraan mengenai kondisi pasien
Quo ad vitam               : mengenai perkiraan hidup mati pasien
Quo ad sanam              : mengenai perkiraan sembuh tidaknya penyakit
Quo ad fungsionam      :mengenai perkiraan kemampuan fungsi    aktivitas sehari – hari
Quo ad cosmeticam      : mengenai perkiraan  penampilan pasien
9. Penatalaksanaan Fisioterapi
berupa tindakan yang dilakukan terapis kepada pasien
10. Evaluasi hasil terapi
Evaluasi adalah tindakan untuk membandingkan data sebelum dan sesudah terapi agar lebih mudah dan lebih cermat dalam mengetahui perkembangan terapi.
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal pembuatan laporan 21 juli 2007
Kondisi : FT Muskuloskeletal
A. Keterangan Umum Penderita
Nama                      : Tn. Sukron Maenggal
Umur                      : 34 tahun
Jenis kelamin          : Laki-laki
Hobi                        : Olah raga
Agama                    : Islam
Pekerjaan                : Wiraswasta
Alamat                    : Dorokondang 3/1 lasem, Rembang
  1. A.    Data-data Mesis Rumah Sakit
    1. Diagnosis Medis
Open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra dan CF. Femur 1/3 tengah dextra.
  1. Diagnosis Klinis
Pasien tidak bisa menggerakkan atau menekuk lutut kanan.
  1. Medika Mentosa
    1. obat premedikasi : sufasatropin
fortanes
pytaidin
buvanes
  1. obat injeksi : ephedrin
linodex 5%
anua 25 ml
remapnin
  1. Hasil Lab
Leukosit               : 20,200/mm
Hemoglobin         : 12,7 Gr/dl
Laju endap darah : 12 /jam
HbsAg                  : Negatif
  1. Laporan Operasi
Tanggal 05 juli 2007
Dx. Pra Bedah                        :
Open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra, dan CF. femur 1/3 tengah dextra.
Dx. Pasca Bedah         :
Idem
Macam Tindakan        : ORIF dengan plate and screw dan kischner.
  1. Foto Rotgen
Tanggal 21 juni 2007
Tampak fraktur spiral tibia plateu dextra
Tampak fraktur phalanx 1-3 pedis dextra
Tampak fraktur CF. femur1/3 tengah dextra
Tanggal 05 juli 2007
Tampak Pemasangan internal fiksasi plate and screw pada os tibia dan os femur serta pemasangan kischner pada os palanx.
  1. B.     Segi Fisioterapi
    1. Pemeriksaan Subyektif
      1. Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis:
Keluhan Utama
Nyeri pada luka incisi kaki kanan didaerah 1/3 proximal tibia dan kesulitan untuk menggerakan tungkai kanan, terutama untuk menekuk. Pasien juga mengeluh rasa baal pada tungkai bawah sisi medial , rasa panas pada lutut, dan gatal-gatal sekitar daerah incisi.
Lokasi keluhan yaitu pada 1/3 proxsimal tibia.
Onset yaitu Dimulai sejak pada tanggal 21 juni 2007 ditabrak  sepeda motor oleh karena kecelakaan lalu lintas, kemudian pasien tidak bisa jalan dan dibawa keRSO tanggal 21 juni 2007. Dilakukan operasi pada tanggal 05 juli 2007.
Faktor-faktor yang memperberat yaitu Pada saat menggerkkan lutut kanan.
Faktor-faktor yang memperingan yaitu pada saat tidur terlentang
Sifat keluhan dalam 24 jam yaitu dinamis
Stadium dari kondisi yaitu kronis
1)      Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 21 juni 2007 pasien mengalami kecelakaan ditabrak sepeda motor, kemudian dibawa keRSO disurakarta untuk mendapatkan tindakan dan pertolongan pertama. Setelah mengetahui bahwa pasien mengalami perpatahan tulang pada bagian 1/3 proxsimal tibia, 1/3 tengah femur, dan phalanxz kaki kanannya, kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hasil diagnosisnya adalah open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra, dan CF. femur 1/3 tengah dextra. Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 05 juli 2007 pemasangan ORIF dengan plate and screw ditibia proxsimal dan femur tengah, dengan kischner diphalanx 1-3. kemudian pasien mengalami rawat inap.
2)      Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama seperti pasien.
3)      Status Sosial
4)      Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak memiliki hipertensi, penyakit jantung, DM, gangguan paru (asma), tetapi memiliki riwayat trauma.
  1. Pemeriksaan Objektif
1)      Pemeriksaan tanda vital
a)      Tekanan darah       : 120/80 mmHg
b)      Denyut nadi          : 88 x/menit
c)      Frek. Pernafasan   : 16 x/menit
d)     Temperatur            : 37 0 C
e)      Tinggi badan         : 175 cm
f)       Berat badan           : 65 kg
2)      Inspeksi
Statis :
a)      KU baik
b)      Tungkai dextra dipasang elastis bandage
c)      Terdapat oedema pada patella dextra
d)     Tampak tropic change pada tungkai bawah
e)      Tidak atropi dan decubitus
f)       Saat pasien istirahat tidak menahan nyeri
Dinamis :
a)      Tampak ekspresi wajah pasien kesakitan saat lutut kanannya di pasifkan oleh terapis
b)       Pasien jalan menggunakan kruk (NWB)
c)      Gangguan gerak pada hip, knee, dan phalanx dextra
3)      Palpasi
a)       Adanya nyeri tekan pada pada daerah cidera
b)      Suhu lokal pada daerah cidera (lutut kanan) lebih tinggi dari daerah yang sehat
c)       Adanya spasme otot gastrocnemius kanan
d)      Tidak ada pitting oedema
e)       Terdapat tropic change disekitar daerah tungkai bawah dan ankle
4)      Perkusi
5)      Auskultasi
6)      Gerakan Dasar
a)      Gerak pasif
1. AGB Sinistra
Hip     : Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan flexi,
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee : Mampu untuk digarakkan fexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle : Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB Dextra
Hip     :  Belum mampu untuk digerakkan kearah flexi,
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi karena masih nyeri
Knee    : Mampu untuk digarakkan flexi tapi tidak full ROM, karena pasien masih merasakan nyeri
Ankle  : Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
b) Gerak aktif
1. AGB Sinistra
Hip     : Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan flexi,
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee : Mampu untuk menggerakkan flexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle : Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB Dextra
Hip     :  Belum mampu   melakukan gerakan kearah flexsi,
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi karena masih ada nyeri
Knee    : Mampu untuk menggerakkan flexi, tapi tidak sampai full ROM, karena pasien mengeluh nyeri
Ankle  : Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
c) Gerak isometrik melawan tahanan
AGB Dextra
Knee    : Belum mampu gerak isometrik melawan tahanan dari terapis untuk semua gerakkan
Ankle : Mampu gerak isometrik melawan tahanan minimal dari terapis untuk semua arah gerakkan
7)      Muscle Test (kekuatan otot)
Tidak dilakukan
8)      Antropometri test
Tidak dilakukan
9)      ROM Test
Tidak dilakukan
10)   Pemeriksaan nyeri
Menggunakan skala VAS ( Verbal Analogue Scale)
0                                                                              10
keterangan :
0  : Tidak ada nyeri sama sekali.
10  : Nyeri  tak tertahankan.
Nyeri diam  : 3
Nyeri tekan : 5
Nyeri gerak : 7
11)  Kognitif, intra personal dan inter personal
Kognitif            : Baik, pasien mampu menceritakan kronologis kejadian trauma dengan baik, mampu menjawab pertanyaan terapis, dan mampu mengingat memori jangka panjang dan jangka pendek dengan baik
Intra personal    : Pasien mampu menerima keadaan dirinya dan mempunyai keinginan serta motivasi yang tinggi untuk sembuh
Inter personal    :  pasien dapat bekerja sama dengan terapis, pasien menjalankan latihan yang diajarkan oleh terapis, dan mampu melaksanakan program dengan baik.
12)  Pemeriksaan Kemampuan Fungsional
  1. Kemampuan fungsional dasar :
-          pasien mampu menggerakan pergelangan kakinya ke segala arah tanpa adanya nyeri
-          pasien belum mampu menekuk lututnya tanpa bantuan terapis
  1. Kemampuan fungsional aktifitas :
-          pasien sudah mampu duduk tanpa bantuan
-          pasien sudah mampu miring kekiri tanpa bantuan
-          pasien sudah mampu turun bed dengan bantuan
-          pasien sudah mampu latihan jalan dengan kruk (NWB)
13)  Pemeriksaan Spesifik.
Tidak dilakukan
14)   Mekanisme terjadinya permasalahan ( underlying process)
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 34 tahun yang memiliki seorang istri dan dua orang anak laki-laki, pasien bekerja sebagai wiraswasta. Pada tanggal 21 juni 2007 mengalami kecelakan lalu lintas ditabrak sepeda motor, pasien terjatuh dan tidak bisa jalan kemudian pasien dibawa ke RSO. PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA pada tanggal 21 juni 2007. Pasien menjalani rawat inap dan operasi pada tanggal 05 juli 2007.
Fraktur dan mekanisme terjadinya fraktur tibia plateu
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas dari tulang baik secara lengkap maupun tidak lengkap (Adam, 1992). Fraktur juga bisa lebih dari sekedar patahnya kontinuitas tulang karena pada fraktur yang disebabkan oleh benturan yang kuat dari luar juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak sekitar fraktur seperti kerusakan syaraf, pembuluh darah, tendon otot maupun ligament.
Fraktur tibia plateu merupakan kasus yang sering menimbulkan komplikasi sekunder seperti kelainan sendi lutut dan instabilitas sendi lutut. Sehingga akan menyebabkan gangguan fungsi sendi dan disability setelah cidera. (Appley, 1995).
Kekakuan sendi lutut dan atropi otot penggerak lutut akan mengganggu aktifitas fungsional pasien, sehingga perlu penanganan yang serius yang melibatkan beberapa disiplin ilmu dokter, ortopedi, dan fisioterapi.
Dengan modalitas fisioterapi berupa terapi latihan diharapkan dapat mengembalikan fungsi dan gerak pada cidera setelah operasi.
Karena setelah dilakukan operasi oleh dokter ortopedi pasti tidak lepas dari beberapa komplikasi post op, antara lain : oedem, penurunan kekuatan otot penggerak lutut, keterbatasan LGS yang akan mengakibatkan penurunan fungsi dan gerak pada sendi lutut.
Prinsip terapi adalah:
a. Membatasi kerusakan jaringan lunak dan mempertahankan penutup kulit
b. Mencegah atau sekurang kurangnya mengetahui pembengkakan kompartemen
c.   Memperoleh penjajaran (aligment) fraktur
d.   Untuk memulai pembebanan dini (pembebanan membabtu penyembuahan)
e.   Mulai gerakan sendi secepat mungkin
Bila fraktur tibia berdiri sendiri, diperlukan immobilisasi dan bila fraktur dengan displacement perlu dilakukan reposisi.
  1. Diagnosis Fisioterapi
1)      Impairment.
Adanya nyeri diam, nyeri tekan dan nyeri gerak pada daerah cidera
Adanya oedema disekitar knee dan ankle
Adanya spasme otot quadriceps kanan
Adanya penurunan LGS knee
Kelemahan otot-otot flexor dan extensor knee
Berpotensi terjadi atropi dan kontraktur
2)      Functional limitation.
Keterbatasan aktivitas yaitu berdiri dan berjalan secara mandiri karena adanya nyeri incisi pada 1/3 proxsimal tibia.
Penurunan kemampuan jongkok-berdiri dan aktivitas toileting secara mandiri.
Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
3)      Disability / Participation Restriction
Kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan bersosialisasi dilingkungan masyarakat.
Ketidak mampuan untuk bekerja kembali sebagai wiraswasta oleh karena open  fraktur tibia plateu dextra.
  1. Program Fisioterapi
1)      Tujuan Fisioterapi
a)      Jangka pendek
Mengurangi nyeri pada daerah incisi
Mengurangi odema disekitar knee dan ankle.
Mengurangi spasme otot quadriceps kanan
Meningkatkan LGS knee
Meningkatkan kekuatan otot flexor dan extensor knee
Mencegah atropi dan kontraktur
b)      Jangka panjang
Meninngkatkan kemampuan fungsional tungkai kanan
Mengembaliakan aktivitas fungsional pasien secara maximal dan vocational
2)      Teknologi Intervensi
a)      Teknologi alternatif
(1) TENS
(2) IR
(3) Terapi latihan
(4) Change position
(5) Massage
(6) Evaluasi dan pumping exercise
b)      Teknologi terpilih
(1) Terapi Latihan
(2) Transver dan ambulasi
c)      Teknologi yang dilaksanakan
(1) Terapi Latihan :
- passive movement
- latihan gerak aktif, pasif
- standing exercise
- walking exercise
  1. Rencana Evaluasi
a)    Nyeri dengan skala VAS
b)   Oedema dengan antropometri
c)    ROM dengan goneometer
d)   Kekuatan otot dengan MMT
  1. Prognosis
Quo ad vitam                         : Baik
Quo ad sanam            : Baik
Quo ad fungsionam   : Baik
Quo ad cosmeticam   : Sedang
  1. Pelaksanaan Fisioterapi
Pada tanggal 18 Juli 2007
TERAPI LATIHAN :
  1. Latihan gerak pasif (knee dan ankle dextra)
Pasien tidur terlentang, terapis menggerakkan tungkai kanan pasien secara pasif, gerakkan diulangi 2 sampai 8 kali.
Gerakannya :
-          knee : fleksi, ekstensi, endorotasi, eksorotasi
-          ankle : dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi
  1. Latihan gerak aktif (knee dan ankle dextra)
Pasien tidur terlentang kemudian pasien melakukan gerak aktif.
Gerakannya :
-          knee : fleksi
-          ankle : dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi
Saat pasien melakukan gerak fleksi terlihat keterbatasan gerak pada knee. Gerak AGA kanan kiri dan AGB kiri normal.
  1. Standing exercise
Posisi pasien duduk di tepi bed
Pelaksanaannya : pasien diminta menurunkan kedua tungkainya, sambil terapis memfiksasi lutut kanan pasien.terapis teruis memonitor raut wajah pasiendan menanyakan apakah pasien menjadi pusing atau tidak.serta kontak tangan terapis dengan pasien selalu dilakukan, untuk mengetahui apakah pasien terjadi perubahan suhu badan atau tidak. Jika pasien merasa pusing dan suhu badan dingin latihan harus dihentikan.
  1. Walking exercise
Posisi pasien berdiri dengan bantuan kruk.
Pelaksanaan : sebelum latihan berjalan, pasien harus benar-benar siap. Setelah itu kedua kruk dimajukan terlebih dulu ke depan. Diikuti dengan kaki yang sehat dan kaki yang sakit tetap menggantung. Pasien diminta jalan mengitari ruangan dengan metode NWB. Dan latihan dihentikan setelah pasien merasa lelah.
Edukasi :
1)      Pasien diminta untuk mengganjal tungkai bawahnya (ankle) dengan bantal (elevasi) dan menggerak-gerakkan anklenya sesering mungkin.
2)      Pasien disarankan tidak menapakkan kaki kanannya saat berjalan
Pada tanggal 19 juli 2007 TERAPI II
Sama dengan terapi hari pertama.
  1. Evaluasi
Tidak dilakukan
  1. Hasil Terapi Akhir
Setelah diberikan terapi pada pasien yang bernama Bpk. Sukron sebanyak 2 kali, maka hasil yang didapat deri sebelum dan sesudah terapi sebagai berikut yaitu :
Keluhan nyeri berkurang.
Terdapat peningkatan kemampuan fungsional
Kondisi umum pasien baik



Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
Tingkat kecelakaan lalu lintas di kota besar tetrbilang cukup tinggi. Dimana kecelakaan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan lalu lintas tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban itu sendiri dapt berupa efek fisik dan psikis. Dari segi fisik tentunya kecelakaan dapat menyebabkan timbulnya luka pada setiap jaringan tubuh yang terkena trauma dari kecelakaan lalu lintas baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung dari trauma tersebut dapat berupa adanya fraktur, luka terbuka ataupun kerusakan pada organ dalam tubuh yang dapat juga menyebabkan kematian. Sedangkan efek psikis dari kecelakaan lalu lintas dapat berupa trauma ataupun rasa takut.
Fraktur sebagai akibat dari trauma langsung dapat terjadi pada setiap tulang pembentuk tubuh tergantung dari penyebab dan mekanisme terjadinya trauma. Fraktur adalah suatu kondisi terputusnya kontinuitas dari jaringan tulang yang diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak langsung maupun patologis. Fraktur dapat bersifat tunggal maupun multiple dimana pada fraktur ini dapat mengenai beberapa tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat menimbulkan beberapa macam masalah.
Pada laporan kasus ini yang terjadi adalah Post ROI (removele Of Inplate)fraktur femur dextra 1/3 distal, fraktur cruris 1/3 tengah dan post riliase knee dextra, dimana merupakan suatu tindakan operasi untuk melepas kembali implan yang sudah terpasang ditulang yang berfungsi sebagai fiksasi waktu fraktur dan dilakukan riliase guna untuk membebaskan perlengketan jaringan yang ada pada lutut. Adapun masalah-masalah yang ditimbulkan dari post operasi adalah adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak serta kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder berupa miositis ossifikan, avaskuler nekrosis dan lain sebagainya.
Fisioterapi merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu serta masyarakat untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi sepanjang daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik, mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
Beberapa latar belakang masalah tersebut, maka kami tertarik untuk mencoba mengkaji dan memahami mengenai penatalaksanaan terapi latihan pada kondisi post ROI fraktur femur dextra 1/3 distal, fraktur cruris 1/3 tengah dextra dan post riliase knee dextra. Adapun jenis dari terapi latihan tersebut yaitu : 1) Static kontraksi, 2) Rilex pasive movement, 3) Force pasive movement, 4) free aktive movement, 5) Assisted aktive movement, 6) Resisted aktive movement, 7) Streching, 8) Latihan jalan.
Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
Toracho Outlet Syndrome (TOS)
Kasus :
 seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tubuh cukup besar (over weight). Oleh dokter  dinyatakan menderita TOS (Thoracic Outlet Syndrome). Lengan kanan sering merasa kesemutan , hal ini sudah dirasakan sudah 2 bulan yang lalu. Buat mangement fisioterapinya!
Pendahuluan
Thoracic Outlet Syndrome adalah nyeri bahu, lengan yang disebabkan penekanan struktur neurovascular (arteri/vena subclavia, arteri/vena axillaris, pleksus brachialis) pada “Cervical Thoracic dorsal- Outlet”, yang dibatasi oleh tulang iga I (costa I), dengan bagian depn oleh sternum proximal dn bagian belakang oleh T1

MANAGEMENT  FISIOTERAPI
       I.            Data base
Identitas penderita
Nama :Ny. X
Alamat : Jl. Pulang III/7
Umur : 32 th
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Dokter : Sri Surti Turi, dr. Sp.RM
Fisioterapis : Tora Omi Susilo, Amd.FT
Tanggal : 31 Agustus 2008
Diagnosa dokter : TOS

    II.            Anamnesa
Keluhan Utama :
  • Nyeri bahu sebelah kanan
  • Lengan kanan sering merasa kesemutan,
  • Tangan kanan tidak dapat membawa barang terlalu berat
  • Leher susah menoleh dan kaku saat ditekuk ke samping kanan

RPS
  • Lengan sering merasa kesemutan sejak 2 bulan yang lalu
  • Rasa kesemutan menjalar sampai ke lengan bawah
  • Nyeri bahu saat melakukan aktivitas terutama saat menggendong anak
  • Pernah satu kali dibawa ke tukang pijat tradisional           keluhan berkurang
RPD
  • DM
RPK
  • ibu dari Ny. Indri menderita DM
RPE
  • Ibu rumah tangga dengan 2 orang anak dan 1 orang bayi berusia 6 bulan, kondisi ekonomi menengah ke bawah

 III.            Pemeriksaan fisik
Vital sign:
  • GCS : normal
  • Tensi : 120/80 mmHg
  • RR : 21x/menit
  • Nadi : 80x/menit
  • TB/BB : 155cm/70kg
Inspeksi
General
  • Irama goyang lengan kanan hilang
  • Postur tubuh gemuk
  • Berjalan mandiri/tanpa alat bantu
Lokal
  • Kepala cenderung lateral fleksi ke arah kanan
Palpasi
  • Nyeri tekan pada bahu sebelah kanan
  • Adanya spasme daerah leher
  • Kekenyalan otot berkurang
LGS

D
S
Kepala
F:  0-30˚
R: 0-35˚
F:  0-45˚
R: 0-50˚
Bahu
S: 40-0-100˚
F: 20-0-120˚
S: 50-0-180˚
F: 45-0-180˚
Elbow
S: 0-0-120˚
S: 0-0-145˚
Forearm
R: 35-0-40˚
R: 45-0-50˚
Wrist
S: 50-0-60˚
S: 50-0-60˚


MMT

D
S
Lateral fleksor kepala
3
5
Rotator kepala
3
5
Fleksor bahu
3
5
Ekstensor bahu
3
5
Fleksor elbow
3
5
Ekstensor elbow
3
5
Pronator elbow
3
5
Supinator elbow
3
5
Fleksor wrist
3
5
Ekstensor wrist
3
5

Tes sensorik
  • parestesi pada bahu menjalar sampai lengan bawah sebelah kanan

Pemeriksaan reflek pada lengan kanan :
  • Pada tendon bisep  :
  • Pada tendon trisep :

Pemeriksaan fungsional :
  • Adanya keterbatasan ADL, terutama saat mengangkat beban dengan tangan kanan
Test khusus :
  • Syndrome scalenus
Adson test : berdiri rotasi&ekstensi kepala, abduksi lengan 30  ̊ maksimal, ekstensi shoulder, inspirasi dalam ditahan. (+) jika nyeri sepanjang lengan&tangan, nadi melemah.
Hasil (+)
  • Syndrome costo clavicula
Eden test : rotasi side flexi nec&trunk, extensi shoulder elbow. (+) jika nadi melemah.
Hasil (-)
  • Syndrome costoclavicula
Ross Test : berdiri, abduksi lengan 90  ̊, flexi elbow 90  ̊, retraksi shoulder, tangan dibuka&ditutup 15x. (+) jika ada cramp, rasa kaku, tdk mampu menguang gerakan 15x
Hasil (-)
  • Syndrome pectoralis
Wright manuever test : berdiri, abd lengan 90  ̊, ditahan beberapa detik. (+) jika terjadi nyeri sepanjang lengan&nadi melemah.
Hasil (-)

 IV.            Problem list
Kapasitas fisik :
  • Nyeri bahu sebelah kanan
  • Spasme pada leher
  • Keterbatasan LGS
  • Penurunan kekuatan otot lengan kanan
Kemampuan Fungsional
  • Adanya gangguan ADL, seperti menggendong anak, mandi, mengangkat beban berat.
Planning fisioterapi
  • Pemberian IR pada bahu sebelah kanan
  • Masase pada m. scalenus&otot-otot bahu untuk relaksasi
  • Stretching exercise pada m. scalenus
  • AROM
  • Aktif resisted
  • Edukasi :
  • Mengurangi beban pada bahu kanan
  • Posisi tidur serileks mungkin

  1.     V.        Initial plan
IR
  • Model single : 250 watt
  • Jarak : 35-45 cm
  • Dosis : 15 menit
Masase
  • Pada m. scalenus, otot-otot bahu
Stretching exercise
  • Pada m. scalenus
AROM
  • Kepala, bahu, elbow&wrist pada semua gerakan
Latihan aktif resisted
  • Pada kelompok ototyang mengalami kelemahan
Evaluasi
Sebelum terapi :
  • Nyeri pada bahu kanan
  • Spasme pada leher
  • Rasa kesemutan sepanjang lengan kanan
  • Keterbatasan LGS pada bahu&lengan kanan


Setelah 2 seri latihan :
  • Nyeri berkurang
  • Spasme berkurang
  • Rasa kesemutan berkurang
  • LGS meningkat
Edukasi :
  • Mengurangi beban pada bahu kanan
  • Posisi tidur serileks mungkin

 VI.            Progress note
Subjektif
  • Kesemutan pada lengan kanan berkurang
  • Spasme berkurang
  • Nyeri pada bahu sebelah kanan berkurang
  • Leher dapat menoleh ke kanan&ke kiri
Objektif
LGS

D
S
Kepala
F: 0-40˚
R: 0-45˚
F: 0-45˚
R:0-50˚
Bahu
S: 45-0-115˚
F: 30-0-125˚
S: 50-0-180˚
F: 45-0-180˚
Elbow
S: 0-0-130˚
S:0-0-145˚
Forearm
R: 40-0-45˚
R:45-0-50˚
Wrist
S: 50-0-60˚
S:50-0-60˚

MMT

D
S
Lateral fleksor kepala
4-
5
Rotator kepala
4-
5
Fleksor bahu
4-
5
Ekstensor bahu
4-
5
Fleksor elbow
4-
5
Ekstensor elbow
4-
5
Pronator forearm
4-
5
Supinator forearm
4-
5
Fleksor wrist
4
5
Ekstensor wrist
4-
5

Tes sensorik : parestesi berkurang
Tes reflek :
Tendon bisep = N
Tendon trisep = N
Tes khusus : adson test (-)
Asesment
Setelah 1 seri terapi
  • Bu Indri mengalami kemajuan yang memuaskan
  • Nyeri bahu kanan telah banyak berkurang
  • Kemampuan ADL meningkat
Planning
Meneruskan terapi untuk mendapatkan hasil yang maksimal



Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
PATOFISIOLOGI  NYERI  LEHER
DISAMPAIKAN OLEH:

dr. Prasetya Hudaya
Seminar, Kamis,5 November 2009, Riyadi Palace Hotel, Solo
PENDAHULUAN
Nyeri leher atau dikenal juga sebagai nyeri servikal, nyeri tengkuk atau cervical syndrome merupakan keluhan yang sering dijumpai di praktik klinik. Tiap tahun 16,6% populasi dewasa mengeluh rasa tidak enak di leher, bahkan 0,6% berlanjut menjadi nyeri leher yang berat. Incidence nyeri leher meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih sering mengenai wanita daripada laki-laki dengan perbandingan 1,67:1.
            Meskipun dapat sebagai akibat adanya proses patologis pada jaringan lunak, namun lebih sering akibat kondisi yang berhubungan dengan cervical spine. Sumber nyeri leher yang berhubungan dengan cervical spine antara lain cervical spondylosis, radiculapathy atau kompresi pada radix saraf, myelopathy atau kompresi pada medulla spinalis cervical, cedera, iritasi pada otot-otot paraspinal.
             Mekanisme dari berbagai penyebab nyeri leher, tanpa adanya gejala radikuler atau myelopathy hingga saat ini masih belum jelas.
silahkan di klik pada subyek diatas
ANATOMI  FISIOLOGI
            Cervical spine terdiri atas 7 vertebra dan 8 saraf servikal. Fungsi utama leher adalah menghubungkan kepala dengan tubuh. Stabilitas kepala tergantung pada 7 buah vertebra servikal.
            Hubungan antara vertebra servikal melalui suatu susunan persendian yang cukup rumit. Gerakan leher dimungkinkan karena adanya berbagai pensendian, facet joint yang ada di posterior memegang peranan penting.
            Sepertiga gerakan fleksi dan ekstensi dan setengah dari gerakan laterofleksi terjadi pada sendi atlantooccipitalis (dasar tengkorak dengan VC1). Sendi atlantoaxialis  (VC1-VC2) memegang peranan pada 50% gerakan rotational. VC2 hingga VC7 memegang peranan pada dua per tiga gerakan fleksi dan ekstensi, 50% gerakan rotasi dan 50% gerakan laterofleksi.
Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
BAB I    
PENDAHULUAN

            Pembangunan pada era globalisasi ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Demikian juga pembangunan bangsa Indonesia dalam bidang kesehatan merupakan usaha yang ditujukan untuk tercapainya  kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk supaya terwujud kesehatan yang optimal, untuk mewujudkan hal tersebut maka pemerintah mencanangkan kebijaksanan nasional mengenai pembanguan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010   (DepKes RI, 1999).
            Upaya kesehatan yang semula hanya berupa penyembuhan (kuratif) saja, secara berangsur-angsur berkembang, sehingga mencakup upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dan dengan peran serta masyarakat (DepKes RI, 1999).
            Fisioterapi sebagai salah satu pelaksanaan pelayanan kesehatan ikut berperan dan bertanggung jawab dalam peningkatan derajat kesehatan, meliputi masalah gerak dan fungsi dengan kajian menyangkut aspek peningkatan (promotif), aspek pencegahan (preventif), aspek penyembuhan (kuratif), aspek pemulihan dan pemeliharaan (rehabilitatif) untuk mewujudkan program pemerintah yaitu Indonesia Sehat 2010 (DepKes RI, 1999).
A. Latar Belakang Masalah
Carpal tunnel syndrome merupakan sindroma pada pergelangan tangan yang terjadi akibat adanya tekanan terhadap nervus medianus (Rambe, 2004). Beberapa penyebabnya telah diketahui seperti trauma, infeksi, gangguan endokrin dan lain-lain (Rambe, 2004).
Tangan merupakan salah satu anggota gerak tubuh yang sangat penting karena fungsinya yang sangat komplek. Kalau dilihat dari segi anatomi pergelangan tangan dibentuk oleh bangunan tulang, otot, ligament, saraf dan pembuluh darah sehingga tangan dapat melakukan gerakan halus yang terkoordinir dan otomatis. Dengan keadaan tersebut bila tangan mengalami gangguan pada pergelangan tangan bisa dibayangkan betapa rumitnya masalah yang akan muncul karena sebagian besar pekerjaan dikerjakan dengan tangan.
Orang yang mempunyai resiko besar terkena carpal tunnel syndrome antara lain jenis pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan ini umumnya menggunakan kombinasi kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama pada jemari dan tangan, seperti: pekerjaan yang sering menggunakan      komputer, dokter gigi, gitaris, guru, ibu rumah tangga dan pekerja lapangan yang mengoperasikan alat bervibrasi seperti bor dan juga mengendarai motor. Pada tahun 1998 insiden carpal tunnel syndrome kira-kira “ 515 per 10.000 populasi (Rambe, 2004).
Dalam proposal karya tulis ini penulis memilih kasus carpal tunnel syndrom karena penulis mengamati semua orang melakukan pekerjaan dengan menggunakan kedua tangan, jadi apabila kedua tangan terkena carpal tunnel syndrome maka aktivitas produksi akan terganggu.
Masalah yang muncul pada carpal tunnel syndrome adalah nyeri, parestesia, penurunan kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut banyak tekhnologi fisioterapi alternative yang tersedia, seperti : micro wave diathermy (MWD), short wave diathermy (SWD), ultra sound (US), infra red (IR), transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dan terapi latihan. Disini untuk pengurangan nyeri dan parestesia menggunakan modalitas ultra sonic yang menimbulkan efek mekanik dan termal.
             Mengingat adanya kelemahan otot, gangguan dalam beraktivitas akibat kekakuan sendi, dapat dilakukan dengan terapi latihan yang berupa resisted exercise untuk meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan.
B. Rumusan Masalah
             Berdasarkan permasalahan pada kondisi carpal tunnel syndrom, maka penulis dapat merumuskan masalah antara lain (1) Apakah ultra sonic dapat mengurangi nyeri pada carpal tunnel syndrome ? (2) Apakah ultra sonic dapat mengurangi parestesia pada carpal tunnel syndrome ? (3) Apakah terapi latihan dengan   resisted exercise  dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan pada carpal tunnel syndrome?
C. Tujuan Penulisan
             Dalam penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini tujuan yang ingin penulis capai adalah untuk mengetahui; (1) Manfaat ultra sonic terhadap pengurangan nyeri pada  carpal  tunnel syndrome, (2) Manfaat  ultra sonic terhadap pengurangan parestesia pada  carpal  tunnel syndrome, (3) Manfaat terapi latihan dengan resisted exercise terhadap peningkatan kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan pada carpal tunnel syndrome.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
            1. Anatomi Fungsional
            Pergelangan tangan dibentuk oleh beberapa tulang, otot, struktur persendian dan diinervasi oleh beberapa syaraf.
a.  Tulang pembentuk sendi pergelangan tangan
Tulang-tulang pada sendi pergelangan  tangan yaitu ada 2 deretan. Deretan pertama terdiri dari tulang radius dan ulna. Deretan yang kedua terdiri atas delapan  tulang carpalia yang tersusun dalam dua deretan. Tulang carpal deretan proksimal antara lain scapoideum, lunatum, triquetrum, dan pissiforme. Sedangkan bagian distal terdiri atas tulang trapezium, trapezoideum, capitatum, dan hamatum.
1)      Tulang scapoideum
Tulang ini berbentuk perahu dengan dataran proksimal yang konveks bersendi dengan tulang radius. Tulang ini mempunyai dataran sendi yaitu kearah ulnar bersendi dengan tulang hamatum, kearah distal bersendi dengan tulang trapezium, kapitatum, dan trapezoideum,  dan pada permukaan volar memiliki tonjolan yang disebut tuberositas scapoideum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
2)      Tulang lunatum
Tulang ini memiliki hubungan dengan tulang lain yaitu kearah radial dengan tulang scapoideum, kearah ulnar dengan tulang triquetum, kearah distal dengan tulang kapitatum. Tulang ini mempunyai dataran proximal yang konveks yang bersendi dengan tulang radius, dan berbentuk kecil , seperti bulan sabit ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
3)      Tulang  triquetrum
Memiliki hubungan dengan tulang lain yaitu kearah proximal dengan tulang radius, kearah radial dengan tulang lunatum, kearah ulnar dan volar berhubungan dengan tulang pisiforme yang melekat pada permukaan volar tulang triquetrum, dan kearah distal dengan tulang hamatum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
4)      Tulang pisiforme
Tulang  yang berbentuk kecil, agak bulat sebesar biji kacang ini melekat di dataran volar pada tulang triquetum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
5)      Tulang trapezium
Tulang ini mempunyai hubungan dengan tulang lain yaitu ke arah vollar dengan trpezoidium dan terdapat tonjolan tulang yang disebut tuberositas osis trapezium, kearah proximal dengan tulang scapoideum, kearah distal dengan tulang metacarpal I dan II ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
6)      Tulang trapezoideum
Tulang ini kearah radial mempunyai hubungan dengan tulang trapezium, ke arah ulnar dengan tulang kapitatum, ke arah distal dengan tulang metacarpal II, dan ke arah proximal berhubungan dengan tulang scapoideum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
7)      Tulang kapitatum
Memiliki bangunan bulat dan panjang sebagai kaputnya. Mempunyai hubungan dengan tulang lain yaitu ke arah radial berhubungan dengan tulang trapezoideum, ke arah proximal dengan tulang scapoideum dan lunatum. Kearah ulnar dengan tulang hamatum, dan kearah distal dengan tulang metacarpal II, III, dan  IV ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
8)      Tulang hamatum
Memiliki hubungan dengan tulang lain yaitu kearah proximal dengan tulang triquetum, kearah radial dengan tulang kapitatum, kearah distal dengan metacarpal  IV dan V. Dan kearah volar memiliki bangunan seperti lidah yang disebut hamalus ossis hamati ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
Pada os scaphoideum dan os trapezium yang masing-masing mempunyai tonjolan tulang pada bagian volarnya membentuk eminentia carpi radialis. Disebelah ulnarnya terdapat eminentia carpi ulnaris yang dibentul oleh os pisiforme dan hamalus ossis hamati.
Gambar 1
Tulang-tulang pergelangan tangan ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
b.  Ligamen
Ligamen collateral carpi ulnar yang membentang dari proceccus styloideus ulna menuju ke tulang triquetum. Ligamen collateral carpi radialis yang membentang dari processus stiloideus radii menuju ke tulang scapoideum dan ligamen intercarpal yang terdiri dari ligamen  interlaveum volare dan dorsale, ligamen interseum dan ligamen carpi arquatum.
Gambar 2
Potongan transversal terowongan carpal ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
c.  Otot
Otot merupakan stabilitas aktif dan penggerak tulang pembentuk sendi. Otot pergelangan tangan secara umum dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu oto fleksor dan otot ekstensor yang masing-masing terbagi dua bagian yaitu superficialis dan profunda. Otot fleksor superficialis yaitu otot fleksor carpi ulnaris, fleksor carpi radialis, fleksor digitorum sublimes dan palmaris longus (Cailliet, 1990).
Otot fleksor carpi radialis dan fleksor carpi ulnaris berfungsi fleksi pergelangan tangan, dan otot ekstensi ekstensor carpi radialis longus brevis dan ekstensor carpi ulnaris berfungsi ekstensi pergelangan tangan. Pada gerakan ulnar deviasi dilakukan oleh m. ekstensor carpi ulnaris dan fleksor carpi ulnaris. Sedangkan gerakan radial deviasi dilakukan oleh m. ekstensor carpi radialis, fleksor carpi radialis, ekstensor pollicis brevis dan abductor pollicis longus.
d.  Nerves medianus
Berasal dari pleksus brakhialis dengan dua buah caput yaitu kaput medial dari fasikulus medialis dan kaput lateral dari fasikulus lateralis. Kedua kaput tersebut bersatu pada tepi bawah otot pectoralis minor, jadi serabut dalam trunkus berasal dari tiga atau empat segmen medulla spinalis (C6-8, Th1). Dalam lengan serabut saraf ini tidak bercabang. Truncus berjalan turun sepanjang arteri brachialis dan melewati sisi volar lengan bawah dan bercabang masuk ke tangan dan berakhir dengan cabang dan muscular kutaneus (Chusid, 1993).
Otot-otot yang mensyarafi nerves medianus antara lain: m. pronator teres , m. flexor  carpi radialis, m.  palmaris longus, m. flexor digitorum provundus, m.flexor pollicis longus dan pronator quadratus (Chusid, 1993). Apabila ada lesi yang mengenai nerves medianus akan mengakibatkan terjadinya pengurangan sensoris pada bagian volar lengan bawah, daerah palmar tangan jari 1,2,3 dan setengah jari ke-4.
Gambar 3
Otot-otot pergelangan tangan tampak palmar ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
Gambar 4
Otot-otot lengan tampak palmar ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
e.  Biomekanik
Ditinjau dari morfologinya termasuk artikulasio ellipsoidea, tetapi fungsinya sebagai artikulatio gluboidea. Gerakan yang terjadi pada persendian itu yaitu flexi dengan LGS 80°, extensi 70°, ulnar deviasi 30 °, dan radial deviasi 20°. Derajat flexi dan ulnar deviasi lebih besar dibandingkan dengan gerakan extensi dan radial deviasi, hal ini disebabkan karena bentuk permukaan sendi radius dari ligamen bagian dorsal lebih kendor dari pada bagian palmar (Chusid, 1967).
Gambar 5
Perjalanan nerves medianus ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
2. Definisi

Carpal Tunnel Syndrom adalah entrapment neuropaty yang sering terjadi. akibat adanya tekanan nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di pergelangan tangan tepatnya di bawah flexor retinakulam (Rambe, 2004).
3. Etiologi
Carpal tunnel syndrom dapat dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis, namun pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui ( idiopatik ), terutama pada penderita lanjut usia. Selain itu gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan dapat menambah resiko carpal tunnel syndrom (Maxey, 1990). Nerves medianus dapat terjebak juga di carpal tunnel itu. Etiologi lain adalah (1) trauma seperti (dislokasi atau fraktur yang mengenai tulang carpal atau ujung radius atau fraktur colles atau hematom pada lengan bawah, sprain pergelangan tangan, pekerjaan dalam posisi menekuk atau fleksi ekstensi secara berulang- ulang), (2) infeksi oleh karena sinovitis seperti tenosinovitis yang disebabkan karena inflamasi kronis serta fibrosis pada fleksor sinoviali; infeksi karena tuberculosis, (3) penyakit degeneratif seperti osteoartritis, (4) penyakit kolagen vaskuler seperti remathoid arthritis amiloidosis hipotiroidisme dan lupus erimatosis yang mempredisposisi kompresi saraf median didalam terowongan karpal akibat penebalan dan hipertrofi ligament serta jaringan ikat lainnya, (5) penyakit iatrogenik seperti punksi arteri radialis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan (6) Neoplasma seperti kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma (7) Kehamilan juga bisa menyebabkan sindroma ini diduga karena retensi air pada jaringan ikat sekitar pergelangan tangan, sindroma biasanya terjadi pada trisemester ketiga yang biasanya bilateral (Rambe, 2004).
4.  Patologi
Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis carpal tunnel syndrom. Sebagian berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskuler memegang peranan penting dalam terjadinya carpal tunnel syndrom. Tapi umumnya carpal tunnel syndrome ini terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan flexor retinakulum, yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti anoxia, yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi atrofi dan akan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi dari nervus medianus terganggu (Rambe, 2004).
5. Tanda dan gejala
a.  Gangguan sensorik
Gangguan sensorik yang timbul awalnya adalah parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa jari seperti terkena aliran listrik pada jari dan setengah sisi radial jari, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari, keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lain adalah nyeri ditangan yang juga dirasakan lebih memberat di malam hari . Kadang-kadang nyeri dapat terasa sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal pergelangan tangan (Rambe, 2004). Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari tangan dan pergelangan tangan terutama di pagi hari.
b. Gangguan motoris
Pada tahap lanjut dapat terjadi gangguan pada nerves medianus yang menimbulkan kelemahan otot tenar sehingga jari-jari tidak dapat digunakan untuk bekerja, misalnya menjahit, menulis, mengancingkan baju, mengendarai motor.       
             6.  Komplikasi
Komplikasi carpal tunnel syndrome adalah atrofi otot-otot thenar, kelemahan otot-otot thenar, dan ketidakmampuan tangan untuk beraktifitas (Shidarta, 1984).
7.  Prognosis Gerak dan Fungsi
      Carpal tunnel syndrome yang kasusnya idiopatik mempunyai gejala yang timbul dan hilang dalam beberapa bulan atau tahu, tapi rasa tidak enak pada malam hari dapat lebih menonjol dan berlangsung sehingga mengganggu penderita. Progresitifitasnya lebih sering terjadi bila ada penyakit yang melatarbelakanginya. Bila hanya ada kelainan sensorik, kelainan ini bersifat reversible, tapi bila dijumpai kelainan motorik maka kesembuhanya lebih lama walaupun telah melakukan banyak terapi.
8.   Diagnosa Banding
            Diagnosa carpal tunnel syndrome adalah (1) Pronator teres syndrome, keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri pada telapak tangan  karena cabang nerves medianus ke kulit telapak tangan tidak melaui terowongan karpal, (2) Inoracic outlet syndrome, dijumpai atrofi otot-otot tangan lainya selain otot-otot thenar, (3) Cervical radikulopathy, keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan bertambah bila leher bergerak (Rambe, 2004).
B. Deskripsi Problematik Fisioterapi
   1.   Impairment
a.   Nyeri
Terjadi karena tekanan yang berulang-ulang  dan penjepitan nerves medianus sehingga tekanan intrafesikuler meningkat.
b.   Parestesia
Terjadi karena penjepitan pada nerves medianus sehingga aliran darah ke otot-otot yang disyarafi nerves medianus berkurang (Rambe, 2004) .
c.    Penurunan kekuatan otot dan kemampuan fungsional
Terjadi karena nyeri yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang yang  mengakibatkan otot inaktif sehingga elastisitasnya berkurang .
  1. 2.        Functional Limitation
Penderita mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari seperti mengendarai motor, menyapu, mencuci, dan lain-lain.
  1. 3.        Disability
Aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan tangan terganggu dalam melakukan aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga, sebagai anggota keluarga serta dalam lingkungan masyarakat.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Modalitas yang digunakan yaitu dengan ultra sonic dan terapi latihan berupa latihan penguatan otot–otot pada tangan berupa latihan resisted exercise.

  1. Ultra Sonic
Gelombang ultra sonic adalah gelombang suara yang tidak dapat didengar oleh manusia. Merupakan gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya yang  perambatanya memerlukan media penghantar. Media penghantar harus elastis agar partikel bisa berubah bentuk. Dari sini dijumpai daerah padat atau  Compression dan daerah renggang atau refraction (Sujatno dkk, 2002).
Dalam penggunaaan modalitas ultra sonic beberapa ahli membuktikan bahwa ultra sonic efektif untuk mengurangi nyeri karena ultra sonic dapat meningkatkan ambang rangsang, mekanisme dari efek termal panas. Selain itu pembebasan histamin, efek fibrasi dari ultra sonic terhadap gerbang nyeri  dan suatu percobaan ditemukan bahwa pemakaian ultra sonic dengan pulsa rendah dapat merangsang pengeluaran dan pelepasan histamine. Histamine menyebabkan pelebaran pembuluh darah lokal sehingga terjadi percepatan pembersihan zat atau bahan kimia yang menyebabkan nyeri (Cameron, 1999).
a.  Mesin ultra sonic
Mesin ultra sonic terdiri dari sirkuit primer dan sirkuit skunder. Sirkuit primer adalah generator berfrekuensi tinggi yang membangkitkan arus listrik berfrekuensi tinggi pula. Sirkuit ini yang dihubungkan dengan tranduser dari bahan piezo elektrik yang disebut sebagai sirkuit skunder yang memiliki frekuensi sama dengan sirkuit primer .  Frekuensi sirkuit sekunder juga ditentukan oleh ketebalan bahan piezo elektrik yang harus disesuaikan dengan sirkuit primer. Mesin ultra sonic dapat memberikan energi secara kontinyu dan terputus. Pada pemberian-pemberian ultra sonic secara terputus efek panas dapat ditekankan dan memungkinkan pemberian dengan intensitas yang tinggi. Sedang pemberian pemberian secara kontinyu lebih menekankan efek termalnya.
Dalam tranduser terdapat area yang memiliki radiasi efektif yang disebut dengan ERA ( Effective Radiating Area ). Penentuan ERA sangat penting dalam pemberian intensitas selain luas daerah yang diobati.
b. Fisika Dasar Ultra Sonic
1) Sifat-sifat gelombang Ultra sonic
Gelombang ultra sonic memiliki dua area pancaran yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu area konvergen dan area divergen. Area konvergen memiliki ciri terdapat gejala intervensi pada bundle tersebut sehingga timbul variasi intensitas yang besar (Sujatno dkk, 2002). Sedangkan area divergen memiliki ciri tidak terjadi gejala interfensi sehingga bundle gelombang sama dan intensitas semakin berkurang. Jika jarak tranduser semakin jauh dari permukaan tubuh. Pada area ini bundle gelombangnya memiliki diameter lebih besar sehingga penyerapan energi lebih besar .
2)      Panjang gelombang
Frekuensi dari mesin ultra sonic tetap dan kecepatan penyebaran ditentukan oleh  medium, maka panjang gelombang tergantung dari medium yang digunakan.
3)  Penyebaran gelombang ultra sonic
Penyebaran gelombang ultra sonic di dalam tubuh manusia timbul oleh karena fenomena yaitu adanya refleksi dan difergensi pada area divergen. Adanya  penyebaran gelombang ultra sonic dapat menimbulkan efek di luar daerah pancaran bundle ultra sonic sehingga harus diperhatikan media-media yang kuat daya refleksinya seperti metal, udara, dan jaringan tulang.
4)  Penyerapan dan penetrasi pada gelombang ultra sonic
Jika energi ultra sonic masuk kedalam jaringan tubu, maka efek pertama yang diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut semakin dalam gelombang ultra sonic masuk kedalam tubuh, maka intensitasnya akan semakin berkurang.
Gelombang ultra sonic diserap jaringan tubuh dalam berbagai ukuran. Sebagai ukuran digunakan koefisien penyerapan. Penyerapan tergantung pada frekuensi. Pada frekuensi rendah penyerapanya lebih sedikit dari pada yang berfrekuensi tinggi. Disamping refleksi, koefisien penyareapan menentukan penyebaran ultra sonic di dalam tubuh.
Semakin dalam gelombang ultra sonic masuk kedalam tubuh semakin besar pula intensitasnya. Pada frekuensi rendah penyerapan lebih sedikit daripada frekuensi tinggi.
5)  Bentuk gelombang
Bentuk gelombang dari ultra sonic antara lain (a) Continous yaitu gelombang yang dihantarkan secara terus-menerus (b) Interupted / pulsa yaitu gelombang yang terputus, dengan bentuk pulsa dan lamanya ditentukan oleh karakteristik mesin yang digunakan.
    6) Media penghantar
Media penghantar harus memenuhi kriteria harus bersih dan steril pada keadaan tertentu, tidak terlalu cair ( kecuali metode sub aqual ), tidak cepat terserap kuli, tidak menyebabkan flek-flek, tidak menimbulkan iritasi kulit, mudah meghantarkan ultra sonik, transparan dan murah.
c.   Efek dari ultra sonic
1)      Efek mekanik
Efek yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik. Gelombang ultra sonic menimbulkan  peregangan dan perapatan didalam jaringan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dari ultra sonic. Efek mekanik ini juga disebut dengan micro massage. Pengaruhnya terhadap jaringan yaitu meningkatkan permeabilitas terhadap jaringan dan meningkatkan metabolisme.
Micro massage adalah merupakan efek teraputik yang penting karena semua efek yang timbul oleh terapi ultra sonic diakibatkan oleh micro massage ini.
2)      Efek termal
Panas yang dihasilkan tergantung dari nilai bentuk gelombang yang digunakan, intensitas dan lama pengobatan. Yang paling besar yang menerima panas adalah jaringan antar kulit dan otot. Efek termal akan memberikan pengaruh pada jaringan yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang mengakibatkan penambahan oksigen dan sari makanan dan memperlancar proses metabolisme.
3)      Efek biologi
Efek biologi merupakan respon fisiologi yang dihasilkan dari pengaruh mekanik dan termal. Pengaruh biologi ultra sonic terhadap jaringan antara lain:
a)  Memperbaiki sirkulasi darah
Pemberian ultra sonic akan mengakibatkan kenaikan temperatur dan vasodilatasi sehingga aliran darah ke daerah yang diobati menjadi lebih lancar. Hal ini akan memungkinkan proses metabolisme dan pengangkutan sisa metabolisme serta suplai oksigen dan nutrisi menjadi meningkat.
b)  Rileksasi otot
Rileksasi otot akan mudah dicapai bila jaringan dalam keadaan hangat dan rasa sakit tidak ada . Pengaruh termal dan mekanik dari ultra sonic dapat mempercepat proses pengangkutan sel P (zat asam laktat) sehingga dapat memberikan efek rileksasi pada otot.
c)  Meningkatkan permeabilitas jaringan
Energi ultra sonic mampu menambah permeabilitas jaringan otot dan pengaruh mekaniknya dapat memeperlunak jaringan pengikat.
d)  Mengurangi nyeri
Nyeri dapat berkurang dengan pengaruh termal dan pengaruh langsung terhadap saraf. Hal ini akibat gelombang pulsa yang rendah intensitasnya memberikan efek sedatif dan analgetik pada ujung saraf sensorik sehingga mengurangi nyeri. Pengurangan rasa nyeri ini diperoleh antara lain, perbaikan sirkulasi darah, normalisasi dari tonus otot, berkurangnya tekanan dalam jaringan, berkurangnya derajat keasaman.
e)   Mempercepat penyembuhan
Ultra sonic mampu mempercepat proses penyembuhan jaringan lunak . Adanya peningkatan suplai darah akan meningkatkan zat antibody yang mempercepat penyembuhan dan perbaikan pembuluh darah untuk memperbaiki jaringan.
f)  Pengaruh terhadap saraf parifer
Menurut beberapa penelitian bahwa ultra sonic dapat mendepolarisasikan saraf efferent, ditunjukkan bahwa getaran ultra sonic dengan intensitas 1,2 w/cm2 dengan gelombang kontinyu dapat mempengaruhi exitasi dari saraf perifer. Efek ini berhubungan dengan efek panas. Sedangkan dari aspek mekanik tidak teralu berpengaruh (Sujatno dkk, 2002).
2. Terapi Latihan
Terapi latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif. Atau pula dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mempercepat proses penyembuhan dari suatu cidera yang telah merubah cara hidupnya yang normal. Hilangnya suatu fungsi atau adanya hambatan dalam melakanakan suatu fungsi dapat menghambat kemampuan dirinya untuk hidup secara independent yaitu dalam melaksanakan aktifitas kerja (Priyatna, 1985).
Tujuan dari terapi latihan adalah (1) Memajukan aktifitas penderita, (2) Memajukan kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat beraktifitas normal (Priyatna, 1985).
Terapi latihan pada carpal tunnel syndrom adalah resisted active exercise merupakan latihan yang dilakukan dengan memberikan tahanan dari luar terhadap kerja otot yang memebentuk suatu gerakan. Tahanan dari luar tersebut bisa berasal dari tahanan manual ataupun mekanik (Kisner,1996). Apabila otot itu berkontaksi dengan melawan suatu tahanan, maka ketegangan dalam otot itu akan naik. Karena ketegangan otot bertambah ( bila melawan melawan suatu tahanan) maka untuk memperkuat otot- otot dengan menggunakan resistance. Tahanan yang dilaksanakan bisa menggunakan tahanan manual, kantong pasir, per, dan karet. Efek penggunaan resisted exercise adalah: (1) Menaikkan kekuatan dan daya tahan otot, (2) Memperbaiki ketidakseimbangan otot, (3) Memperkembang koordinasi gerakan, (4) Memperbaiki kemampuan fungsional, (5) Memperbaiki kondisi umum penderita.

BAB III
PELAKSANAAN STUDI KASUS
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
            Anamnesis adalah suatu tanya jawab mengenai keadaan pasien yang bisa dilakukan langsung oleh pasien sendiri dan dilakukan orang lain yang mengetahui keadaan pasien.
  1. Anamnesis umum
Ditanyakan mengenai  identitas pasien yang meliputi nama: Ny. Eni, umur: 33 tahun, jenis kelamin: perempuan, agama: islam, alamat: Klipang Permai Blok G No. 134 Semarang, pekerjaan: ibu rumah tangga.
  1. Anamnesis khusus
Merupakan anamnesis yang berhubungan dengan kondisi carpal tunnelnya, meliputi:
1) Keluhan utama
Merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh pasien yaitu adanya nyeri, terasa tebal, kesemutan yang dirasakan oleh pasien pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang diketahui sejak tiga bulan yang lalu, pasien merasakan kesemutan dan rasa tebal pada telapak tangan disertai nyeri. Setelah dirasakan lama-kelamaan rasa kesemutan itu makin sering terjadi dan pasien kesulitan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, menyapu, dan mengendarai motor. Pada bulan November, pasien memeriksakan ke RSUD Kota Semarang datang ke dokter saraf kemudian dirujuk ke fisioterapi.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit serupa dan tidak pernah mengalami hal-hal yang memicu penyakit tersebut.
4) Riwayat pribadi
Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari  melakukan aktivitas di rumah, seperti mencuci, memasak, dan menyapu dan bepergian naik motor.
5) Riwayat penyakit penyerta
Pasien tidak punya penyakit lain.
6) Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit serupa.
7) Anamnesis system
Anamnese system diperoleh informasi untuk system (a). Kepala dan leher, tidak ada keluhan, (b). Kardiovaskuler, tidak ada       keluhan, (c). Respirasi, tidak ada keluhan, (d). Gastro intestinal, tidak ada keluhan, (e).Urogenital, tidak ada keluhan, (f). Muskuloskeletal, ada rasa nyeri pada pergelangan tangan kanan dan kiri, (g). Nervorum, ada rasa tebal dan kesemutan pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
  1. 2.  Pemeriksaan fisik
               Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak, kemampuan fungsional, pemeriksaan kognitif, pemeriksaan spesifik.
a.  Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan vital sign yaitu pemeriksaan yang meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, suhu, tinggi badan dan berat badan. Untuk pemeriksaaan yang dilakukan pada tanggal 5 Desember 2007 diperoleh data Tekanan darah 110/80 mmHg, Denyut nadi 72 kali, Pernafasan 18 kali, tinggi badan 150 cm, berat badan 40 kg.
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati pada kasus carpal tunnel syndrome. Inspeksi yang perlu diperhatikan adalah, (1) Keadaan umum pasien yaitu baik, (2) Tanda-tanda inflamasi tidak ada, (3) Deformitas tidak ada, (4) Atrofi otot-otot sekitar pergelangan tangan tidak ada.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan memegang bagian tangan pasien untuk mengetahui  (1) Adanya nyeri tekan, (2) Suhu normal, (3) Tidak ada pembengkakan.
d. Perkusi
Tidak dilakukan.
e. Auskultasi
Tidak dilakukan.
  3. Pemeriksaan Gerak
  1. Pemeriksaan Gerak Aktif
Pada pemeriksaan gerak aktif untuk memperoleh informasi tentang adanya nyeri gerak, kekuatan otot, koordinasi gerakan. Pada pemeriksaan ini pasien diminta melakukan gerakan ke segala arah bidang gerak yaitu gerakan fleksi wrist, ekstensi wrist, ulnar deviasi, dan radial deviasi. Dan dari pemeriksaan tersebut pasien dapat menggerakkan pergelangan tangan kanan dan kiri ke segala bidang gerak dengan full ROM tanpa disertai keluhan nyeri di akhir gerakan.
b. Pemeriksaan Gerak Pasif
Pada pemeriksaan gerak pasif untuk mengetahui adanya nyeri gerak atau nyeri tekan,  end feel sendi pergelangan tangan. Pada pemeriksaan gerakan dilakukan penuh oleh terapis ke segala arah bidang gerak yaitu gerakan fleksi-ekstensi pergelangan tangan, ulnar deviasi, dan radial deviasi yang dilakukan penuh oleh terapis tanpa menimbulkan kontraksi otot. Dan dari pemeriksaan tersebut didapatkan nyeri pada akhir gerakan. Dan endfeell pada pergelangan tangan yaitu endfeell lunak.
c. Pemeriksaan Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memprovokasi nyeri musculotendineusnya. Pada pemeriksaan gerakan ini pasien diminta melakukan gerakan ke segala arah bidang gerak yaitu gerakan fleksi wrist, ekstensi wrist, ulnar deviasi, dan radial deviasi yang dilakukan penuh oleh pasien dengan tahanan dari terapis. Dan didapatkan pasien dapat menggerakan ke segala arah yaitu pada gerakan flexi-ekstensi wrist, abduksi dan adduksi wrist, ulnar dan radial deviasi wrist, dan ada sedikit keluhan nyeri.
           4. Kemampuan Fungsional
Pemeriksaan kemampuan fungsional ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan yang berhubungan dengan lingkungan. Kemampuan fungsional meliputi:
a. Kemampuan fungsional dasar
Pasien mampu menggenggam,  fleksi dan ekstensi, serta radial dan ulnar    deviasi pergelangan tangan kanan dan kiri.
  1. Aktivitas fungsional
Pasien dapat melakukan aktifitas makan dengan menggunakan tangan tanpa timbul nyeri, mampu memasak, mencuci baju, menyapu dan mengendarai motor secara mandiri tapi dalam jangka waktu yang lama timbul nyeri dan kesemutan.
c. Lingkungan aktivitas
Lingkungan aktivitas pasien tidak mendukung untuk kesembuhan karena banyak aktivitas yang dilakukan dengan tangan, seperti mencuci baju dan menyapu dan bepergian naik motor.
  1. 5.      Pemeriksaan kognitif, intra personal, interpersonal
Pemeriksaan kognitif diketahui bahwa memori pasien baik, mampu memahami dan mengikuti instruksi terapis. Pemeriksaan interpersonal diketahui bahwa pasien mempunyai semangat untuk sembuh sehingga dia rajin datang untuk terapi. Pemeriksaan intrapersonal  diketahui bahwa pasien dapat bekerjasama dan berkomunikasi baik dengan terapis atau lingkungan sekitar.
6.  Pemeriksaan spesifik
a.  Test profokasi
1)  Phalen test
Pergelangan tangan penderita dipertahankan selama kira-kira 30 detik dalam posisi flexi palmar penuh. Hasil yang diperoleh  hasil positif menunjukkan nyeri pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
Gambar 6
Phalen test (De Wolf & Mens, 1994)
2)  Thinel test
Test ini mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsi fleksi. Dan hasil yang diperoleh adalah positif pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
Gambar 7
Tinel test (De Wolf & Mens, 1994)
3)   Phrayer test
Ekstensikan pergelangan tangan dengan maksimal tahanan selama 30 detik kemudian lepaskan maka akan timbul nyeri di pergelangan tangan. Dan hasil yang diperoleh adalah positif pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
b.  Dermatom test
Dermatom test adalah test sensitifitas pada daerah yang mendapatkan persyarafan nervus  medianus. Yaitu berupa test tajam tumpul ataupun panas dingin. Dan hasil dari dermatom test yang penulis lakukan menunjukkan tidak adanya pengurangan sensibilitas pada daerah yang disyarafi nerves medianus pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
c.  Pengukuran kekuatan otot
Yaitu pengukuran secara fungsional dengan mengukur kekuatan dan integrasi dari fungsi dasar tangan yang berupa kelompok otot flexor, ekstensor, abduktor, dan adduktor pergelangan tangan dengan menggunakan MMT (Manual muscle Testing). MMT (Manual Muscle Testing) adalah suatu usaha untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam menunjukkan kontraksi otot. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan adalah
Tabel 1
Nama Otot
Nilai otot
Wrist kanan:
Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
Wrist kiri
Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
4
5
5
4
5
4+
5
4
Hasil
pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT
d.  Diskriminasi 2 titik
Dengan  mencari sensoris yang lemah pada distribusi nervus medianus yang telah disebutkan di depan dengan menggunakan bolpoin. Dan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada daerah tangan kanan dan kiri adalah tidak adanya penurunan sensibilitas.
e. VAS (Visual Analog Scale )
Yaitu sebuah parameter yang digunakan untuk pengukuran nyeri yang menggunakan nilai 0cm sampai 10cm ( 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sekali). Dan hasil yang diperoleh adalah:
Kanan: Nyeri diam: 0 mm,  Nyeri gerak saat gerakan fleksi  dan ekstensi wrist: 4 mm,  Nyeri tekan pada dorsal tangan: 2 mm.
Kiri: Nyeri diam: 0 mm,  Nyeri gerak saat gerakan fleksi dan ekstensi wrist: 4 mm,  Nyeri tekan pada dorsal tangan: 2 mm.
B. Penatalaksanaan Terapi
            Penatalaksanaan fisioterapi untuk memberikan metode yang tepat dan efektif berdasarkan masalah yang dihadapi, penyebab dan kemampuan pasien sehingga tujuan dari terapi dapat tercapai dengan baik dan yang diharapkan dari program terapi dapat terwujud. Pada kasus carpal tunnel syndrome ini pelaksanaan fisioterapi menggunakan modalitas ultra sonic dan terapi latihan untuk mengatasi problematik yang dihadapi pasien.
Terapi pertama (T1) tanggal 5 Desember 2007:
  1. 1.      Ultra sonic
Gambar 8
Ultra sonic
a. Persiapan alat
Mesin di test apakah mesin dalam keadaan baik dan dapat mengeluarkan gelombang ultra sonic dengan cara memberi air pada tranduser  guna menampung air dan dipegang menghadap ke atas kemudian mesin dihidupkan, bila mesin dalam keadaan baik maka air akan bergerak seperti mendidih kemudian koupling medium, handuk, tissue, dan alkohol dipersiapkan.
b.  Persiapan pasien
Pasien diposisikan senyaman mungkin, rileks, dan tanpa adanya rasa sakit yaitu posisi dengan duduk kemudian tangan supinasi diletakkan diatas bed, kemudian pada bagian tangan disuport oleh bantal. Dan tangan yang akan diterapi harus terbebas dari pakaian dan segala aksesoris. Sebelum pemberian terapi dilakukan tes sensibilitas dengan menggunakan tabung berisi air panas dan dingin didaerah tangan bagian palmar. Posisi terapis duduk di depan pasien. Pasien  diberi penjelasan tentang tujuan pengobatan yang diberikan dan juga rasa panas yang dirasakan dan jika pasien merasakan seperti kesemutan  yang berlebihan saat terapi berlangsung diharapkan pasien langsung memberitahukan kepada terapis.
  c.  Pelaksanaan
Alat diatur sedemikian rupa sehingga tangkai mesin dapat menjangkau tangan yang akan diterapi kemudian area yang akan diterapi yaitu pada dorsal pergelangan tangan kanan diberikan koupling medium kemudian tranduser ditempelkan lalu mesin dihidupkan lalu tranduser digerakan pelan-pelan pada pergelangan tangan kanan pasien secara tranvers dan irama yang teratur di atas pergelangan tangan dengan arah tegak lurus  dengan area terapi, tranduser harus selalu kontak dengan kulit, dengan intensitas 1,5 watt/cm2 secara continous, lama terapi 5 menit diperoleh dari luas area 25 cm2 dan ERA 5 cm2. Selama proses terapi berlangsung harus mengontrol panas yang dirasakan pasien. Jika selama pengobatan rasa nyeri dan ketegangan otot meninggi, dosis harus dikurangi dengan menurunkan intensitas. Hal ini berkaitan dengan overdosis. Setelah terapi pada pergelangan tangan kanan selesai intensitas dinolkan dan dilanjutkan untuk pergelangangan tangan yang kiri sama seperti yang dilakukan pada pergelangan tangan kanan, setelah selesai kemudian alat dirapikan seperti semula. Untuk (T2 – T6) pemberian terapi ultra sonic pada pergelangan tangan kanan dan kiri sama seperti T1.
  1. 2.        Terapi Latihan
Ressisted exercise yaitu merupakan bagian dari active exercise dengan dinamik atau statik kontraksi otot dengan tahanan dari luar. Tahanan dari luar bisa dengan manual atau dengan mekanik.
Posisi pasien: duduk di kursi dengan tangan disangga bantal, terapis duduk berhadapan dengan pasien.
Pelaksanaan:
a. Gerakan dorsi fleksi dan palmar fleksi
Posisi pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh. Latihan diberikan pada pergelangan tangan kanan dan kiri. Terapis menstabilisasi pada pergelangan tangan kemudian pasien diminta menggerakkan kearah dorsal dan palmar fleksi dan terapis memberi tahanan kearah palmar dan dorsal tangan dengan aba – aba “pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8 pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien dengan pengulangan 8 – 10 kali (Bates, 1992).
Gambar 9
Gerak dorsal fleksi dan palmar fleksi dengan tahanan (De Wolf & Mens,    1994)
b.  Gerakan ulnar deviasi dan radial deviasi
Ulnar deviasi:
Posisi pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh dan pronasi dalam posisi netral. Latihan diberikan pada pergelangan tangan kanan dan kiri Terapis memfiksasi pada distal lengan bawah dan pasien diminta menggerakkan tangan ke ulnar dan terapis memberi tahanan kearah dorsal tangan dengan aba – aba “pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8 pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien, dengan pengulangan 8 – 10 kali (Bates, 1992).
Gambar 10
Gerak ulnar deviasi dan radial deviasi yang ditahan (De Wolf & Mens,       1994)
Radial deviasi:
Posisi pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh dan pronasi dalam posisi netral. Latihan diberikan pada pergelangan tangan kanan dan kiri Terapis memfiksasi pada distal lengan bawah dan pasien diminta menggerakkan tangan ke radial deviasi dan terapis memberi tahanan kearah ulnar tangan dengan aba – aba “pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8 pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien, dengan pengulangan 8 – 10 kali (Bates, 1992).
Untuk (T2 – T6) pemberian terapi latihan  pada pergelangan tangan kanan dan kiri sama seperti T1 tapi untuk tahanannya ditambah.
  1. 3.      Edukasi
Agar hasil maksimal maka perlu diberikan edukasi pada pasien tentang cara melakukan aktivitas sehari-hari yang benar dan pemberian modalitas fisioterapi. Edukasi yang diberikan untuk penderita carpal tunnel syndrome yaitu pasien diminta untuk mengompres dengan air hangat pada kedua pergelangan sampai telapak tangan kanan dan kiri sekitar 10 menit, menggerakkan kedua pergelangan tangan sebatas nyeri pasien secara aktif dengan tujuan pemperlancar peredaran darah dan mengistirahatkan kedua tangan saat timbul nyeri dan juga jangan mengangkat beban berat yang menimbulkan nyeri, serta melakukan latihan tangan  seperti yang diajarkan terapis tapi menggunakan tahanan kantong pasir, jangan mengangkat beban berat yang menimbulkan nyeri, jangan memaksakan bekerja secara berlebihan saat tangan merasa nyeri .
C. Evaluasi Hasil Terapi
Untuk mengetahui kemajuan dan kemunduran pasien dengan kondisi carpal tunnel syndrome bilateral atas nama Ny. Eni berumur 33 tahun setelah mendapatkan terapi, maka perlu dibandingkan antara hasil sebelum dan sesudah diberikan  terapi.
  1. Tes provokasi
Test Provokasi
T0
T3
T6
Wrist kanan:
           Test Thinel
Test Phanel
  Test Phrayer
           Wrist kiri:
Test Thinel
Test Phanel
   Test Phrayer


+
+
+
+
+
+


-
+
+
-
+
+


-
-
+
-
-
           +
  1. Nyeri dengan VAS
     VAS
T0
T3
T6
Wrist kanan:Nyeri tekan
Nyeri gerak
Nyeri diam
Wrist kiri:
Nyeri tekan
Nyeri gerak
Nyeri diam
2
4
0
2
4
0
2
3
0
2
3
0
1
3
0
1
3
0
  1. Kekuatan otot dengan MMT
       MMT
T0
T3
T6
Wrist kanan:Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
Wrist kiri:
Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
4
5
5
4
5
4+
5
4
4+
5
5
4
5
4+
5
4+
4+
5
5
4
5
4+
5
4+
4. Kemampuan fungsional pada tangan yaitu pasien sudah sedikit sempurna saat menggenggam, memasak, mencuci dan saat mengendarai motor nyeri agak berkurang.
BAB 1V
PEMBAHASAN HASIL

Seorang wanita berumur 33 tahun dengan carpal tunnel syndrome bilateral yang menimbulkan masalah adanya paraestesia, rasa tebal dan penurunan kekuatan otot, dan penurunan kemampuan fungsional tanganya setelah mendapatkan penanganan fisioterapi dengan menggunakan modalitas ultra sonic dan terapi latihan sebanyak 6 kali dengan remisi tiga kali seminggu didapatkan perkembangan yang positif yaitu adanya pengurangan keluhan parestesia, pengurangan rasa tebal, pengurangan rasa nyeri, peningkatan kemampuan fungsional tangan, peningkatan kekuatan otot pada ke dua pergelangan tangannya.
Berikut ini adalah grafik kemajuan dari problematika pada pasien dengan carpal tunnel syndrome bilateral dengan menggunakan parameter tertentu.
Grafik 1
Grafik nilai VAS wrist kanan
Grafik 2
Grafik nilai VAS wrist kiri
Dari 2 grafik di atas dapat dilihat pengaruh pemberian ultra sonic  pada pergelangan tangan kanan dan kiri sama yaitu nyeri gerak dan nyeri tekan berkurang 1 , sedangkan nyeri diam tidak ada.
Grafik 3
Grafik nilai peningkatan kekuatan otot
 pergelangan tangan kanan


Grafik 4
Grafik nilai peningkatan kekuatan otot
 pergelangan tangan kiri

Dari 2 grafik di atas dapat dilihat bahwa kekuatan otot pada semua sendi pergelangan tangan kanan dan kiri mengalami peningkatan.
Tabel 2
Tabel test provokasi pada pemeriksaan carpal tunnel syndrome
Test Provokasi
T0
T3
T6
Wrist kanan:
           Test Thinel
Test Phanel
  Test Phrayer
           Wrist kiri:
Test Thinel
Test Phanel
   Test Phrayer

+
+
+
+
+
+

-
+
+
-
+
+

-
-
+
-
-
           +
Data yang dapat memberikan bukti klinis yaitu dari data yang bersifat subjektif dari pasien antara lain adanya pengurangan keluhan kesemutan dan rasa tebal pada tangan kanan dan kirinya, peningkatan kemampuan fungsional tangan dan peningkatan kekuatan otot, kemudian test tinel dan test phalen negative pada T6 pada ke dua pergelangan tangannya.
Pada kasus ini penggunaan ultra sonic efektif dalam mengurangi nyeri karena adanya pengaruh termal dan pengaruh langsung dari serabut saraf. Nilai ambang rangsang nyeri meningkat setelah pemberian Ultra Sonic dengan intensitas 1 – 1,5 W/cm2 selama 2 menit (Michlovitz, 1996). Menurut Midellamas dan chatterje bahwa acut soft tissue injury dapat membaik dengan diberikan ultra sonic 1,5 MHz pada intensitas 0,5 –  1 watt/cm² selama  4 – 10 menit untuk jaringan superficial dan 1-2 watt/cm² untuk jaringan yang lebih dalam. Dengan gelombang continous pada ultra sonik pada intensitas 0,5 – 2 W/cm2 dan frekuensi 1,5 MHz telah menghasilkan efek yang lebih efektif pada jaringan superficial dari pada pemanasan dengan parafin dan modalitas lainnya dalam hal mengurangi nyeri pada soft tissue injury atau pada kondisi akut (Cameron, 1999). Selain itu dengan berkurangnya nyeri maka tidak terjadi hambatan dalam kontraksi otot dan kekuatan ototpun bias meningkat, sehingga kemampuan menggenggam juga meningkat.
Efek yang dihasilkan ultra sonic salah satunya yaitu efek thermal yang akan mengakibatkan dilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan aliran darah yang membawa oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk perbaikan jaringan. Selain itu proses pengangkutan zat pengiritasi menjadi lebih lancar sehingga diperoleh efek rileksasi. Dengan frekuensi 1MHz efek thermal dari pemakaian ultra sonik dapat menembus jaringan hingga kedalaman 5 cm dari permukaan kulit (Cameron, 1999). Adanya pengaruh non termal dari ultra sonic mampu memberikan efek peningkatan permeabilitas jaringan kolagen dan perubahan aktifitas seluler yang berperan dalam proses regenerasi jaringan   (Sujatno dkk, 2002).
Nyeri spontan, tenderness, erytema, dan swelling  setelah 10 kali pengobatan selama 12 hari menunjukkan perbandingan yang berarti dibanding terapi infra red, SWD, atau wax bath (Michlovitz, 1996). Sedang penelitian lain menunjukan bahwa dengan pemberian ultra sonic  dengan dosis 1 watt/cm² dengan gelombang konstan selama 5 menit dapat meninggikan ambang rangsang (TITAFI, XV). Penggunaan ultra sonic telah digunakan sejak 50 tahun yang lalu dan efek yang ditimbulkan paling besar adalah efek biologi pada jaringan dengan frekuensi tinggi dengan angka kesembuhan mencapai 73% (Miclhovitz, 1996).
Selain mengoptimalkan modalitas yang telah digunakan yaitu usaha untuk mengurangi nyeri, untuk mencegah adanya atrofi atau menjaga sifat fisiologis otot tangan dan sekitarnya, kelemahan otot, dan gangguan dalam aktivitas dapat dilakukan dengan berbagai teknik terapi latihan baik dengan resissted exercise (Michlovitz, 1996). Manfaat dari terapi latihan adalah untuk meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kemampuan fungsional, meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang rawan sendi dan memperbaiki fungsi jaringan sekitar persendian akibat peradangan atau perlengketan. Suatu percobaan membuktikan bahwa dengan resisted exercise dengan pengulangan 1-8 kali dapat meningkatkan kekuatan otot hingga 60% dan tidak terjadi hambatan dalam kontraksi otot (Miclhovitz,1996).
Keberhasilan yang nyata dengan pemberian terapi ultra sonic dan terapi latihan pada kondisi carpal tunnel syndrome ini dipengaruhi oleh beberapa factor pendukung. Faktor yang mendukung keberhasilan terapi yang dilaksanakan berasal dari faktor terapis, pemilihan modalitas yang efektif, serta faktor dari pasien sendiri. Faktor dari terapis antara lain tingkat pengetahuan tentang carpal tunnel syndrome yaitu proses patologis sampai penatalaksanaan terapi, kemampuan terapis dalam memilih dan melaksanakan program terapi dan pemberian edukasi yang jelas dan benar kepada pasien. Modalitas ultra sonic dilakukan  dalam keadaan baik sehingga dapat memberikan efek terapi sesuai yang diinginkan. Sedangkan dari pasien sendiri, dukungan dari pasien terhadap program terapi yang telah ditetapkan dapat memberikan hasil sesuai yang diharapkan.

BAB V
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan dalam bab terdahulu, mulai dari penyebab, perjalanan penyakit sampai pelaksanaaan terapi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa carpal tunnel syndrome adalah suatu sindroma akibat adanya penekanan nervus medianus pada terowongan carpal dengan derajat penekanan yang bervariasi dari ringan sampai berat. Keadaan tersebut muncul karena adanya berbagai kondisi, artinya syndroma ini jarang muncul sendiri tanpa adanya kondisi lain sebaga pencetus carpal tunnel syndrome sendiri mempunyai gejala dan tanda klinis yang beragam tergantung derajat kerusakan nervus medianus yang tertekan.
Modalitas fisioterapi yang dapat diberikan pada kondisi ini antara lain: ultra sonic, short wave diathermy, micro wave diathermy, infra red, massage, terapi latihan, cold pack. Fisioterapi dengan modalitas ultra sonic dan terapi latihan merupakan terapi yang dapat diberikan pada kondisi carpal tunnel syndrome. Untuk mengatasi masalah yang muncul, yang meliputi impairment, functional limitation, serta disabilitynya.
Pada kasus ini dengan menggunakan ultra sonic dan terapi latihan selama 6 kali, dapat mengatasi masalah dengan hasil menambah kekuatan otot, mengurangi nyeri dan meningkatkan kemampuan fungsional tangan walaupun  belum sepenuhnya dapat diatasi. Peningkatan ini berkat kerja sama fisioterapis dan tenaga kerja lain.
B. Saran
      Adanya kerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain merupakan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan, meskipun pemberian modalitas fisioterapi memegang peranan penting. Hendaknya fisioterapi melakukan identifikasi dan interprestasi masalah dengan baik sehingga bisa diberikan interfensi yang sesuai dengan permasalahan yang ada.
Dalam pemberian  modalitas perlu diperhatikan pengecekan terhadap modalitas secara periodik agar program terapi yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang optimal. Fisioterapi sendiri hendaknya mengembangkan pengetahuan dan selalu merasa tidak puas dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Hal-hal yang juga mempengaruhi keberhasilan terapi adalah motivasi pasien untuk sembuh, peranan dari keluarga serta kerjasama dari tenaga kesehatan lain yang terkait.
Penulis berharap semoga penyajian penulisan ini dapat bermanfaat dalam memberikan pelayanan terapi pada carpal tunnel syndrome dengan modalitas fisioterapi berupa ultra sonic dan terapi latihan. Akhirnya penulis menyadari bahwa penyajian mengenai penatalaksanaan terapi ultra sonic dan terapi latihan pada carpal tunnel syndrome bilateral dalam Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai banyak kekurangan dan perlu disempurnakan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan guna kepentingan bersama yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bates, Andrea, 1992; Aquatic Exercise Therapi; W.B Sounders Company, Philadelpia.
Cailliet, Rene, 1990; Neck and Arm Pain; F.A Davis Company, Callifornia.
Chusid, J.G,1967; Corelative Neuro Anatomy and Fungsional Neurologi; Thirtheen, Lange Medical, Publication Los Altos, California, hal. 220.
Connoly, John, 1981; The Management of Fractures and Dislocation; Bagian satu, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
De Wolf AN and Mens, 1994; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh; Bohn Stafleu Von Loghom, Houten Seventeen.
Dep Kes RI, 1999; Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat 2010; Jakarta.
Hislop, H.J and Montgomery, J, 1995; Muscle Testing Technique of Manual Examination. Sixth edition, Daniel and Wortingham’s, Churchill Livingstone, USA.
Kisner, C and Colby, 1996; Therapeutic Exercise Fondation and Teqniques; Second edition, Davis Company, Philadelpia .
Livingstone, Churchill, 1983; The Hand Examination and Diagnosis; Aurora, New York.
Maxey, Lisa, 1990; Rehabilitation For Postsurgical Ortopedic Patient; Cetakan Pertama, Davis Company, St Louis, hal. 101.
Michlovitz, Susan, 1996; Thermal Agent in Rehabilitation; Third edition, Davis Company, Philadelpia.
Priyatna, Heri, 1985; Exercise Therapy; Akademi Fisioterapi Surakarta.
Putz, R and R. Pabst, 2000; Sobotta Atlas Anatomi Manusia; E.G.C, Jakarta.
Rambe, Aldy (2004); Carpal Tunnel Syndrome; Diakses 4 Oktober 2006, dari http:/www.rsup.adammalik.cline.net.html.
Shidarta, Priguna, 1984; Sakit Neuro Muskulo Skeletal; Cetakan kedua, P.T Dian Rakyat, Jakarta, hal. 140.
Snell, Richard S,1997; Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; Bagian tiga, penerbit EGC, Jakarta.
Sujatno, I.g dkk, 2002; Sumber Fisis; Akademi Fisioterapi Surakarta.
Posted in Physical Therapy
Posted by wahyu
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan nasional yang diarahkan guna mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajad kesehatan yang optimal. Kesehatan optimal yaitu dimana keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Bina Depnakes, 2003 ).
              Misi dari pembangunan kesehatan sendiri yaitu mewujudkan Indonesia Sehat 2010, untuk mewujudkan Indonesia 2010 maka diperlukan perencanaan yang matang, program yang jelas, penggerakan pelaksanaan yang seksama dan sumber daya (manusia, pembiayaan, logistik) yang memadai.
            Fisioterapis sebagai salah satu pelaksana layanan kesehatan ikut berperan dan bertanggungjawab dalam peningkatan derajat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan obyek disiplin ilmunya yaitu gerak dan fungsi.
A. LATAR BELAKANG
Dalam melakanakan praktek sering kali kita jumpai pasien dengan keluhan nyeri di sekitar leher. Bahkan banyak pasien yang merasakan nyeri tersebut menjalar sampai ke lengan hingga jari tangan bahkan bahu sulit untuk diangkat karena adanya kelemahan otot-otot bahu. Gangguan tersebut merupakan kumpulan gejala-gejala yang dinamakan Cervical Root Syndrome atau lebih dikenal dengan CRS. Nyeri yang menjalar tanpa atau adanya kelemahan otot-otot bahu menyebabkan pasien kehilangan jam kerjanya karena dirasakan sangat mengangggu dalam beraktifitas kerja maupun akifitas sehari-hari yang manggunakan bahu. Adanya pernmasalahan yang timbul karena adanya gangguan fungsi gerak bahu dan tangan maka fisiotrapis berperan aktif dalam menangani permasalahan mengurangi nyeri , mengurangi spasme dan meningkatkan kekuatan otot bahu.
Nyeri cervical merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas kesehatan. Di populasi didapatkan sekitar 34% pernah mengalami nyeri cervical dan hamper 14% mengalami nyeri tersebut lebih dari 6 bulan. Pada populasi diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami nyeri cervical (Turana, 2005). Dr. Ahmad Toha Muslim (2005) mengemukakan bahwa sekitar 80 % penduduk di kota bandung pernah mengalami sakit leher.
Dalam kasus ini penulis menggunakan modalitas fisioterapi berupa Short Wave Diatermy ( SWD ). Pemberian SWD diharapkan dapat merangsang serabut syaraf tipe II dan tipe III, sehingga akan menghalangi masuknya impuls nosiseptif di tingkat medulla spinalis sehingga nyeri akan berkurang dan selanjutnya akan memutus siklus nyeri-spasme-nyeri, Sedangkan modalitas yang kedua adalah dengan  ultra sonic . Ultra Sonic dapat mengurangi nyeri yang didapat dari efek thermalnya. Dilihat dari tulang, ligament, tendon otot yang kesemuanya itu berbentuk keras sehingga modalitas elektris fisioterapi yang penetrasinya dapat menembus jaringan keras adalah ultra sonic (Comeron, 1999 ).
Kelemahan otot-otot bahu dan leher yang disebabkan  oleh entrapment akar saraf servikal  dapat diatasi dengan menggunakan  modalitas fisioterapi yang berupa terapi latihan. Jenis terapi latihan yang digunakan untuk kondisi ini adalah adalah srengtening yaitu terapi latihan dengan menggunakan metode Propioceptif Neuromusular Fasilitation (PNF) dan terapi latihan berupa traksi cervical secara manual. Dengan traksi servical diharap terjadi penambahan ruangan pada intervertebralis maka penyempitan yang dapat menekan akar saraf dapat berkurang, serta diperoleh relaksasi otot-otot leher. Sedangkan dengan PNF  berusaha memberikan rangsangan sedemikian sehingga diharapkan timbul reaksi-reaksi yang sesuai dengan perangsangan yang akhirnya gerakan-gerakan yang diinginkan tercapai. Berdasarkan prinsip PNF dari teori pergerakan yang menyatakan bahwa PNF dapat memperbaiki kekuatan dan kondisi system neuro musuloseletal. Tehnik ini bermanfaat untuk assisted otot-otot yang lemah sekaligus strengthening otot-otot yang lebih kuat.
B. RUMUSAN MASALAH.
          Berdasarkan permasalahan pada kondisi CRS ini, maka penulis dapat merumuskan masalah antara lain (1) Apakah Short wave Diatermy dan ultra sonic dapat mengurangi nyeri (2) Apakah Terapi latihan dengan metode PNF dapat meningkatkan kekuatan oot dan meningkatkan Lingkup Gerak Sendi? (3) Apakah traksi cervical manual dapat menguragi penyempitan pada vertebrae cervialis.
C. TUJUAN PENULISAN.
          Dalam penulisan makalah ini tujuan yang ingin penulis capai adalah untuk mengetahui (1) Manfaat  SWD dan ultra sonic terhadap pengurangan nyeri (2) Manfaat Terapi latihan dengan metode PNF terhadap meningkatkan kekuatan oot dan meningkatkan Lingkup Gerak Sendi.(3) Manfaat traksi cervical terhadap pengurangan penyempitan pada vertebrae cervicalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Anatomi Fungsional
  1. 1.      Sistem tulang
  2. Arcus
Arcus adalah bangunan yang merupakan lempengan dan simetris antara kanan dan kiri, terletak pada posterior corpus. Pangkal dari corpus ini disebut radiks arcus vertebralis. Di sebelah posterior dari lengkung ini bertemu linea mediana posterior dan selanjutnya membentuk tonjolan seperti duri yang disebut prosessus spinosus. Tonjolan meruncing pada batas dataran radiks dan arus ke lateral disebut prosessus tranversus.
  1. Foramen vertebralis
Vertebra cervicalis membentuk suatu columna vertebralis, dengan sendirinya tiap foramen vertebrae yang lain membentuk kanalis di dalam columna vertebralis yang ditempati oleh medulla spinalis, yaitu foramen vertebralis.
  1. Vertebrae cervicalis
Vertebrae cevicalis terdiri dari tujuh vertebrae, yang masing-masing terhubung dengan yang lain. Pada vertebra cervicalis satu sampai enam mempunyai corpus kecil. Processusnya bersifat bifida (bercabang dua). Processus tranversusnya mempunyai foramen transversarium yang membagi processus tranversum menjadi dua tonjolan yaitu tuberkulum anterius dan posterius. tetapi pada cervical enam terdapat pembesaran dari tuberkulum anterius yang disebut tuberkulum karotikus yang terletak di arteria karotikus.
Sedangkan pada vertebrae cervical tujuh terdapat perbedaan susunan dengan vertebrae cervicalis lainya karena prosessus spinosusnya disini meruncing menuju ke dorsal dan tidak bercabang menjadi dua lagi dan sangat menonjol sehingga mudah diraba dari luar, oleh karena itu vertebrae cervical tujuh disebut vertebrae prominens. Selain itu perbedaan yang lainya adalah foramen tranversarium sangat kecil, sebab belum dilalui oleh pembuluh darah.
  1. 2.      Sistem otot
Sesuai dengan kondisi CRS ini maka dalam bab ini penulis akan membahas otot-otot yang berhubungan dengan gerakan leher dan bahu yang meliputi flexor cervicalis otot-otot penggerak utamanya adalah m. sternoleidomastoideus, m. sclaneus medius dan anterior posterior, dimana otot-otot ini diinervasi oleh  C1-8, eksensor cervicalis otot penggerak utamanya adalah m. splennius cervicis, m. semi spinalis, m. longisimus cervicalis, m. ilioastalis cervicis (diinervasi C3-T6), lateral flexi otot penggerak utamanya adalah m. sternoleidomastoideus, m.  sclaneus anterior, medius dan posterior (diinervasi C2-3), rotasi, penggerak utamanya adalah m. obliqus capitis inferior, m. semispinalis cervicis, m.  splenius cervicis, m.  longus capitis (diinervasi C2-T5).
Sedangkan otot–otot penggerak bahu adalah m. deltoid anterior, m.  supra spinatus, dan m.  coraco radialis untuk gerakan flexi, m. latisimus dorsi dan m. teres mayor untuk ekstensi, m. deltoid middle, m. supra spinatus untuk abduksi, m. latisimus dorsi, m. petoralis mayor, m. teres minor dan m. coraco brachialis untuk adduksi, m. infraspinatus, m. teres minor untuk internal dan eksternal rotasi.
  1. 3.      Sistem persarafan
Sistem persarafan merupakan sistem penghantar yang berfungsi sebagai perantara impuls-impuls saraf yang berjalan di kedua arah antara susunan saraf pusat dan jaringan tubuh lainya. Komponen badan saraf terdiri dari serabut-serabut yang terikat menjadi satu oleh jaringan penyokong konektif. Sistem persarafan yang terletak pada plexsus brachialis merupakan sistem saraf perifer yang mana terdapat beberapa persarafan antara lain, n. medianus, n. ulnaris, n. cuaeus, dan n. radialis (Chusid, 1993).
  1. a.       Nerves Musculocutaneus
            Nerves Musculocutaneus timbul dari fascicularis lateral plexsus brachialis dan terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C5 dan C6. mula-mula nerves ini terletak di sebelah lateral arteri axillaris, lalu menembus muscular coraco brachialis dan turun secara oblique di sebelah lateral diantara musculus biceps dan brachialis (Chusid, 1993).
  1. b.  Nerves axillaris (circumflexa, C5-C6)
Nerves axillaris berasal dari fasciculer post plexus brachialis dan terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C5 dan C6, kemudian serabut berjalan ke dorsal (Chusid, 1993).
  1. c.   Nerves radialis (musculospiralis, C6-8 dan Th 1)
Nerves radialis merupakan cabang yang terbesar daripada batas bawah muscular pectoralis sebagai kelanjutan langsung dari fasciculer pectoralis dan serabut-serabut yang berasal dari tiga segmen thoracal pertama dari medulla spinalis. Selama berjalan turun sepanjang lengan, n. radialis ini menyertai arteri profundus dan sekitar humerus serta di dalam sulcus musculospinalis. (Chusid, 1993).
  1. d.  Nerves Medianus (C6-8, Th1)
Nerves medianus dipercabangkan dari pleksus brachialis dengan dua buah caput. Kedua caput tersebut berasal dari fasikulus lateral dan fasikulus medial. Kedua caput tersebut bersatu pada bawah otot pectoralis minor, jadi serabut-serabut dari dalam trunkus berasal dari tiga segmen cervical yang bawah dan dari segmen thorakal pertama medulla spinalis di dalam lengan atas bagian bawah (Chusid, 1993).
  1. e.   Nerves Ulnaris (C8-Th1)
            Nerves ulnaris merupakan cabang terbesar daripada plexsus brachialis. Serabut syaraf ini terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C8-Th1.  Nerves ulnaris ini berasal dari batas bawah musculus pectoralis minor dan berjalan turun pada sisi medial lengan dan menembus septum intermuscular untuk melanjutkan perjalanan dalam sulcus pada caput medialis (Chusid, 1993).
B. Patologi dan Problematik Fisioterapi
1. Definisi
Cervical Root Syndrome adalah keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau kompresi akar-akar saraf cervicalis, yang ditandai dengan nyeri di leher yang menyebar ke lengan atau tergantung pada akar saraf yang tertekan (Dorland, 1985).
2. Etiologi
Beberapa kondisi pada leher banyak disebabkan oleh pergeseran atau penjepitan dari akar saraf atau gangguan pada foramen intervertebralis mungkin disertai dengan tanda dan gejala dari CRS. Kondisi tebanyak pada kasus ini disebabkan oleh proses degeneratif dan herniasi dari discus intervertebralis (Gartland, 1974).
3. Patologi
Discus intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus yang merupakan jaringan elastis, yang dikelilingi oleh annulus fibrosus yang terbentuk oleh jaringan fibrosus. Kandungan air dalam nucleus pulposus ini tinggi, tetapi semakin tua umur seseorang kadar air dalam nuleus pulposus semakin berkurang terutama setelah seseorang berumur 40 tahun, bersamaan dengan itu terjadi perubahan degenerasi pada begian pusat discus, akibatnya discus ini akan menjadi tipis, sehingga jarak antara vertebrae yang berdekatan mejadi kecil dan ruangan discus menjadi sempit. Selanjutnya annulus fibrosus mengalami penekanan dan menonjol keluar. Menonjolnya bagian discus ini maka jaringan sekitarnya yaitu corpus-corpus vertebrae yang berbatasan akan terjadi suatu perubahan. Perubahannya yaitu terbentuknya jaringan ikat baru yang dikenal dengan nama osteofit. Kombinasi antara menipisnya discus yang menyebabkan penyempitan ruangan discus dan timbulnya osteofit akan mempersempit diameter kanalis spinalis. Pada kondisi normal diameter kanalis spinalis adalah 17 mm sampai 18 mm (Adam dan Victor, 1977). Tetapi pada kondisi CRS, kanalis ini menyempit dengan diameter pada umumnya antara 9 mm sampai 10 mm (Adorte dan Galsberg, 1980).
Pada keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati seperempat sampai seperlima, sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh jaringan lain sehingga tidak ada ruang yang tersisa. Bila foramen intervertebralis ini menyempit akibat adanya osteofit, maka akar-akar saraf yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang tertekan ini mula-mula akan membengkok. Perubahan ini menyebabkan akar-akar saraf tersebut terikat pada dinding foramen intervertebralis sehingga mengganggu peredaran darah. Selanjutnya kepekaan saraf akan terus meningkat terhadap penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat fisiologisnya. Penekanan akan menimbutkan rasa  nyeri di sepanjang daerah yang mendapatkan persarafan dari akar saraf tersebut.
  1. 4.      Tanda gejala
Adapun gejala yang khas dari CRS yaitu rasa nyeri yang menjalar mengikuti alur segmentasi serabut syaraf yang lesi sehingga disebut dengan nyeri  radikuler, gangguan fungsi motoris yang ditandai dengan kelemahan otot berdasarkan distribusi myotom, terjadi spasme otot, gangguan sensibilitas pada segmen dermatom, gangguan postural yang terjadi akibat menghindari posisi nyeri, dan pada kondisi kronis timbul kontraktur otot dan kelemahan otot pada regio cervical (Adam dan victor, 1980).
  1. 5.      Diagnosis banding
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan nyeri pada leher dan bahu serta rasa tak nyaman pada ekstremitas. Semua itu harus dibedakan dari mana asalnya dan bagaimana mekanisme terjadinya. Diagnosis banding untuk CRS ini adalah :
  1. Carpal Tunnel Syndrome,
                     Adalah suatu gejala yang muncul bila ada penekanan nervus medianus oleh ligamen transversum sehingga timbul kesemutan, nyeri menjalar ke tangan (Cailliet, 1991).
  1. Thoracic outlet syndrome
    1. a.      Anterior sclanei syndrome
               Disebabkan karena adanya kompresi bundle neurovaskuler diantara otot sclanei dan costa pertama. Gejalanya adalah numbness, tingling, di lengan dan jari-jari tangan. Biasanya menggambarkan kesemutan datang dan pergi dari tangan dan jari tangan. Nyeri ini letaknya dalam biasanya datang setelah duduk lama (Cailliet, 1991).
  1. b.      Petoralis minor syndrome
Muncul bila ada penekanan bundle neuromuscular diantara bagian antero lateral atas dan otot pectoralis minor terjadi bila hiperabduksi humerus mengulur otot pectoralis minor ( Cailliet, 1991).
  1. Claviculocostal syndrome
Timbul karena adanya penekanan pada bundle neurovasculer saat melewati belakang clavicula di sebelah anterior costa pertama, gejala lainnya adalah adanya dropy posture yaitu posturnya salah, lelah, cemas, dam depresi. (Cailliet, 1991).
  1. 6.      Komplikasi
Komplikasi dari CRS adalah atrofi otot-otot leher dan adanya kelemahan otot-otot leher dan bahu, dan ketidakmampuan tangan untuk melakukan aktifitas (Sidharta, 1984).
  1. 7.      Problematika fisioterapi
  2. Impairment, yaitu berupa nyeri,  penurunan kekuatan otot bahu dan leher, serta penurunan lingkup gerak sendi bahu dan leher..
  3. Functional limitation, berupa gangguan saat menengok dan menunduk, nyeri saat bangun tidur dan tidur miring, nyeri saat mengangkat lengannya.
  4. Disability, yaitu tidak ada gangguan dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
C. Teknologi Fisioterapi
Modalitas fisioterapi  yang digunakan dalam penanganan CRS ini adalah SWD, ultra sonic, dan terapi latihan.
  1. 1.      SWD (Short Wave Diatermy)
            SWD adalah alat yang menggunakan energi listrik elektromagnetik yang dihasilkan arus bolak-balik frekuensi tinggi. Frekuensi yang diperbolehkan pada penggunaan SWD adalah 27 MHz dengan panjang gelombang 11 m. Energi elektromagnetik yang dipancarkan dari emitter akan menyebar sehingga kepadatan gelombang semakin berkurang pada jarak semakin jauh. Berkurangnya intensitas energi elektromagnetik juga disebabkan oleh penyerapan jaringan (Banress, 1996).
Dalam kasus ini penulis menggunakan modalitas fisioterapi berupa Short Wave Diatermy ( SWD ). Pemberian SWD diharapkan dapat merangsang serabut syaraf tipe II dan tipe III, sehingga akan menghalangi masuknya impuls nosiseptif di tingkat medulla spinalis sehingga nyeri akan berkurang dan selanjutnya akan memutus siklus nyeri, kemudian akan memberikan efek relaksasi otot-otot lain yaitu mempengaruhi aliran darah lokal yang membuat spasme otot berkurang sehingga terapi relaksasi dan nyeri dapat terhambat ( Cailliet, 1991).
  1. 2.      Ultra Sonic
Gelombang ultra sonic adalah gelombang yang tidak dapat didengar oleh manusia. Merupakan gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya dari arah “ke” dan “dari” dan perambatannya memerlukan media penghantar. Media pengahantar harus elastis agar partikel bisa merubah bentuk dan kembali ke bentuk semula untuk memungkinkan gerakan “ke” dan “dari”. Dari sini dijumpai daerah padat atau compression dan daerah renggang atau refraction (Sujatno dkk, 2002).
Dalam penggunakan modalitas ultra sonic beberapa ahli membuktikan bahwa ultra sonic efektif untuk mengurangi nyeri, karena ultra sonic dapat meningkatkan ambang rangsang, mekanisme dari efek termal panas. Selain itu pembebasan histamin, efek fibrasi dari ulta sonic terhadap gerbang nyeri dan dari suatu percobaan ditemukan bahwa pemakaian ultra sound dengan pulsa rendah .
a. Efek Ultra sonic
1)  Efek mekanik
           Efek yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik. Gelombang ultra sonic menimbulkan adanya peregangan dan perapatan didalam jaringan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dari ultra sonic. Efek mekanik ini juga disebut dengan micro massage. Pengaruhnya terhadap jaringan yaitu meningkatkan permeabilitas terhadap jaringan dan meningkatkan metabolisme (Cameron, 1999).
          Micro massage adalah merupakan efek terapeutik yang penting karena semua efek yang timbul oleh terapi Ultra Sonic diakibatkan oleh micro massage ini (Cameron, 1999).
2)      Efek termal
           Panas yang dihasilkan tergantung dari nilai bentuk gelombang yang dipakai, intensitas dan lama pengobatan. Yang paling besar yang menerima panas adalah jaringan antar kulit dan otot. Efek termal akan memberikan pengaruh pada jaringan yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang mengakibatkan penambahan oksigen dan sari makanan dan memperlancar proses metabolisme (Cameron, 1999).
3)  Efek biologi
Efek biologi merupakan respon fisiologi yang dihasilkan dari pengaruh mekanik dan termal. Pengaruh biologi ultra sonic terhadap jaringan antara lain:
a)      Memperbaiki sirkulasi darah
Pemberian ultra sonic akan menyebabkan kenaikan temperatur yang menimbulkan vasodilatasi sehingga aliran darah ke daerah yang diobati menjadi lebih lancar. Hal ini akan memungkinkan proses metabolisme dan pengangkutan sisa metabolisme serta suplai oksigen dan nutrisi menjadi meningkat (Cameron, 1999).
b)  Rileksasi otot
Rileksasi otot akan mudah dicapai bila jaringan dalam keadaan hangat dan rasa sakit tidak ada. Pengaruh termal dan mekanik dari ultra sonic dapat mempercepat proses pengangkutan sel P (zat asam laktat) sehingga dapat memberikan efek rileksasi pada otot (Cameron, 1999).
c)  Meningkatkan permeabilitas jaringan
Energi ultra sonic mampu menambah permeabilitas jaringan otot dan pengaruh mekaniknya dapat memperlunak jaringan pengikat.(Cameron, 1999).
d)  Mengurangi nyeri
Nyeri dapat berkurang dengan pengaruh termal dan pengaruh langsung terhadap saraf. Hal ini akibat gelombang pulsa yang rendah intensitasnya memberikan efek sedatif dan analgetik pada ujung saraf sensorik sehingga mengurangi nyeri. Dan dasar dari pengurangan rasa nyeri ini diperoleh dari, perbaikan sirkulasi darah, normalisasi dari tonus otot, berkurangnya tekanan dalam jaringan, berkurangnya derajat keasaman (Cameron, 1999).
e). Mempercepat penyembuhan
Pemberian Ultra sonic mampu mempercepat proses penyembuhan jaringan lunak . Adanya peningkatan suplai darah akan meningkatkan zat antibodi yang mempercepat penyembuhan dan perbaikan pembuluh darah untuk memperbaiki jaringan ( Cameron, 1999).
g). Pengaruh terhadap saraf parifer
 Menurut beberapa penelitian bahwa Ultra Sonic dapat mendepolarisasikan saraf efferent, ditunjukkan bahwa getaran Ultra Sonic dengan intensitas 0,5-3 w/cm2 dengan gelombang kontinyu dapat mempengaruhi exitasi dari saraf perifer. Efek ini berhubungan dengan efek panas. Sedangkan dari aspek mekanik tidak terlalu berpengaruh (Sujatno dkk, 2002).
  1. 3.      Terapi latihan
a. Dengan metode PNF
Terapi Latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif. Atau pula dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mempercepat proses penyembuhan dari suatu cidera yang telah merubah cara hidupnya yang normal. Hilangnya suatu fungsi atau adanya hambatan dalam melakanakan suatu fungsi dapat menghambat kemampuan dirinya untuk hidup secara independent yaitu dalam melaksanakan aktifitas kerja (Priyatna, 1985).
          Tujuan dari Terapi latihan adalah (1) Memajukan aktifitas penderita, (2) Memperbaiki otot yang tidak efisien dan memperoleh kembali jarak gerak sendi yang normal tanpa memperlambat usaha mencapai gerakan yang berfungsi dan efisien, (3) Memajukan kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat beraktifitas normal (Priyatna, 1985).
Jenis terapi latihan yang digunakan untuk kondisi CRS adalah Terapi latihan dengan menggunakan metode Propioceptif Neuromusular Fasilitation (PNF) berusaha memberikan rangsangan sedemikian sehingga diharapkan timbul reaksi-reaksi yang sesuai dengan perangsangan yang akhirnya gerakan-gerakan yang diinginkan tercapai. Tujuan PNF adalah untuk meningkatkan kekuatan otot. Berdasarkan prinsip PNF dari teori pergerakan yang menyatakan bahwa PNF dapat memperbaiki kekuatan dan kondisi system neuro musuloseletal. Tehnik ini bermanfaat untuk assisted otot-otot yang lemah sekaligus strengthening otot-otot yang lebih kuat tanpa melupakan prinsip-prinsip dasar PNF dan teknik PNF.
Adapun prinsip-prinsip dasar yang berhubumgan dengan kasus CRS ini antara lain:
  1. Tahanan maksimal  (optimal)
            Tahanan maksimal maksudnya adalah tahanan maksimal yang masih bisa dilawan oleh penderita dengan baik sehingga memungkinkan penderita untuk mempertahankan suatu posisi (kontraksi isometric) dengan gerakan yang halus. Tahanan ini tergantung toleransi pasien ( Voss, 1985).
         Pegangan pada lumbrical akan mempermudah dalam memberikan tahanan rotasi. Tahanan diberikan sejak awal gerakan sampai titik lemah gerakan. Faktor-faktor mekanis seperti cara kerja “lever”., letak “as” dan gaya berat (gravitasi) sangat mempengaruhi terhadap besar-kecilnya tahanan yang diberikan  ( Voss, 1985).
  1. 2.      Manual contact
                              Manual contact dimaksudkan agar pasien mengerti arah gerakan yang diminta oleh terapis dan sebaiknya dilakukan dengan kedua tangan sehingga mudah untuk memberikan tahanan ataupun assisted ( Voss, 1985).
  1. Stimulasi verbal (komando)
                              Rangsangan suara dapat memacu semangat aktivitas penderita. Dalam memberikan aba-aba kepada penerita harus jelas dan sering diulang-ulang.
  1. 4.      Body position dan body mechanic
                              Terapis berdiri pada grove dan menghadap ke pasien sehingga memungkinkan selalu memperhatikan pasien agar dalam melakukan latihan di rumah sama seperti yang diajarkan terapis.
  1.  Traksi dan aproksimasi.
                              Traksi adalah tarikan yang membuat saling menjauhnya segmen yang satu terhadap segmen yang lain atau usaha mengulur segmen pada suatu ekstrimitas.
                              Aproximasi adalah saling menekanya atau memberikan tekanan pada suatu segmern atau ekstrimitas. Aproximasi bertujuan untuk stabilisasi sendi.
  1. Pola gerak
                              Pola gerak pada ekstrimitas atas adalah flksi-abduksi-eksoroasi, fleksi-adduksi-eksorotasi, ektsensi, abduksi-eksorotasi, ekstensi-abduksi-endorotasi, ekstensi-adduksi-endorotasi.
                              Teknik yang digunakan pada kasus ini adalah “ repeated contration”. Repeated contration adalah suatu teknik isotonic untuk kelompok agonis, yang dilakukan pada bagian–bagian tertentu, dari lintasan gerakan dengan jalan memberikan “ restrech “ yang disusun dengan kontraksi isotonic. Dan tujuan dari teknik ini antara lain memperbaiki kekuatan otot dan daya tahan, memperbaiki lingkup gerak sendi secara aktif, menurunkan ketegangan atau penguluran antagonis, serta penguatan (strengtening) (Wahyono, 2002).
      b. Dengan traksi cervical.
                              Traksi adalah tarikan yang membuat saling menjauhnya segmen yang satu terhadap segmen yang lain atau usaha mengulur segmen pada suatu ekstrimitas.
                              Dengan traksi cervical diharap terjadi penambahan ruangan pada intervertebralis maka penyempitan yang dapat menekan akar saraf dapat berkurang, serta diperoleh relaksasi otot-otot leher (Musthafa, 1988).
                              Dalam percobaan traksi yang diberikan pada susunan vertebrae cervicalis. oleh Olachis dan Strohm disebutkan bahwa dalam keadaan lordosis servical normal. Traksi diberikan dengan tarikan diperoleh regangan jarak antara prosessus spinosus pada vertebrae yng berbatasan sebesar 1-1,5mm (Musthafa, 1988).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad tohamuslim (2005) Rehabilitasi Medik Cegah Kecacatan Pasien; http://www.Pikiran Rakyat.com

Bambang Hastono, 2000, Organisasi Kesehatan; Bina Dipnakes ; Jakarta.
Bambang Hastono, Peningkatan Kualitas Layanan Kesehatan; Bina Dipnakes; Jakarta.
Cailliet, Rene, 1990; Neck and Arm Pain ; F.A Davis Company, Callifornia.

Chusid, J.G, 1993; Neuroanatomi Corelatif dan Neuro Fungsional ; Bagian satu, Gajah Mada University Press, Yogjakarta.

De Wolf AN and Mens, 1994 ; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh ; Bohn Stafleu Von Loghom, Houte Seventeen.

Mustafa, Ihsan ; Penggunaan traksi pada penanggulangan nyeri; Kumpulan makalah TITAFI ke VI, Jakarta, 1988

Michlovits, Susan, 1996; Thermal Agent in Rehabilitation ; Third Edition, Davis Company, Philadelpia.

Priyatna, Heri,1985; Exercise Therapy ; Akademi Fisioterapi Surakarta.

Priyatna, Heri dan Suharyono, 1982 ; Joint Mobility ; Akademi Fisioterapi surakarta.

Sidharta, Priguna1984 ; Neurologi klinis dan Pemeriksaan ; Cetakan pertama, p.t Dian Rakyat, Jakarta.

Taruna, Yuda ; Pendekatan Diagnosa Dan tatalaksana Pada Radikulopati Cervical ; www.mediastore.com.

Voss, et all ; Propeoceptive Neuromusceletal Falititaion ; 3 rd, Harpes Row, Philadelpia, 1985.