BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Tingkat
kecelakaan lalu lintas di kota besar terbilang cukup tinggi. Dimana kecelakaan
tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan
lalu lintas tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban itu sendiri dapt
berupa efek fisik dan psikis. Dari segi fisik tentunya kecelakaan dapat
menyebabkan timbulnya luka pada setiap jaringan tubuh yang terkena trauma dari
kecelakaan lalu lintas baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek
langsung dari trauma tersebut dapat berupa adanya fraktur, luka terbuka ataupun
kerusakan pada organ dalam tubuh yang dapat juga menyebabkan kematian.
Sedangkan efek psikis dari kecelakaan lalu lintas dapat berupa trauma ataupun
rasa takut.
Fraktur
sebagai akibat dari trauma langsung dapat terjadi pada setiap tulang pembentuk
tubuh tergantung dari penyebab dan mekanisme terjadinya trauma. Fraktur adalah
suatu kondisi terputusnya kontinuitas dari jaringan tulang yang diakibatkan
oleh trauma langsung atau tidak langsung maupun patologis. Fraktur dapat
bersifat tunggal maupun multiple dimana pada fraktur ini dapat mengenai
beberapa tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat menimbulkan beberapa
macam masalah.
Pada
laporan kasus ini fraktur yang terjadi adalah fraktur terbuka tibial plateu
dextra, disertai fraktur phalanx pedis dekstra, dan fraktur femur 1/3 tengah
dextra, dimana merupakan fraktur yang mengenai tulang tibia, phalanx, dan femur
bagian tengah. Adapun penanganan yang dapat diberikan pada kasus ini adalah
operasi dengan pemasangan plate and screw pada tibia proksimal dan femur, serta
pemasangan kischner pada phalanx 1-3. Masalah-masalah yang ditimbulkan dari
post operasi adalah adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan
otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak yang terkena
fraktur, serta kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder berupa miositis
ossifikan, avaskuler nekrosis dan lain sebagainya.
Fisioterapi
merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu serta
masyarakat untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi
sepanjang daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan
gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik, mekanis), pelatihan fungsi dan
komunikasi.
Beberapa
latar belakang masalah tersebut, maka kami tertarik untuk mencoba mengkaji dan
memahami mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open
fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx, dan fraktur femur 1/3 tengah
dextra.
- B. Identifikasi Masalah
Penanganan
yang dilakukan pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dapat
dilakukan secara konservatif dan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan
yaitu dengan pemasangan plate and srew, dimana pada post operasi pemasangan
plate and srew akan ditemui permasalahan yaitu adanya nyeri, oedema, spasme,
keterbatasan gerak, kelemahan otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari
anggota gerak yang terkena fraktur.
- C. Pembatasan Masalah
Dari
identifikasi masalah dan keterbatasan waktu yang ada, maka kami hanya membatasi
permasalahan pada penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open
fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan ORIF berupa plate and srew.
- D. Perumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah tersebut diatas, maka kami merumuskan masalah sebagai
berikut :
- Modalitas fisioterapi apa saja yang dapat digunakan pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew.
- Problematik fisioterapi apa saja yang dialami oleh pasien dengan kondisi open fraktur tibial plateu dextra.
- E. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui manfaat terapi latihan pada kasus
fraktur tibia plateu dextra yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerak dan
aktifitas fungsionalnya.
- F. Manfaat Penulisan Makalah
- Bagi Penulis
Adanya
penulisan laporan kasus ini akan menambah pemahaman dalam melaksanakan
proses fisioterapi pada kasus post op open fraktur tibial plateu dextra dengan
pemasangan plate and srew.
- Bagi Institusi
Sebagai
referensi tambahan untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post
op open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew
- Bagi Fisioterapis
Untuk
mendapatkan metode terapi yang tepat dan bermanfaat dalam melakukan penanganan
pada kasus open fraktur tibial plateu dextra.
- Bagi Masyarakat
Sebagai
pertimbangan bagi masyarakat mengenai peran fisioterapi pada kasus open fraktur
tibial plateu dextra sehingga tidak terjadi malpraktek akibat ketidaktauan
masyarakat akibat kesalahan penanganan pada kondisi ini.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Deskripsi Teoritis
1. Anatomi Fungsional
1.
Osteologi
a.
Tulang Femur
Femur
merupakan tulang panjang terpanjang pada tubuh dan dibagi dalam corpus, collum,
ujung proximal, dan ujung distal. Pada corpus kita bedakan menjadi tiga bagian
yaitu, facies anterior lateral dan medial. Facies lateral dan medial dipisahkan
dari sisi dorsal oleh dua peninggian berbibir kasar, lineaaspira yang merupakan
daerah tebal tulang kompakta. Disekitar linea aspera terdapat foramen nutricea,
labium medial dan lateral, labiumlateral berakhir pada tuberusitas glutea.
Kadang-kadang tuberusitas glutea lebih nyata dan dikenal sebagai trochanter
ketiga. Labium medial berjalan kepermukaan bawah collum. Sedikit lebih lateral
dari labium medial kita temukan birai yang turun dari trochanter minor yaitu
linea pectinea.
Pada
bagian proximal dan distal corpus femoris kehilangan bentuk segitigany dan
menjadi lebih bersisi empat. Caput femoris dengan lekukan yang menyerupai pusar
yaitu fovea cacitis yang mempunyai batas irregular dengan collum. Peralihan
dari collum. Peralihan dari collum ke corpus femoris dianterior ditandai oleh
linea intochanterica dan diposterior oleh crista introchanterica. Tepat dibawah
trochanter mayor terletak fossa trochanterica. Trocanter minor menonjol ke
posterior dan medial.
Pada
ujung distal dibentuk oleh epicondylus, tepat dekat epicondylus terletak
condylus lateralis dan medialis. Keduanya disatukan pada permukaan anterior
oleh facies patelaris dan diposterior dipisahkan oleh fossa intercondyloidea.
Fossa ini dibatasi oleh linea intercondylloidea yang membentuk dasar segitiga
(planumpopiliteum) yang sisinya dibentuk oleh labium divergen linea aspera.
Dibawah epycondylus lateralis terletak sulcus popliteus dan diatas epicondylus
medialis terdapat tubercullum adductorius.
b.
Tulang Patella
Patella
merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia. Tulang patella
berbentuk gepeng dan segitiga. Apex dari tulang patella menghadap kearah
distal. Pada permukaan anterior tulang patella kasar dan permukaan dosal
mempunyai permukaan sendi yang dipisahkan ole sebuah peninggian menjadi facies
lateralis yang lebih besar dan facies medialis yang lebih kecil.
c.
Tulang Tibia
Tulang
tibia dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, bagian ujung proximal, corpus dan
ujung distal. Bagian tulang tibia membentuk sendi lutut adalah bagian proximal.
Pada bagian proximal terdiri atas condylus medialis tibiae. Condylus medialis
tibiae permukaan sendi dinamakan facies articularis superior condyli medialis
tibiae. Tapi lateral facies artecularis superior condyli medialis agak menonjol
dan dinamakan tuberculum intercondyloiddeum mediale. Pada condylus lateralis
tibiae permukaan sendi yang dinamakan facies articularis superior condyli
lateralis tibiae dinamakan tubercullum intercondyloideum yang memisahkan kedua
facies articularis pada bagian ini terdapat eminentia intercondyloideum, fossa
intercondyloideum anterior, fossa intercondyloideum posterior. Pada tuberusitas
tibea tonjolan dibagian ventral dan merupakan lekat tendo m. Quadriceps femoris
melalui ligamentum patella pada bagian corpus (diaphysis) tibiae berbentuk segi
tiga dibedakan atas facies lateralis. Facies medialis tibiae, facies psterior tibiae
terdapat linea poplitea tempat alas m. Soleus sedangkan pada bagian kranialnya
merupakan tempat lekat m. popliteus dan crista interossea tibiae terdapat
diantara facies lateralis dan facies posterior berhadapan dengan crista
interossea fibulae. Pada bagian distal agak melebar dibagian terdapat
malleolaris. Incisura fibularis pada malleolus medialis bagian medial pars
distalis yang menonjol kekaudal, pada sulcus malleolaris permukaan dorsal
malleolaris medial yang dilalui oleh tendines mm. Tibialis posterior et
flexordigitorum longus. Pada incisura fibularis lekukan dibagian lateral yang
berhubungan dengan fibulae.
d.
Tulang Fibula
Tulang
fibula dibagi menjadi tiga bagian yaitu ujung proximal, corpus, dan ujung
distal. Pada bagian proximal terdiri capitulum fibulae melekat kebagioan
karniodorsal tibia. Puncak capitulum fibulae dinamakan apex capituli fibulae.
Pada bagian corpus fibulae berbentuk seperti prisma. Tapi yang berhadapan
dengan crista interossea tersebut dihubungkan oleh membrana interossea cruris.
Pada bagian distal ditandai oleh penonjolan kekaudal yang dinamakan malleolus
lateralis. Malleolus lateralis mempunyai permukaan sendi dinamakan facies
articularis malleoli lateralis yang bersendi dengan tulang talus dipermukaan
dorsal malleolus lateralis terdapat sulcus tendinis mm. Peronerum.
e.
Tulang Talus
Tulang
talus dibagi menjadi tiga yaitu caput tali, collum tali, corpus tali. Pada
bagian caput tali terdapat facies articularis navicularis yang bersendi dengan
naviculare pedis. Pada collum tali menghubungkan capu tali dan corpus tali. Di
collum tali terdapat sulcus tali yang bersamaan dengan tulang calcaneus
membentuk sinus tarsi. Sinus tarsi tempati oleh ligamen talocalcaneum
interosseum. Pada bagian corpus tali dimana terdapat trocheal tali, facies
malleolaris meialis tali, processus lateralis tali, processus poterios tali.
Pada bagian processus posterior tali terbagi menjadi dua yaitu tubercullum
laterale dan tubercullum mediale.
f.
Tulang Calcaneus
Tulang
calcaneus dibagi menjadi dua yaitu facies articulares talares anterior et media
dan facies talares posterior. Pada facies articulares talares menonjol kemedial
dinamakan sustentaculum talim. Dibagian dorsal calcaneum terdapat tonjolan
besar dinamakan tuber calcanei. Permukaan medianya terbagi dua bagian yaitu
processus medialis calcanei dan processus lateralis tuberis calcanei.
g.
Tulang Naviculare Pedis
Tulang
naviculare pedis dilihat dari distal terdiri dari facies articularis terdapat
caput tali dan ossa cuneiformiae dipermukaan medianya tuberusitas ossis
naviculare pedis yang dapat diraba dibawah depan malleolus medialis.
h.
Tulang Cuneuforme
Tulang
cuneuforme terdiri atas tulang cuneuforme medialis berbentuk paling besar
bentuknya. Tulang cuneuforme intermedius paling kecil permukaan sendinya
seperti huruf “L” terbalik dan tulang cuneiforme lateralis.
i.
Tulang Metatarsale
Tulang
metatarsale terdiri dari lima buah setiap bagian terdiri dari corpus distal,
media, lateral.
j.
Tulang Basis Phalangis
Tulang
basis phalangis terdiri dari lima setiap bagian terdiri dari distal, medial,
lateral.
k.
Tulang phalanx
Tulang
phalanx terdiri dari phalanx distal, phalanx proksimal
2.
Otot-otot Tungkai Atas
a.
Otot Sartorius
Origo
: Spina iliaca anterior superior
Insertio
: Facies madialis tibiae dekt tuberusitas tibiae bersama-sama
Dengan
tendo otot gracilis dan otot semitendinosus
b.
Otot Rectus femoralis
Origo
: Caput rectum, spina anterior inferiorcaput obliqum, agak
dikranial
acetabulum
Insertio
: Tuberusitas tibiae melalui ligament patellae
c.
Otot-otot Vastus medialis
Origo
: Bagian paling kaudal
linea intertrochanterica, labium mediale
linea
aspera
Insertio
: Tepi medial tendo otot rectus femoralis, patella
d.
Otot-otot Intermedius
Origo
: Permukaan depan dan lateral femur
Insertio
: Tendo otot rectus femoralis
e.
Otot-otot Vastus lateral
Origo
: Permukaan depan dan kaudal trochanter major, labium laterale
Linea
aspera
Insertio
: Tepi lateral tendo otot rectus femoris, patella
f.
Otot Articularis genu
Origo
: Permukaan depan bagian kaudal femur
Insertio
: Permukaan atas dan lateral capsula articularis articulatio genu
g.
Otot Pectineus
Origo
: Pectin ossis pubis, fascia pectinea
Insertio
: Linea pectinea femoralis
h.
Otot Adductor longus
Origo
: Ramus superior ossis pubis diantara symphisis et tuberculum
pubicum
Insertio
: Labium mediale linea aspera
i.
Otot Gracilis
Origo
: Ramus inferior ossis pubis
Insertio
: Facies mediale tibea dekat tuberositas tibea bersama-sama dengan
tendineae
mm. sartorius et semitendinosus (Pesanserinus)
j.
Otot Adductor Brevis
Origo
: Ramus inferior ossis pubis
Insertio
: Labium mediale linea aspera
k.
Otot Adductor Magnus
Origo
: Ramus inferior ossis pubis
Insertio
: Labium mediale linea aspera
l.
Otot Adductor Minimus
Origo
: Ramus inferior ossis pubis
Ramus
inferior ossi inchi
Insertio
: Labim mediale linea aspera
m.
Otot Semimembranosus
Origo
: Tuber ischiadikus
Insertio
: Condilus mediale tibiae
n.
Otot Bicep femoralis
Origo
: Caput longum : tuber ischiadicum
Caput
breve : labium laterale linea asperae
Insertio
: Capitulum fibulae, condylus lateralis
3.
Otot Tungkai Bawah
a.
Otot Tibialis anterior
Origo
: Condylus lateralis tibea, facies lateralis tibea, membrane interssea
Cruris,
facies cruris
Insertio
: Permukaan plantar tulang cuneuforme I, permukaan atas basis
Ossis
metatarsalis I
b.
Otot Extensor digitorum longus
Origo
: Capitulum et facies medialis fibulae, fascia cruris
Insertio
; Aponeurosis dorsalis jari kaki II, V
c.
Otot Pereneus tirtius
Origo
: Fibula (merupakan bagian paling lateralis m. extensor digitorum
longus)
Insertio
: Basis ossis metatarsalis 5
d.
Otot Extensor Hallucis Longus
Origo
: Facies medialis fibulae, membrana interossea cruris
Insertio
: Basis phalanx terakhir ibu jari kaki
e.
Otot Gastocnemius
Origo
: Caput mediale epicondylus medialis moris, caput latrale,
epicondylus
lateralis femoris
Insertio
: Tuber calcanei dengan perantaraan tendo calcanei achilles
f.
Otot Soleous
Origo
: Capitulum febulae, facies posterior fibulae, linea poplitea tibiae,
Arcus
tendinis otot soleus
Insertio
: Tuber calcanei melalui tendo calcanei achillus
g.
Otot Tibialis Anterior
Origo
: Condylus lateralis femoralis, ligament popliteum tibiae
Insertio
: Planum popliteum tibiae
h.
Otot Plantaris
Origo
: condylus lateralis femoralis
Insertio
: Tuber calcanei
i.
Otot Flexor Digitorum Longus
Origo
: Facies posterior tibiae, facies cruris lembar dalam
Insertio
: Phalanx distal jari kaki II, III
j.
Otot Flexor Hallucis Longus
Origo
: Facies posterior fibulae, facies cruris lembar dalam
Insertio
: Phalanx distal ibu jari kaki
k.
Otot Tibialis Posterior
Origo
: Facies posterior fibulae, membrane interossea cruris, facies
posterior
tibiae
Insertio
: Tuberositas ossis navicularis
l.
Otot Peroneus Longus
Origo
: Facies lateral fibulae
Insertio
: Ossa curneuforme I, basis ossis metatarsalis I.
m.
Otot Peroneus Brevis
Origo
: Facies lateralis fibulae
Insertio
: Basis ossis metatarsalis V
4.
Otot-otot Kaki
a.
Otot Extensor Hallucis Brevis
Origo
: Bagian depan calcaneus
Insertio
: Oponerosis dorsalis ibu jari kaki
b.
Otot Extensor Digitorum Brevis
Origo
: Bagian depan calcaneus
Insertio
: Oponerosis dorsalis jari kaki II sampai V
c.
Otot bAbduktor Hallucis
Origo
: Processus medialis tuberis calcanei, flexor retinaculum
Insertio
: Sisi medial phalanx proximal
d.
Otot Flexor Digitorum Brevis
Origo
: Processus medialis calcanei, aponerosis plantaris
Insertio
: Phalanx intermedius jari II sampai V
e.
Otot Abduktor Digiti V
Origo
: Processus medialis et lateralis tuberis calcanei
Insertio
: basis ossis metatarsalis V, basis phalanx proximal jari V
f.
Otot Quadratus Plantae
Origo
: Facies plantaris calcanei
Insertio
: Facies plantaris tendo otot flexor digitorum longus
g.
Otot Lumbricales
Origo
: Tendo flexor digitorum
Insertio
: Aponerosis dorsalis jari II sampai IV
h.
Otot Adduktor Hallucis
Origo
: caput obliqulum basis asseum metatarsalae II sampai V caput
tranversum
sampai sendi articularis metatarsophalanxealis II sampai V
Insertio
: Basis phalanx proximal ibu jari
i.
Otot Flexor Digiti V Brevis
Origo
: Basis ossis metatarsalis V
Insertio
: Basis phalanx proximal jari V
5.
Ligamen-ligamen pada sendi lutut
a.
Ligamen Collateral Medial
Terbentang
dari condylus medialis femoralis sampai tuberositas tibia
b.
Ligamen Collatera lateral
Barasal
dari condylus lateralis menuju capitulum
c.
Ligamen Cruciatum Anterior
Berjalan
dari fossa intercondyloidea anterior tibia kepermukaan medial condylus lateral
femoralis
d.
Ligamen Cruciatum Posterior
Berjalan
dari permukaan lateral condylus femoralis medial kefossa intercondylodea
posterior tibia. Ligamen ini diperkuat oleh ligamen cruciatum anterior
e.
Ligamen Popliteum Arcuatum
Terletak
pada daerah femoralis, erat hubungannya dengan otot popliteum
f.
Ligamen Popliteum Obliqum
Berjalan
dari condylus lateralis femoris kemudian turu menyilng menuju facia meial
popliteum
6.
Ligamen-ligamen pada sendi kaki
a.
Dilihat dari lateral
1)
Ligamen Talofibulare posterior
Berjalan
dari tulang talus melintang ketulang fibula bagian belkang
2)
Ligamen Calcaneofibulare anterius
Berjalan
dari tulang calcaneus membentang ketulang fibula
3)
Ligamen Tibiofibulare anterius
Berjalan
tulang tibia bagian depan dan tulang fibula bagian depan
4)
Ligamen Talofibulare anterius
Berjalan
tulang talus membentang lurus ketulang fibula bagian depan
5)
Ligamen Calcaneonavicular
Berjalan
dari tulang calcaeus dan tulang naviculare melintang pada gagian atas punggung
kaki.
6)
Ligamen Calcaneocuboideum
Berjalan
dari tulang calcaneus dan tulang cuboideum pada bagian atas
punggung
kaki
b.
Dilihat dari medial
1)
Ligamen Tibiotalare Anterius
Berjalan
melintang dari depan dari ujung Tibia dan tulang talus pada sisi depan
2)
Ligamen Tibiotalare Posterior
Berjalan
melintang dari belakang dari tulang Tibia dan tulang Talus pada sisi belakang
3)
Ligamen Tibionaviculare
Berjalan
disamping pada tulang tibia dan tulang Naviculare
7.
Biomekanika pada sendi lutut dan pergelangan kaki
a.
Sendi Lutut
Sendi
lutut merupakan struktur tulang dari tungkai atas dan tungkai bawah yaitu
tulang femur, tibia, fibula dan patella serta dibentuk dari beberapa ligamen
dan minikus. Sendi lutut mempunyai gerakan diantaranya fleksi, ekstensi,
eksternal rotasi. Gerakan fleksi dari posisi full ekstensi, dimulai gerakan
rotasi secara simultan tibia terhadap femur melalui kontraksi otot popliteus,
selanjutnya terjadi gerakan fleksi aktiv akibat kontraksi M. Hamsting.
Pada
gerakan fleksi-ekstensi maka meniscus akan menguat terhadap tibia yang bergerak
terhadap femur. Pada gerakan rotasi dengan fleksi lutut, maka meniscus akan
bergerak mengikuti femur trhadap tibia. Ligamentum cruciatum anterior akan
mengalami penegangan saat ekstensi dan mengendor saat fleksi. Gerakan rotasi
eksternal tibia terhadap femur pada 20 derajat menuju posisi ekstensi disebut
mekanisme screw home dan keaadan tersebut dipengaruhi sususnan kondilus dan
pengendalian struktur ligamentosa.
Kontraksi
Mm. Quadriceps maka parella, ligamentum yang berhubungan dengan kapsula sendi
akan tertarik kearah anterior dan keatas, sehinggga mencegah terjadinya
pergerakan antara condylus pada sisi yang berlawanan. Ada tiga facet sendi pada
permukaan persendian dari femur. Pada pergerakan menuju fleksi meuju ekstensi,
maka hubungan antara permukaan sendi melalui dari facet medial dan selanjutnya
kefacet interior. Kerja otot pada pergerakan ekstensi dilakukan oleh kelompok
otot bicep femoris.
Struktur
ligament akan membantu ekstensi lutu ketika tibia menguat pada posisi menumpu
berat badan. Saat lutut bergerak dari fleksi keekstensi, gerakan kondylus
lateral akan dihentikan pada gerak sendi 160 derajat oleh ligamen cruciatum
anterior dan ligamentum colateralis. Selanjutnya dari kontraksi quadriceps
menyebabkan kondylus medialis akan menambah jangkauan jarak gerak sendi sebesar
20 derajat (untuk menambah full fleksi menjadi 180 derajat) dan menimbulkan
gerakan internal rotasi tibia terhadap femur.
b.
Sendi Pergelangan Kaki
Struktur
tulang pembentuk sendi pergelangan kaki dibentuk oleh dua buah tulang sendi
berikut:
1)
Pada bagian proximal disusun oleh dua buah tulang panjang yang merupakan
struktur
tulang dari tungkai bawah yaitu tulang tibia dan fibula.
2)
Pada bagian distal disusun oleh 12 tulang pendek yang merupakan struktur
tulang
dari kaki yaitu : tulang talus, tulang calcaneus, tulang kuboideum, metatarsal
I, II, III, IV dan V
2. Fraktur tibia plateu
1. Pengertian
Fraktur
Adalah suatu diskontuinitas susunan/jaringan tulang yang
disebabkan
oleh trauma atau keadaaan patologis. (Kumpulan bahan kuliah Program Diploma IV
Fiosioterapi, 2004)
Fraktur
adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun yang partial (Chairudin rasjad). Jadi fraktur
tibia plateu merupakan kasus yang sering menimbulkan komplikasi sekunder
seperti kelainan sendi lutut dan instabilitas sendi lutut. Sehingga akan
menyebabkan gangguan fungsi sendi dan disability setelah cidera. (Apley, 1995)
2. Etiologi
Menurut
Apley (1995) bahwa penyebab terjadinya fraktur dibedakan menjadi 4 macam yaitu
a) fraktur karena trauma langsung ( direct violence ), b) fraktur karena
trauma tak langsung (indirect violence), c) fraktur akibat kelelahan
tulang (fatique fracture) dan d) karena kondisi patologis (pathological
fracture ). Fraktur yang terjadi pada kasus ini adalah fraktur karena
trauma langsung pada tibia plateu akibat kecelakaan lalu lintas.
- Patofisiologi fraktur tibia plateu
Mekanisme
cidera pada fraktur tibia plateu disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
tertabrak motor sehingga terjadi fraktur pada tibia plateu. Menurut Adam (1992)
sebagian besar fraktur pda tibia plateu sering diikuti kerusakan permukaan
sendi lutut dan gangguan stabilitas sendi, sehingga menyebabkan arthropathy dan
disabilitas. Beberapa jaringan lunak sering mengalami kerusakan termasuk
meniskus dan ligamentum stabilisator sendi lutut, namun apabila trauma yang
terjadi sangat keras sering pula mengalami kerusakan arteri popletia dan
pembuluh saraf tepi terutama nervus peroneus dan tibialis.
Jaringan
yang mengalami cidera akan melewati beberapa tahap untuk mencapai penyembuhan
yaitu tahap injury, inflamasi, proliferasi sel dan remodeling, ( Miclovitz,
1996)
- Gambaran Klinis
Tanda
yang menunjukan adanya fraktur tibia lateu tidak jauh berbeda dengan tanda
fraktur secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas dan gangguan fungsi,
namun pada fraktur tibia plateu ini mempunyai ciri-ciri yang khas adanya
pembegkaanpada lutut dan sedikit deformitas, memar biasanya luas dan jaringan
terasa adonan karena hemathrosis. Pada pemeriksaan secara hati-hati ( dibawah
anesthesia) dapat menunjukan ketidakstabilan kearah medial maupun
lateral. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa dengan cermat untuk mencari ada
tidaknya tanda tanda cidera pembuluh darah dan neurulogi (
Apley, 1996).
4.
Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi
fraktur ada dua yaitu:
a.
Fraktur terbuka: terputusnya hubungan tulang dan menembus jaringan otot dan
kulit sehingga dapat terlihat dari luar.
b.
Fraktur tertutup: terputusnya hubungan tulang tetapi fraktur ini tidak
menembus
jaringan kulit, sehingga tidak terlihat dari luar.
Houglund
dan states mengklasifikasikan fraktur tibia berdasarkan bearnya energi yang
menyebabkan terjadinya fraktur, yang dapat menentukan prognosis:
a.
Fraktur berkekuatan tinggi; misalnya dari kecelakaan mobil dan tabrakan,
fraktur
dari group ini sembuh kira-kira 6 bulan.
b.
Fraktur berkekuatan rendah ; misal dari kecelakaan bermain ski, fraktur dari
group ini sembuh kira- kira 4 bulan.
- Komplikasi
Komplikasi
yang sering muncul akibat fraktur tibia plateu adalah (1) kekakuan sendi lutut,
(2) deformitas sendi lutut, (3) osteoarthritis lutut. ( Apley, 1995).
2. ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
A.
Definisi
ORIF
adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk mengembalikan struktur
tulang yang fraktur pada keadaan anatomis dari dalam dengan memberikan ikatan
dari dalam.
B.
Jenis Perangkat Fiksasi
- Cortical bone screw
- Cancellous bone screw
- Self tapping screw
- Dinamik hip screw / dinamik condilar screw
- Plates
- Blade p;ates
- Intramedularis nail
- Tension band wiring
C.
Indikasi Fiksasi Internal
- Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi misalnya fraktur dengan displacement dan tidak stabil.
- Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran setelah dilakukan reduksi, misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan kaki yang bergeser.
- Fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh otot, misalnya fraktur melintang pada patella atau olecranon.
- Fraktur yanfg penyatuaannya kurang baik dan perlahan-lahan terutama pada frakktur leher femur.
- Fraktur patologi akibat suatu penyakit tulang
- Fraktur multiple dimana bila fiksasi dini dengan fiksasi internal atau dengan tujuan untuk mrengurangi resiko komplikasi umum dan kegagalan berbagai organ sistem tubuh (Philips dan Conteas, 1990).
- Kondisi fraktur dimana suplay drah pada angggota gerak tergangggu dan pembuluh-pembuluh darah harus terlindungi (Dandy, 1990)
- Ditemukan banyak debris, dan fragmen yang merusak jaringan otot dan jkaringan lunak lainnnya.
D.
Penentuan Penggunaan Tipe Fiksasi
- Posisi fraktur
- Panjang dan bentuk fraktur
- Ukuran fraktur
- Tekstur dan kekuatan otot diarea sekitar fraktur. (Mc. Rae, 1994)
E.
Keuntungan Fiksasi Internal
- Memberikan kesempatan yang lebih baik untuk reduksi dan penyambungan tulang (Mc. Ray, 1994)
- Memberikan kesempatan mobilisasi awal dan latihan yang lebih cepat
- Mobilisasi dan latihan yang lebih cepat komplikasi fraktur dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
- Pasiewn dapat pulang kerumah lebih awal dengan ctatan pulang agar pasien tetap melakukan latihan-latihan yang diberiakan selam dirumah sakit dan menjauhkan larangan-larangan yang diberikan seperti tidak boleh melkukan pembebanan yang maksimal pada daerah fraktur.
F.
Komplikasi Fiksasi Internal
- Komlikasi infeksi, merupakan penyebab osteotis yang paling sering ditemukan, hal ini tidak diakibatkan logam yang digunakan tapi akibat pembedahan yang tidak memenuhi standart aseptic dan antiseptic.
- Non union, hal ini lebih sdering ditemukan pada tulang lengan atau tungkai bawah dimana apabial hanya salah satu tulang yang patah dan tulang yang sebelahnya tetap utuh.
- Kegagalan implant, diakibatkan implant yang ditananamkan kropos dan penyatuan tulang yang patah belum terjadi. Apabila ditemukan rasa nyeri yang hebat pada fraktur harus diwaspadai dan ditangani.
- Fraktur tulang diakibatkan karena pelepasan implant yang terlalu cepat, waktu yang paling cepat pelepasan implant minimal satu tahun dan satu setengah tahun dan yang paling aman setelah dua tahun setelah masa pelepasan tulang dalam kondisi lemah diperlukan perwatan dan perlindungan.
G.
Teknik Tindakan ORIF
- Banyak metode yang digunakan tergantung jenis kondisinya fraktur dan perangkat yang digunakan juga dengan alasan yang sama.
- Bila menggunakan plate, memungkinkan plate harus dipasang pada permukaan yang dapat diregangkan yaitu pada sisi tulang yang cembung.
- Bila menggunakan paku intermedular digunakan paku yang dapat dikuncikan dengan sekrup melintang. (Muller dkk, 1991)
3. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Post ORIF Open
Fraktur Tibia plateu Dextra dengan Plate and Screw
- Pemeriksaan Subjektif
a.Anamnesis
Anamnesis
bertujuan untuk memperoleh informasi akurat dan relevan, sehingga pertanyaan
harus jelas dan mudah dijawab. Anamnesis dikelompokkan menjadi: a.
Heteroanamnesis, tanya jawab pada orang-orang/keluarga pasien yang mengetahui
kondisi pasien, b. Autoanamnesis, tanya jawab secara langsung kepada pasien,
dapat dibagi menjadi: 1) anamnesis umum, 2) anamnesis khusus.
Keluhan
utama mengenai keluhan yang mendorong pasien mencari pertolongan termasuk
didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, faktor – faktor yang memperberat
atau memperingan, irritabilitas dan derajat berat keluhan, sifat keluhan dalam
24 jam, dan stadium dari kondisi.
Riwayat
Penyakit Sekarang berupa perjalanan penyakit dan riwayat pengobatan
- Pemeriksaan Objektif
a.
Tanda-tanda vital
Tanda
– tanda vital adalah tanda / gambaran pada tubuh seseorang yang penting untuk
diketahui sehingga kita dapat mengetahui keadaan tubuh seseorang,pemeriksaan
tanda vital meliputi
1)
Tekanan darah
2)
Denyut nadi
3)
Frekuensi pernafasan
4)
Temperature
5)
Tinggi badan
6)
Berat badan
b.
Inspeksi
Inspeksi
adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal yang bisa
dilihat/diamati seperti keadaan umum, kondisi berat badan, sianosis, pucat,
bentuk thorak,bentuk vertebra,gerakan – gerakan pernafasan abnormal,kontraksi
otot bantu pernafasan, clubbing finger. Macam-macam inspeksi ada 2, yaitu:
1)
Inspeksi statis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan diam.
2)
Inspeksi dinamis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan
bergerak, contoh waktu penderita bernafas,beraktivitas.
c.
Palpasi
Palpasi
adalah cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang organ/bagian
tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya spasme otot, nyeri tekan, suhu,
tumor/oedema, kontur organ , tingkat kesamaan ekspansi, atropi, kontraktur
d.
Perkusi
1)
Dull bila ada kolaps/konsolidasi
2)
Stoney dull bila ada efusi pleura
3)
Sonor (jaringan paru yang normal)
4)
Hypersonor (hyperinflasi, pneumothorax)
5)
Redup (konsolidasi,atelektasis)
6)
Pekak (pleural effusion)
e.
Auskultasi
Proses
untuk mendengarkan dan menginterpretasikan suara yan timbul dalam thorak dengan
menggunakan alat bantu “stethoscope”. Dipergunakn untuk mengidentifikasi
gangguan ventilasi atau gangguan pembersihan jalan nafas ( lokasi mukus) dan
menilai efektifitas terapi, serta untuk mendengarkan suara jantung.
f.
Pemeriksaan Gerak Dasar
1)
Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif; untuk menentukan kekuatan otot, ROM aktif,
nyeri dan koordinasi gerak.
2)
Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif; untuk menentukan ROM pasif (normal, hypomobilitas,
hypermobilitas), nyeri, end feel, bunyi, tonus dan panjang otot.
3)
Pemeriksaan kontraksi isometrik; untuk menelaah rasa nyeri (provokasi
myotendinogen) dan kelemahan otot (gangguan neuromuskular).
g.
Pemeriksaan Khusus antara lain; Palpasi yaitu untuk memeriksa temperature
local, nyeri tekan, dan bengkak Antropometri yaitu untuk memeriksa adakah
perbedaan panjang segmen, lingkar segmen, oedem, atropi otot.
h.
Pemeriksaan penunjang, seperti sinar X, MRI, CT scan, laboratorium.
i.
Muscle Test (Kekuatan Otot) adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui
kemampuan seseorang dalam mengkontraksikan group ototnya secara voluntary.
Nilai:
0
= Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
1
= Kontraksi otot bisa dipalpasi tapi tidak ada gerakan sendi
2
= Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melaqwan gravitasi
3
= Subyek bergerak penuh dengan LGS penuh melawan gravitasi
tanpa
melwan
tahanan
4
= Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan sedang
(moderat)
5
= Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan maximal.
j.
Anthropometri (Pengukuran komposisi tubuh): Pengukuran lingkar segmen tubuh
yaitu pada anggota gerak bawah untuk menetahui ada tidaknya udem. Dilakukan
dengan menggunakan meteran (meter line), pelaksanaan pengukuran lingkar anggota
gerak ini menggunakan patokan lingkar lutut yaitu tuberusitas tibia.
k.
ROM Test: menggunakan goniometer untuk mengetahui luas lingkup gerak sendi yang
bisa dilakukan oleh suatu sendi.
l.
Pemeriksaan nyeri: dengan skala VAS, cara pengukuran derajat nyeri dengan
menunjukkan satu titik pada garis skala nyeri (0-10cm). Salah satu ujung
menunjukkan tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri yang hebat.
Panjang garis mulai dan tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan
besarnya nyeri.
3.
Problem Fisioterapi
Asuhan
pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita post ORIF open
fraktur tibia plateu dextra dengan plate and screw dilakukan secara
bertahan susuai dengan problem yang ditemukan pada saat dilakukan assesment.
Untuk itu sebelum melakukan intervensi fisioterapi, hendaknya kita mengetahui
problem fisioterapi apa saja yang ada pada penderita dengan post ORIF open
fraktur tibia plateu dextra dengan plate and screw
- Terdapat udema disekitar knee dan ankle
- Adanya nyeri tekan dan gerak pada daerah cidera
- Adanya penurunan LGS knee
- Kelemahan otot –otot flexor dan extensor knee
- Adanya spasme otot quadriceps
4.
Diagnosa Fisioterapi
Impairment
(gangguan), functional limitation (Keterbatasan fungsi), dan
disability/participation restriction (ketidakmampuan) yang menyebabkan
kecacatan.
5.
Rencana Intervensi
a.
Target dan tujuan intervensi terapi dibuat setelah diagnosa fisioterapi
ditetapkan berdasarkan penemuan atau hasil pemeriksaan yang ada.
b.
Rencana intervensi fisioterapi meliputi:
(1)
Tujuan jangka pendek: Mengurangi udema, mengurangi nyeri, mengurangi spasme,
meningkatkan dan memelihara ROM, meningkatkan dan memelihara kekuatan otot.
(2)
Tujuan jangka panjang: meningkatkan, mengembangkan dan memelihara
kemampuan fungsional ADL pasien secra mandiri
c.
Rencana intervensi
(1)
Terapi latihan: passive movement, aktif movement
(2)
Transfer dan ambulasi
(3)
Edukasi
6.
Metode intervensi
a.
Terapi latihan: Terapi latihan merupakan jenis terapi yang didalam
pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan tubuh, baik secara pasif maupun
aktif (Kisher, 1996). Appley (1995) berpendapat bahwa penanganan pasca operasi
dengan mobilisasi sedini mungkin betujuan untuk mengembalikan kapasitas fisik
dan kemampuan fungsional serta memperbaiki fungsi tubuh.
Modalitas
fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan berupa:
1. Passive movement/ gerakan pasif
Pasive
movement adalah suatu latihan yang dilakukan dengan gerakan yang dihasilkan
oleh kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot pasien ( Kisner, 1996).
Tehnik yang digunakan adalah relaxed passive movement , yaitu pemberian
gerak pasif sampai batas nyeri pasien tanpa pemberian kekuatan tambahan dari
terapis. Menurut Gartland (1996) relaxed passive movement bermanfaat
untuk mempertahankan LGS dan mencegah kontraktur otot.
2.
Active movement/ gerakan aktif
Active movement adalah gerakan yang timbul dari kontraksi otot pasien
sendiri secara volunteer atau sadar ( Kisner, 1996). Dengan gerakan aktif akan
menimbulkan kontraksi otot, meningkatkan sirkulasi darah dan nutrisi ke
jaringan lunak di sekitar fraktur termasuk fraktur itu sendiri sehingga proses
penyambungan tulang akan berlangsung lebih baik.
b.
Transver dan ambulasi: salah satu prinsip penanganan pasca operasi yaitu
mobilisasi dini mungkin untuk mencegah komplikasi tirah baring lama (Appley,
1995). Latihan transfer dilakukan bertahap yaitu mulai dari tidur terlentang
lalu duduk long sitting dengan bantuan tumpuan pada kedua elbow saat bangun
kemudian kedua lengan lirus kebelakang menyangga tubuh setelah itu lakukan
bridging untuk menggeser keduduk ongkang-ongkang dengan kedua tungkai digeser
menuju ketepi bed dan menggantung dapat juga tungkai yang sakit dibabtu oleh
terapis lau gerakan badan maju hingga kaki yang sehat menyentuh lantai dan kaki
yang sakit menggantung dan lakukan latihan berdiri dengan kruk disertai latihan
keseimbangan memberikan dorongan kesamping kanan kiri dan kedepan belakang juga
kaki yang sakit diayun ayunkan dengan posisi menggantung. Latihan jalan dengan
kruk dapat diberikan jika pasien telah mampu dan keseimbangan telah membaik
dengan metode Non Weight Bearing (NWB), dengan cara pasien latihan jalan
dengan kedua tangan menumpu pada kruk dan dimulai dari kruk kaki yang sehat
sedang kaki yang sakit digantung.
c.
Edukasi:
(1)
Agar melakukannya sendiri dalam bentuk beraktif pada otot-otot yang tidak
mengalami kelemahan dan latihan gerak pasif dengan bantuan keluarga, pada otot
yang mengalami kelemahan seperti yang telah dianjurkan terapi
(2)
Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga pasien supaya rajin berlatih
sesuai program yang diberikan terapis.
(3)
Disarankan untuk tidak melakukan aktivitas berat dulu, yang menumpu pada kaki
terlalu lama terutama kaki yang sakit jangan menumpu dahulu, jika jalan
diusahakan jangan ada trap-trapan dan jangan ditempat yang licin.
(4)
Pada saat jalan dengan kruk, hendaknya tungkai yang sakit digantung (NWB)
selama sekitar 4-5 minggu atau dapat dilihat hasil foto ronsen apakah sudah
terjadi penyambungan tulang yang patah/fraktur atau tulang sudah cukup kuat
untuk menyangga berat tubuh, kemudian setelah itu dapat dilanjutkan dengan
metode Partial Weight Bearing (PWB) yaitu kaki yang sakit menumpu tapi
tidak penuh melainkan sebagian. Setelah menapak penuh dan dipastikan tulang
tersebut sudah benar-benar kuat kemudian diteruskan dengan Full Weight
Bearing (FWB). Diharapkan keluarga membantu memberi suport agar semangat
dalam berlatih.
7.
Rencana Evaluasi
Sesuai
dengan problematik fisioterapi
8.
Prognosis berisi perkiraan mengenai kondisi pasien
Quo
ad vitam
: mengenai perkiraan hidup mati pasien
Quo
ad sanam
: mengenai perkiraan sembuh tidaknya penyakit
Quo
ad fungsionam :mengenai perkiraan kemampuan
fungsi aktivitas sehari – hari
Quo
ad cosmeticam : mengenai perkiraan
penampilan pasien
9.
Penatalaksanaan Fisioterapi
berupa
tindakan yang dilakukan terapis kepada pasien
10.
Evaluasi hasil terapi
Evaluasi
adalah tindakan untuk membandingkan data sebelum dan sesudah terapi agar lebih
mudah dan lebih cermat dalam mengetahui perkembangan terapi.
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal
pembuatan laporan 21 juli 2007
Kondisi
: FT Muskuloskeletal
A. Keterangan Umum Penderita
Nama
: Tn. Sukron Maenggal
Umur
: 34 tahun
Jenis
kelamin : Laki-laki
Hobi
: Olah raga
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Dorokondang 3/1 lasem, Rembang
- A. Data-data Mesis Rumah Sakit
- Diagnosis Medis
Open
fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra dan CF. Femur
1/3 tengah dextra.
- Diagnosis Klinis
Pasien
tidak bisa menggerakkan atau menekuk lutut kanan.
- Medika Mentosa
- obat premedikasi : sufasatropin
fortanes
pytaidin
buvanes
- obat injeksi : ephedrin
linodex
5%
anua
25 ml
remapnin
- Hasil Lab
Leukosit
: 20,200/mm
Hemoglobin
: 12,7 Gr/dl
Laju
endap darah : 12 /jam
HbsAg
: Negatif
- Laporan Operasi
Tanggal
05 juli 2007
Dx.
Pra
Bedah
:
Open
fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra, dan CF. femur
1/3 tengah dextra.
Dx.
Pasca Bedah :
Idem
Macam
Tindakan : ORIF dengan plate and
screw dan kischner.
- Foto Rotgen
Tanggal
21 juni 2007
Tampak
fraktur spiral tibia plateu dextra
Tampak
fraktur phalanx 1-3 pedis dextra
Tampak
fraktur CF. femur1/3 tengah dextra
Tanggal
05 juli 2007
Tampak
Pemasangan internal fiksasi plate and screw pada os tibia dan os femur serta
pemasangan kischner pada os palanx.
- B. Segi Fisioterapi
- Pemeriksaan Subyektif
- Anamnesis
Autoanamnesis
dan heteroanamnesis:
Keluhan Utama
Nyeri pada
luka incisi kaki kanan didaerah 1/3 proximal tibia dan kesulitan untuk
menggerakan tungkai kanan, terutama untuk menekuk. Pasien juga mengeluh rasa
baal pada tungkai bawah sisi medial , rasa panas pada lutut, dan gatal-gatal
sekitar daerah incisi.
Lokasi
keluhan yaitu pada 1/3 proxsimal tibia.
Onset
yaitu Dimulai sejak pada tanggal 21 juni 2007 ditabrak sepeda motor oleh
karena kecelakaan lalu lintas, kemudian pasien tidak bisa jalan dan dibawa
keRSO tanggal 21 juni 2007. Dilakukan operasi pada tanggal 05 juli 2007.
Faktor-faktor
yang memperberat yaitu Pada saat menggerkkan lutut kanan.
Faktor-faktor
yang memperingan yaitu pada saat tidur terlentang
Sifat
keluhan dalam 24 jam yaitu dinamis
Stadium
dari kondisi yaitu kronis
1)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada
tanggal 21 juni 2007 pasien mengalami kecelakaan ditabrak sepeda motor,
kemudian dibawa keRSO disurakarta untuk mendapatkan tindakan dan pertolongan
pertama. Setelah mengetahui bahwa pasien mengalami perpatahan tulang pada
bagian 1/3 proxsimal tibia, 1/3 tengah femur, dan phalanxz kaki kanannya,
kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hasil diagnosisnya adalah open
fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra, dan CF. femur
1/3 tengah dextra. Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 05 juli 2007
pemasangan ORIF dengan plate and screw ditibia proxsimal dan femur tengah,
dengan kischner diphalanx 1-3. kemudian pasien mengalami rawat inap.
2)
Riwayat Keluarga
Tidak ada
anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama seperti pasien.
3)
Status Sosial
4)
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak
memiliki hipertensi, penyakit jantung, DM, gangguan paru (asma), tetapi
memiliki riwayat trauma.
- Pemeriksaan Objektif
1)
Pemeriksaan tanda vital
a)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
b)
Denyut nadi : 88 x/menit
c)
Frek. Pernafasan : 16 x/menit
d)
Temperatur :
37 0 C
e)
Tinggi badan : 175 cm
f)
Berat badan : 65 kg
2)
Inspeksi
Statis :
a)
KU baik
b)
Tungkai dextra dipasang elastis bandage
c)
Terdapat oedema pada patella dextra
d)
Tampak tropic change pada tungkai bawah
e)
Tidak atropi dan decubitus
f)
Saat pasien istirahat tidak menahan nyeri
Dinamis :
a)
Tampak ekspresi wajah pasien kesakitan saat lutut kanannya di pasifkan oleh
terapis
b)
Pasien jalan menggunakan kruk (NWB)
c)
Gangguan gerak pada hip, knee, dan phalanx dextra
3)
Palpasi
a)
Adanya nyeri tekan pada pada daerah cidera
b)
Suhu lokal pada daerah cidera (lutut kanan) lebih tinggi dari daerah yang sehat
c)
Adanya spasme otot gastrocnemius kanan
d)
Tidak ada pitting oedema
e)
Terdapat tropic change disekitar daerah tungkai bawah dan ankle
4)
Perkusi
5)
Auskultasi
6)
Gerakan Dasar
a)
Gerak pasif
1. AGB
Sinistra
Hip
: Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan flexi,
extensi,
abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee :
Mampu untuk digarakkan fexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle :
Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi
dan inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB
Dextra
Hip
: Belum mampu untuk digerakkan kearah flexi,
extensi,
abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi karena masih nyeri
Knee
: Mampu untuk digarakkan flexi tapi tidak full ROM, karena pasien masih
merasakan nyeri
Ankle
: Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi,
eversi dan inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
b) Gerak
aktif
1. AGB
Sinistra
Hip
: Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan flexi,
extensi,
abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee :
Mampu untuk menggerakkan flexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle :
Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi,
eversi dan inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB
Dextra
Hip
: Belum mampu melakukan gerakan kearah flexsi,
extensi,
abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi karena masih ada nyeri
Knee
: Mampu untuk menggerakkan flexi, tapi tidak sampai full ROM, karena pasien
mengeluh nyeri
Ankle
: Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi,
eversi dan inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
c) Gerak
isometrik melawan tahanan
AGB Dextra
Knee
: Belum mampu gerak isometrik melawan tahanan dari terapis untuk semua gerakkan
Ankle :
Mampu gerak isometrik melawan tahanan minimal dari terapis untuk semua arah
gerakkan
7)
Muscle Test (kekuatan otot)
Tidak
dilakukan
8)
Antropometri test
Tidak
dilakukan
9)
ROM Test
Tidak
dilakukan
10)
Pemeriksaan nyeri
Menggunakan
skala VAS ( Verbal Analogue Scale)
0
10
keterangan
:
0 :
Tidak ada nyeri sama sekali.
10 :
Nyeri tak tertahankan.
Nyeri
diam : 3
Nyeri
tekan : 5
Nyeri
gerak : 7
11)
Kognitif, intra personal dan inter personal
Kognitif
: Baik, pasien mampu menceritakan kronologis kejadian trauma dengan baik, mampu
menjawab pertanyaan terapis, dan mampu mengingat memori jangka panjang dan
jangka pendek dengan baik
Intra
personal : Pasien mampu menerima keadaan dirinya dan
mempunyai keinginan serta motivasi yang tinggi untuk sembuh
Inter personal
: pasien dapat bekerja sama dengan terapis, pasien menjalankan latihan
yang diajarkan oleh terapis, dan mampu melaksanakan program dengan baik.
12)
Pemeriksaan Kemampuan Fungsional
- Kemampuan fungsional dasar :
-
pasien mampu menggerakan pergelangan kakinya ke segala arah tanpa adanya nyeri
-
pasien belum mampu menekuk lututnya tanpa bantuan terapis
- Kemampuan fungsional aktifitas :
-
pasien sudah mampu duduk tanpa bantuan
-
pasien sudah mampu miring kekiri tanpa bantuan
-
pasien sudah mampu turun bed dengan bantuan
-
pasien sudah mampu latihan jalan dengan kruk (NWB)
13)
Pemeriksaan Spesifik.
Tidak
dilakukan
14)
Mekanisme terjadinya permasalahan ( underlying process)
Pasien adalah
seorang laki-laki berusia 34 tahun yang memiliki seorang istri dan dua orang
anak laki-laki, pasien bekerja sebagai wiraswasta. Pada tanggal 21 juni 2007
mengalami kecelakan lalu lintas ditabrak sepeda motor, pasien terjatuh dan
tidak bisa jalan kemudian pasien dibawa ke RSO. PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA
pada tanggal 21 juni 2007. Pasien menjalani rawat inap dan operasi pada tanggal
05 juli 2007.
Fraktur
dan mekanisme terjadinya fraktur tibia plateu
Fraktur
adalah hilangnya kontinuitas dari tulang baik secara lengkap maupun tidak
lengkap (Adam, 1992). Fraktur juga bisa lebih dari sekedar patahnya kontinuitas
tulang karena pada fraktur yang disebabkan oleh benturan yang kuat dari luar
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak sekitar fraktur seperti
kerusakan syaraf, pembuluh darah, tendon otot maupun ligament.
Fraktur
tibia plateu merupakan kasus yang sering menimbulkan komplikasi sekunder
seperti kelainan sendi lutut dan instabilitas sendi lutut. Sehingga akan
menyebabkan gangguan fungsi sendi dan disability setelah cidera. (Appley,
1995).
Kekakuan
sendi lutut dan atropi otot penggerak lutut akan mengganggu aktifitas
fungsional pasien, sehingga perlu penanganan yang serius yang melibatkan
beberapa disiplin ilmu dokter, ortopedi, dan fisioterapi.
Dengan
modalitas fisioterapi berupa terapi latihan diharapkan dapat mengembalikan
fungsi dan gerak pada cidera setelah operasi.
Karena
setelah dilakukan operasi oleh dokter ortopedi pasti tidak lepas dari beberapa
komplikasi post op, antara lain : oedem, penurunan kekuatan otot penggerak
lutut, keterbatasan LGS yang akan mengakibatkan penurunan fungsi dan gerak pada
sendi lutut.
Prinsip
terapi adalah:
a.
Membatasi kerusakan jaringan lunak dan mempertahankan penutup kulit
b.
Mencegah atau sekurang kurangnya mengetahui pembengkakan kompartemen
c.
Memperoleh penjajaran (aligment) fraktur
d.
Untuk memulai pembebanan dini (pembebanan membabtu penyembuahan)
e.
Mulai gerakan sendi secepat mungkin
Bila
fraktur tibia berdiri sendiri, diperlukan immobilisasi dan bila fraktur dengan
displacement perlu dilakukan reposisi.
- Diagnosis Fisioterapi
1)
Impairment.
Adanya
nyeri diam, nyeri tekan dan nyeri gerak pada daerah cidera
Adanya
oedema disekitar knee dan ankle
Adanya
spasme otot quadriceps kanan
Adanya
penurunan LGS knee
Kelemahan
otot-otot flexor dan extensor knee
Berpotensi
terjadi atropi dan kontraktur
2)
Functional limitation.
Keterbatasan
aktivitas yaitu berdiri dan berjalan secara mandiri karena adanya nyeri incisi
pada 1/3 proxsimal tibia.
Penurunan
kemampuan jongkok-berdiri dan aktivitas toileting secara mandiri.
Tidak
mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
3)
Disability / Participation Restriction
Kesulitan
berpartisipasi dalam kegiatan bersosialisasi dilingkungan masyarakat.
Ketidak
mampuan untuk bekerja kembali sebagai wiraswasta oleh karena open fraktur
tibia plateu dextra.
- Program Fisioterapi
1)
Tujuan Fisioterapi
a)
Jangka pendek
Mengurangi
nyeri pada daerah incisi
Mengurangi
odema disekitar knee dan ankle.
Mengurangi
spasme otot quadriceps kanan
Meningkatkan
LGS knee
Meningkatkan
kekuatan otot flexor dan extensor knee
Mencegah
atropi dan kontraktur
b)
Jangka panjang
Meninngkatkan
kemampuan fungsional tungkai kanan
Mengembaliakan
aktivitas fungsional pasien secara maximal dan vocational
2)
Teknologi Intervensi
a)
Teknologi alternatif
(1) TENS
(2) IR
(3) Terapi
latihan
(4) Change
position
(5)
Massage
(6)
Evaluasi dan pumping exercise
b)
Teknologi terpilih
(1) Terapi
Latihan
(2)
Transver dan ambulasi
c)
Teknologi yang dilaksanakan
(1) Terapi
Latihan :
- passive
movement
- latihan
gerak aktif, pasif
- standing
exercise
- walking
exercise
- Rencana Evaluasi
a)
Nyeri dengan skala VAS
b)
Oedema dengan antropometri
c)
ROM dengan goneometer
d)
Kekuatan otot dengan MMT
- Prognosis
Quo ad
vitam
: Baik
Quo ad
sanam : Baik
Quo ad
fungsionam : Baik
Quo ad
cosmeticam : Sedang
- Pelaksanaan Fisioterapi
Pada
tanggal 18 Juli 2007
TERAPI
LATIHAN :
- Latihan gerak pasif (knee dan ankle dextra)
Pasien
tidur terlentang, terapis menggerakkan tungkai kanan pasien secara pasif,
gerakkan diulangi 2 sampai 8 kali.
Gerakannya
:
-
knee : fleksi, ekstensi, endorotasi, eksorotasi
-
ankle : dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi
- Latihan gerak aktif (knee dan ankle dextra)
Pasien
tidur terlentang kemudian pasien melakukan gerak aktif.
Gerakannya
:
-
knee : fleksi
-
ankle : dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi
Saat
pasien melakukan gerak fleksi terlihat keterbatasan gerak pada knee. Gerak AGA
kanan kiri dan AGB kiri normal.
- Standing exercise
Posisi
pasien duduk di tepi bed
Pelaksanaannya
: pasien diminta menurunkan kedua tungkainya, sambil terapis memfiksasi lutut
kanan pasien.terapis teruis memonitor raut wajah pasiendan menanyakan apakah
pasien menjadi pusing atau tidak.serta kontak tangan terapis dengan pasien
selalu dilakukan, untuk mengetahui apakah pasien terjadi perubahan suhu badan
atau tidak. Jika pasien merasa pusing dan suhu badan dingin latihan harus
dihentikan.
- Walking exercise
Posisi
pasien berdiri dengan bantuan kruk.
Pelaksanaan
: sebelum latihan berjalan, pasien harus benar-benar siap. Setelah itu kedua
kruk dimajukan terlebih dulu ke depan. Diikuti dengan kaki yang sehat dan kaki
yang sakit tetap menggantung. Pasien diminta jalan mengitari ruangan dengan
metode NWB. Dan latihan dihentikan setelah pasien merasa lelah.
Edukasi :
1)
Pasien diminta untuk mengganjal tungkai bawahnya (ankle) dengan bantal
(elevasi) dan menggerak-gerakkan anklenya sesering mungkin.
2)
Pasien disarankan tidak menapakkan kaki kanannya saat berjalan
Pada
tanggal 19 juli 2007 TERAPI II
Sama
dengan terapi hari pertama.
- Evaluasi
Tidak
dilakukan
- Hasil Terapi Akhir
Setelah
diberikan terapi pada pasien yang bernama Bpk. Sukron sebanyak 2 kali, maka
hasil yang didapat deri sebelum dan sesudah terapi sebagai berikut yaitu :
Keluhan
nyeri berkurang.
Terdapat
peningkatan kemampuan fungsional
Kondisi
umum pasien baik
Posted by wahyu
Tingkat
kecelakaan lalu lintas di kota besar tetrbilang cukup tinggi. Dimana kecelakaan
tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan
lalu lintas tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban itu sendiri dapt
berupa efek fisik dan psikis. Dari segi fisik tentunya kecelakaan dapat
menyebabkan timbulnya luka pada setiap jaringan tubuh yang terkena trauma dari
kecelakaan lalu lintas baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek
langsung dari trauma tersebut dapat berupa adanya fraktur, luka terbuka ataupun
kerusakan pada organ dalam tubuh yang dapat juga menyebabkan kematian.
Sedangkan efek psikis dari kecelakaan lalu lintas dapat berupa trauma ataupun
rasa takut.
Fraktur
sebagai akibat dari trauma langsung dapat terjadi pada setiap tulang pembentuk
tubuh tergantung dari penyebab dan mekanisme terjadinya trauma. Fraktur adalah
suatu kondisi terputusnya kontinuitas dari jaringan tulang yang diakibatkan
oleh trauma langsung atau tidak langsung maupun patologis. Fraktur dapat
bersifat tunggal maupun multiple dimana pada fraktur ini dapat mengenai beberapa
tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat menimbulkan beberapa macam
masalah.
Pada
laporan kasus ini yang terjadi adalah Post ROI (removele Of Inplate)fraktur
femur dextra 1/3 distal, fraktur cruris 1/3 tengah dan post riliase knee
dextra, dimana merupakan suatu tindakan operasi untuk melepas kembali implan
yang sudah terpasang ditulang yang berfungsi sebagai fiksasi waktu fraktur dan
dilakukan riliase guna untuk membebaskan perlengketan jaringan yang ada pada
lutut. Adapun masalah-masalah yang ditimbulkan dari post operasi adalah adanya
nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan otot, deformitas, dan
gangguan fungsional dari anggota gerak serta kemungkinan terjadinya komplikasi
sekunder berupa miositis ossifikan, avaskuler nekrosis dan lain sebagainya.
Fisioterapi
merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu serta
masyarakat untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi
sepanjang daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan
gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik, mekanis), pelatihan fungsi dan
komunikasi.
Beberapa
latar belakang masalah tersebut, maka kami tertarik untuk mencoba mengkaji dan
memahami mengenai penatalaksanaan terapi latihan pada kondisi post ROI fraktur
femur dextra 1/3 distal, fraktur cruris 1/3 tengah dextra dan post riliase knee
dextra. Adapun jenis dari terapi latihan tersebut yaitu : 1) Static kontraksi,
2) Rilex pasive movement, 3) Force pasive movement, 4) free aktive movement, 5)
Assisted aktive movement, 6) Resisted aktive movement, 7) Streching, 8) Latihan
jalan.
Posted by wahyu
Toracho Outlet Syndrome (TOS)
Kasus :
seorang
ibu rumah tangga yang mempunyai tubuh cukup besar (over weight). Oleh dokter
dinyatakan menderita TOS (Thoracic Outlet Syndrome). Lengan kanan sering
merasa kesemutan , hal ini sudah dirasakan sudah 2 bulan yang lalu. Buat
mangement fisioterapinya!
Pendahuluan
Thoracic
Outlet Syndrome adalah nyeri bahu, lengan yang disebabkan penekanan struktur
neurovascular (arteri/vena subclavia, arteri/vena axillaris, pleksus
brachialis) pada “Cervical Thoracic dorsal- Outlet”, yang dibatasi oleh tulang
iga I (costa I), dengan bagian depn oleh sternum proximal dn bagian belakang
oleh T1
MANAGEMENT
FISIOTERAPI
I. Data base
Identitas
penderita
Nama :Ny.
X
Alamat :
Jl. Pulang III/7
Umur : 32
th
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Agama :
Islam
Dokter :
Sri Surti Turi, dr. Sp.RM
Fisioterapis
: Tora Omi Susilo, Amd.FT
Tanggal :
31 Agustus 2008
Diagnosa
dokter : TOS
II. Anamnesa
Keluhan
Utama :
- Nyeri bahu sebelah kanan
- Lengan kanan sering merasa kesemutan,
- Tangan kanan tidak dapat membawa barang terlalu berat
- Leher susah menoleh dan kaku saat ditekuk ke samping kanan
RPS
- Lengan sering merasa kesemutan sejak 2 bulan yang lalu
- Rasa kesemutan menjalar sampai ke lengan bawah
- Nyeri bahu saat melakukan aktivitas terutama saat menggendong anak
- Pernah satu kali dibawa ke tukang pijat tradisional keluhan berkurang
RPD
- DM
RPK
- ibu dari Ny. Indri menderita DM
RPE
- Ibu rumah tangga dengan 2 orang anak dan 1 orang bayi berusia 6 bulan, kondisi ekonomi menengah ke bawah
III.
Pemeriksaan fisik
Vital
sign:
- GCS : normal
- Tensi : 120/80 mmHg
- RR : 21x/menit
- Nadi : 80x/menit
- TB/BB : 155cm/70kg
Inspeksi
General
- Irama goyang lengan kanan hilang
- Postur tubuh gemuk
- Berjalan mandiri/tanpa alat bantu
Lokal
- Kepala cenderung lateral fleksi ke arah kanan
Palpasi
- Nyeri tekan pada bahu sebelah kanan
- Adanya spasme daerah leher
- Kekenyalan otot berkurang
LGS
D
|
S
|
|
Kepala
|
F: 0-30˚
R: 0-35˚
|
F: 0-45˚
R: 0-50˚
|
Bahu
|
S: 40-0-100˚
F:
20-0-120˚
|
S: 50-0-180˚
F:
45-0-180˚
|
Elbow
|
S: 0-0-120˚
|
S: 0-0-145˚
|
Forearm
|
R: 35-0-40˚
|
R: 45-0-50˚
|
Wrist
|
S: 50-0-60˚
|
S: 50-0-60˚
|
MMT
D
|
S
|
|
Lateral fleksor kepala
|
3
|
5
|
Rotator kepala
|
3
|
5
|
Fleksor bahu
|
3
|
5
|
Ekstensor bahu
|
3
|
5
|
Fleksor elbow
|
3
|
5
|
Ekstensor elbow
|
3
|
5
|
Pronator elbow
|
3
|
5
|
Supinator elbow
|
3
|
5
|
Fleksor wrist
|
3
|
5
|
Ekstensor wrist
|
3
|
5
|
Tes
sensorik
- parestesi pada bahu menjalar sampai lengan bawah sebelah kanan
Pemeriksaan
reflek pada lengan kanan :
- Pada tendon bisep :
- Pada tendon trisep :
Pemeriksaan
fungsional :
- Adanya keterbatasan ADL, terutama saat mengangkat beban dengan tangan kanan
Test
khusus :
- Syndrome scalenus
Adson test
: berdiri rotasi&ekstensi
kepala, abduksi lengan 30 ̊ maksimal, ekstensi shoulder, inspirasi dalam
ditahan. (+) jika nyeri sepanjang lengan&tangan, nadi melemah.
Hasil (+)
- Syndrome costo clavicula
Eden test : rotasi side flexi nec&trunk,
extensi shoulder elbow. (+) jika nadi melemah.
Hasil (-)
- Syndrome costoclavicula
Ross Test
: berdiri, abduksi lengan 90 ̊, flexi elbow 90 ̊, retraksi
shoulder, tangan dibuka&ditutup 15x. (+) jika ada cramp, rasa kaku, tdk
mampu menguang gerakan 15x
Hasil (-)
- Syndrome pectoralis
Wright
manuever test : berdiri, abd lengan 90 ̊, ditahan beberapa detik. (+)
jika terjadi nyeri sepanjang lengan&nadi melemah.
Hasil (-)
IV.
Problem list
Kapasitas
fisik :
- Nyeri bahu sebelah kanan
- Spasme pada leher
- Keterbatasan LGS
- Penurunan kekuatan otot lengan kanan
Kemampuan
Fungsional
- Adanya gangguan ADL, seperti menggendong anak, mandi, mengangkat beban berat.
Planning
fisioterapi
- Pemberian IR pada bahu sebelah kanan
- Masase pada m. scalenus&otot-otot bahu untuk relaksasi
- Stretching exercise pada m. scalenus
- AROM
- Aktif resisted
- Edukasi :
- Mengurangi beban pada bahu kanan
- Posisi tidur serileks mungkin
- V. Initial plan
IR
- Model single : 250 watt
- Jarak : 35-45 cm
- Dosis : 15 menit
Masase
- Pada m. scalenus, otot-otot bahu
Stretching
exercise
- Pada m. scalenus
AROM
- Kepala, bahu, elbow&wrist pada semua gerakan
Latihan
aktif resisted
- Pada kelompok ototyang mengalami kelemahan
Evaluasi
Sebelum terapi
:
- Nyeri pada bahu kanan
- Spasme pada leher
- Rasa kesemutan sepanjang lengan kanan
- Keterbatasan LGS pada bahu&lengan kanan
Setelah 2
seri latihan :
- Nyeri berkurang
- Spasme berkurang
- Rasa kesemutan berkurang
- LGS meningkat
Edukasi :
- Mengurangi beban pada bahu kanan
- Posisi tidur serileks mungkin
VI.
Progress note
Subjektif
- Kesemutan pada lengan kanan berkurang
- Spasme berkurang
- Nyeri pada bahu sebelah kanan berkurang
- Leher dapat menoleh ke kanan&ke kiri
Objektif
LGS
D
|
S
|
|
Kepala
|
F: 0-40˚
R: 0-45˚
|
F: 0-45˚
R:0-50˚
|
Bahu
|
S: 45-0-115˚
F:
30-0-125˚
|
S: 50-0-180˚
F:
45-0-180˚
|
Elbow
|
S: 0-0-130˚
|
S:0-0-145˚
|
Forearm
|
R: 40-0-45˚
|
R:45-0-50˚
|
Wrist
|
S: 50-0-60˚
|
S:50-0-60˚
|
MMT
D
|
S
|
|
Lateral fleksor kepala
|
4-
|
5
|
Rotator kepala
|
4-
|
5
|
Fleksor bahu
|
4-
|
5
|
Ekstensor bahu
|
4-
|
5
|
Fleksor elbow
|
4-
|
5
|
Ekstensor elbow
|
4-
|
5
|
Pronator forearm
|
4-
|
5
|
Supinator forearm
|
4-
|
5
|
Fleksor wrist
|
4
|
5
|
Ekstensor wrist
|
4-
|
5
|
Tes
sensorik : parestesi berkurang
Tes reflek
:
Tendon
bisep = N
Tendon
trisep = N
Tes khusus
: adson test (-)
Asesment
Setelah 1
seri terapi
- Bu Indri mengalami kemajuan yang memuaskan
- Nyeri bahu kanan telah banyak berkurang
- Kemampuan ADL meningkat
Planning
Meneruskan
terapi untuk mendapatkan hasil yang maksimal
Posted by wahyu
Posted by wahyu
PATOFISIOLOGI NYERI LEHER
DISAMPAIKAN OLEH:
dr. Prasetya Hudaya
Seminar,
Kamis,5 November 2009, Riyadi Palace Hotel, Solo
PENDAHULUAN
Nyeri
leher atau dikenal juga sebagai nyeri servikal, nyeri tengkuk atau cervical
syndrome merupakan keluhan yang sering dijumpai di praktik klinik. Tiap tahun
16,6% populasi dewasa mengeluh rasa tidak enak di leher, bahkan 0,6% berlanjut
menjadi nyeri leher yang berat. Incidence nyeri leher meningkat dengan
bertambahnya usia. Lebih sering mengenai wanita daripada laki-laki dengan
perbandingan 1,67:1.
Meskipun dapat sebagai akibat adanya proses patologis pada jaringan lunak,
namun lebih sering akibat kondisi yang berhubungan dengan cervical spine.
Sumber nyeri leher yang berhubungan dengan cervical spine antara lain cervical
spondylosis, radiculapathy atau kompresi pada radix saraf, myelopathy atau
kompresi pada medulla spinalis cervical, cedera, iritasi pada otot-otot
paraspinal.
Mekanisme dari berbagai penyebab nyeri leher, tanpa adanya gejala
radikuler atau myelopathy hingga saat ini masih belum jelas.
silahkan
di klik pada subyek diatas
ANATOMI
FISIOLOGI
Cervical spine terdiri atas 7 vertebra dan 8 saraf servikal. Fungsi utama leher
adalah menghubungkan kepala dengan tubuh. Stabilitas kepala tergantung pada 7
buah vertebra servikal.
Hubungan antara vertebra servikal melalui suatu susunan persendian yang cukup
rumit. Gerakan leher dimungkinkan karena adanya berbagai pensendian, facet
joint yang ada di posterior memegang peranan penting.
Sepertiga gerakan fleksi dan ekstensi dan setengah dari gerakan laterofleksi
terjadi pada sendi atlantooccipitalis (dasar tengkorak dengan VC1). Sendi
atlantoaxialis (VC1-VC2) memegang peranan pada 50% gerakan rotational.
VC2 hingga VC7 memegang peranan pada dua per tiga gerakan fleksi dan ekstensi,
50% gerakan rotasi dan 50% gerakan laterofleksi.
Posted by wahyu
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan pada era globalisasi ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang modern sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia. Demikian juga pembangunan bangsa Indonesia dalam bidang kesehatan
merupakan usaha yang ditujukan untuk tercapainya kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk supaya terwujud kesehatan yang optimal, untuk mewujudkan
hal tersebut maka pemerintah mencanangkan kebijaksanan nasional mengenai
pembanguan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia
sehat 2010 (DepKes RI, 1999).
Upaya kesehatan yang semula hanya berupa penyembuhan
(kuratif) saja, secara berangsur-angsur berkembang, sehingga mencakup upaya
peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan
pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan dan dengan peran serta masyarakat (DepKes RI, 1999).
Fisioterapi sebagai salah satu pelaksanaan
pelayanan kesehatan ikut berperan dan bertanggung jawab dalam peningkatan
derajat kesehatan, meliputi masalah gerak dan fungsi dengan kajian menyangkut
aspek peningkatan (promotif), aspek pencegahan (preventif), aspek penyembuhan
(kuratif), aspek pemulihan dan pemeliharaan (rehabilitatif) untuk mewujudkan
program pemerintah yaitu Indonesia Sehat 2010 (DepKes RI, 1999).
A. Latar Belakang Masalah
Carpal
tunnel syndrome merupakan sindroma pada pergelangan tangan yang terjadi akibat
adanya tekanan terhadap nervus medianus (Rambe, 2004). Beberapa penyebabnya
telah diketahui seperti trauma, infeksi, gangguan endokrin dan lain-lain
(Rambe, 2004).
Tangan
merupakan salah satu anggota gerak tubuh yang sangat penting karena fungsinya
yang sangat komplek. Kalau dilihat dari segi anatomi pergelangan tangan
dibentuk oleh bangunan tulang, otot, ligament, saraf dan pembuluh darah
sehingga tangan dapat melakukan gerakan halus yang terkoordinir dan otomatis.
Dengan keadaan tersebut bila tangan mengalami gangguan pada pergelangan tangan
bisa dibayangkan betapa rumitnya masalah yang akan muncul karena sebagian besar
pekerjaan dikerjakan dengan tangan.
Orang
yang mempunyai resiko besar terkena carpal tunnel syndrome antara lain jenis
pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan
ini umumnya menggunakan kombinasi kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama
pada jemari dan tangan, seperti: pekerjaan yang sering menggunakan
komputer, dokter gigi, gitaris, guru, ibu rumah tangga
dan pekerja lapangan yang mengoperasikan alat bervibrasi seperti bor dan juga
mengendarai motor. Pada tahun 1998 insiden carpal tunnel syndrome kira-kira “
515 per 10.000 populasi (Rambe, 2004).
Dalam
proposal karya tulis ini penulis memilih kasus carpal tunnel syndrom karena
penulis mengamati semua orang melakukan pekerjaan dengan menggunakan kedua
tangan, jadi apabila kedua tangan terkena carpal tunnel syndrome maka aktivitas
produksi akan terganggu.
Masalah
yang muncul pada carpal tunnel syndrome adalah nyeri, parestesia, penurunan
kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut banyak tekhnologi fisioterapi alternative yang tersedia, seperti : micro
wave diathermy (MWD), short wave diathermy (SWD), ultra sound
(US), infra red (IR), transcutaneus electrical nerve stimulation
(TENS) dan terapi latihan. Disini untuk pengurangan nyeri dan parestesia
menggunakan modalitas ultra sonic yang menimbulkan efek mekanik dan termal.
Mengingat adanya kelemahan otot, gangguan dalam beraktivitas akibat kekakuan
sendi, dapat dilakukan dengan terapi latihan yang berupa resisted exercise untuk
meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional tangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan pada kondisi carpal tunnel syndrom, maka penulis dapat
merumuskan masalah antara lain (1) Apakah ultra sonic dapat mengurangi nyeri
pada carpal tunnel syndrome ? (2) Apakah ultra sonic dapat mengurangi
parestesia pada carpal tunnel syndrome ? (3) Apakah terapi latihan dengan resisted
exercise dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional
tangan pada carpal tunnel syndrome?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan proposal Karya Tulis
Ilmiah ini tujuan yang ingin penulis capai adalah untuk mengetahui; (1) Manfaat
ultra sonic terhadap pengurangan nyeri pada carpal tunnel syndrome,
(2) Manfaat ultra sonic terhadap pengurangan parestesia pada
carpal tunnel syndrome, (3) Manfaat terapi latihan dengan
resisted exercise terhadap peningkatan kekuatan otot dan kemampuan
fungsional tangan pada carpal tunnel syndrome.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi Fungsional
Pergelangan tangan dibentuk oleh
beberapa tulang, otot, struktur persendian dan diinervasi oleh beberapa syaraf.
a.
Tulang pembentuk sendi pergelangan tangan
Tulang-tulang
pada sendi pergelangan tangan yaitu ada 2 deretan. Deretan pertama
terdiri dari tulang radius dan ulna. Deretan yang kedua terdiri atas
delapan tulang carpalia yang tersusun dalam dua deretan. Tulang carpal
deretan proksimal antara lain scapoideum, lunatum, triquetrum, dan pissiforme.
Sedangkan bagian distal terdiri atas tulang trapezium, trapezoideum, capitatum,
dan hamatum.
1)
Tulang scapoideum
Tulang
ini berbentuk perahu dengan dataran proksimal yang konveks bersendi dengan
tulang radius. Tulang ini mempunyai dataran sendi yaitu kearah ulnar bersendi
dengan tulang hamatum, kearah distal bersendi dengan tulang trapezium,
kapitatum, dan trapezoideum, dan pada permukaan volar memiliki tonjolan
yang disebut tuberositas scapoideum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
2)
Tulang lunatum
Tulang
ini memiliki hubungan dengan tulang lain yaitu kearah radial dengan tulang
scapoideum, kearah ulnar dengan tulang triquetum, kearah distal dengan tulang
kapitatum. Tulang ini mempunyai dataran proximal yang konveks yang bersendi
dengan tulang radius, dan berbentuk kecil , seperti bulan sabit ( Putz R dan R.
Pabst, 2005 ).
3)
Tulang triquetrum
Memiliki
hubungan dengan tulang lain yaitu kearah proximal dengan tulang radius, kearah
radial dengan tulang lunatum, kearah ulnar dan volar berhubungan dengan tulang
pisiforme yang melekat pada permukaan volar tulang triquetrum, dan kearah
distal dengan tulang hamatum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
4)
Tulang pisiforme
Tulang
yang berbentuk kecil, agak bulat sebesar biji kacang ini melekat di dataran
volar pada tulang triquetum ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
5)
Tulang trapezium
Tulang
ini mempunyai hubungan dengan tulang lain yaitu ke arah vollar dengan
trpezoidium dan terdapat tonjolan tulang yang disebut tuberositas osis
trapezium, kearah proximal dengan tulang scapoideum, kearah distal dengan
tulang metacarpal I dan II ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
6)
Tulang trapezoideum
Tulang
ini kearah radial mempunyai hubungan dengan tulang trapezium, ke arah ulnar
dengan tulang kapitatum, ke arah distal dengan tulang metacarpal II, dan ke
arah proximal berhubungan dengan tulang scapoideum ( Putz R dan R. Pabst, 2005
).
7)
Tulang kapitatum
Memiliki
bangunan bulat dan panjang sebagai kaputnya. Mempunyai hubungan dengan tulang
lain yaitu ke arah radial berhubungan dengan tulang trapezoideum, ke arah
proximal dengan tulang scapoideum dan lunatum. Kearah ulnar dengan tulang
hamatum, dan kearah distal dengan tulang metacarpal II, III, dan IV (
Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
8)
Tulang hamatum
Memiliki
hubungan dengan tulang lain yaitu kearah proximal dengan tulang triquetum,
kearah radial dengan tulang kapitatum, kearah distal dengan metacarpal IV
dan V. Dan kearah volar memiliki bangunan seperti lidah yang disebut hamalus
ossis hamati ( Putz R dan R. Pabst, 2005 ).
Pada
os scaphoideum dan os trapezium yang masing-masing mempunyai tonjolan tulang
pada bagian volarnya membentuk eminentia carpi radialis. Disebelah ulnarnya
terdapat eminentia carpi ulnaris yang dibentul oleh os pisiforme dan hamalus
ossis hamati.
Gambar
1
Tulang-tulang
pergelangan tangan ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
b.
Ligamen
Ligamen
collateral carpi ulnar yang membentang dari proceccus styloideus ulna menuju ke
tulang triquetum. Ligamen collateral carpi radialis yang membentang dari
processus stiloideus radii menuju ke tulang scapoideum dan ligamen intercarpal
yang terdiri dari ligamen interlaveum volare dan dorsale, ligamen
interseum dan ligamen carpi arquatum.
Gambar
2
Potongan
transversal terowongan carpal ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
c.
Otot
Otot
merupakan stabilitas aktif dan penggerak tulang pembentuk sendi. Otot
pergelangan tangan secara umum dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu oto
fleksor dan otot ekstensor yang masing-masing terbagi dua bagian yaitu
superficialis dan profunda. Otot fleksor superficialis yaitu otot fleksor carpi
ulnaris, fleksor carpi radialis, fleksor digitorum sublimes dan palmaris longus
(Cailliet, 1990).
Otot
fleksor carpi radialis dan fleksor carpi ulnaris berfungsi fleksi pergelangan
tangan, dan otot ekstensi ekstensor carpi radialis longus brevis dan ekstensor
carpi ulnaris berfungsi ekstensi pergelangan tangan. Pada gerakan ulnar deviasi
dilakukan oleh m. ekstensor carpi ulnaris dan fleksor carpi ulnaris. Sedangkan
gerakan radial deviasi dilakukan oleh m. ekstensor carpi radialis, fleksor
carpi radialis, ekstensor pollicis brevis dan abductor pollicis longus.
d.
Nerves medianus
Berasal
dari pleksus brakhialis dengan dua buah caput yaitu kaput medial dari fasikulus
medialis dan kaput lateral dari fasikulus lateralis. Kedua kaput tersebut
bersatu pada tepi bawah otot pectoralis minor, jadi serabut dalam trunkus
berasal dari tiga atau empat segmen medulla spinalis (C6-8, Th1). Dalam lengan
serabut saraf ini tidak bercabang. Truncus berjalan turun sepanjang arteri
brachialis dan melewati sisi volar lengan bawah dan bercabang masuk ke tangan
dan berakhir dengan cabang dan muscular kutaneus (Chusid, 1993).
Otot-otot
yang mensyarafi nerves medianus antara lain: m. pronator teres , m.
flexor carpi radialis, m. palmaris longus, m. flexor digitorum
provundus, m.flexor pollicis longus dan pronator quadratus (Chusid, 1993).
Apabila ada lesi yang mengenai nerves medianus akan mengakibatkan
terjadinya pengurangan sensoris pada bagian volar lengan bawah, daerah palmar
tangan jari 1,2,3 dan setengah jari ke-4.
Gambar
3
Otot-otot
pergelangan tangan tampak palmar ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
Gambar
4
Otot-otot
lengan tampak palmar ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
e.
Biomekanik
Ditinjau
dari morfologinya termasuk artikulasio ellipsoidea, tetapi fungsinya
sebagai artikulatio gluboidea. Gerakan yang terjadi pada persendian itu
yaitu flexi dengan LGS 80°, extensi 70°, ulnar deviasi 30 °, dan radial deviasi
20°. Derajat flexi dan ulnar deviasi lebih besar dibandingkan dengan gerakan
extensi dan radial deviasi, hal ini disebabkan karena bentuk permukaan sendi
radius dari ligamen bagian dorsal lebih kendor dari pada bagian palmar (Chusid,
1967).
Gambar
5
Perjalanan
nerves medianus ( Putz R dan R. Pabst, 2005 )
2. Definisi
Carpal
Tunnel Syndrom adalah entrapment neuropaty yang sering terjadi. akibat
adanya tekanan nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di
pergelangan tangan tepatnya di bawah flexor retinakulam (Rambe, 2004).
3. Etiologi
Carpal
tunnel syndrom dapat dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis, namun pada
sebagian kasus etiologinya tidak diketahui ( idiopatik ), terutama pada
penderita lanjut usia. Selain itu gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan
tangan dapat menambah resiko carpal tunnel syndrom (Maxey, 1990). Nerves
medianus dapat terjebak juga di carpal tunnel itu. Etiologi lain adalah (1)
trauma seperti (dislokasi atau fraktur yang mengenai tulang carpal atau ujung
radius atau fraktur colles atau hematom pada lengan bawah, sprain pergelangan
tangan, pekerjaan dalam posisi menekuk atau fleksi ekstensi secara berulang-
ulang), (2) infeksi oleh karena sinovitis seperti tenosinovitis yang disebabkan
karena inflamasi kronis serta fibrosis pada fleksor sinoviali; infeksi karena
tuberculosis, (3) penyakit degeneratif seperti osteoartritis, (4) penyakit
kolagen vaskuler seperti remathoid arthritis amiloidosis hipotiroidisme dan
lupus erimatosis yang mempredisposisi kompresi saraf median didalam terowongan
karpal akibat penebalan dan hipertrofi ligament serta jaringan ikat lainnya,
(5) penyakit iatrogenik seperti punksi arteri radialis, hematoma, komplikasi
dari terapi anti koagulan (6) Neoplasma seperti kista ganglion, lipoma,
infiltrasi metastase, mieloma (7) Kehamilan juga bisa menyebabkan sindroma ini
diduga karena retensi air pada jaringan ikat sekitar pergelangan tangan,
sindroma biasanya terjadi pada trisemester ketiga yang biasanya bilateral
(Rambe, 2004).
4. Patologi
Ada
beberapa hipotesa mengenai patogenesis carpal tunnel syndrom. Sebagian
berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskuler memegang peranan penting dalam
terjadinya carpal tunnel syndrom. Tapi umumnya carpal tunnel syndrome ini
terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan flexor retinakulum, yang
menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan
lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran
darah vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu
nutrisi intrafasikuler lalu diikuti anoxia, yang akan merusak endotel.
Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi
edema epineural. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis
epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi atrofi dan
akan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi dari nervus
medianus terganggu (Rambe, 2004).
5.
Tanda dan gejala
a.
Gangguan sensorik
Gangguan
sensorik yang timbul awalnya adalah parestesia, kurang merasa (numbness) atau
rasa jari seperti terkena aliran listrik pada jari dan setengah sisi radial
jari, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari, keluhan
parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lain adalah nyeri
ditangan yang juga dirasakan lebih memberat di malam hari . Kadang-kadang nyeri
dapat terasa sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya
terbatas di daerah distal pergelangan tangan (Rambe, 2004). Dapat pula dijumpai
pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari tangan dan pergelangan tangan terutama
di pagi hari.
b.
Gangguan motoris
Pada
tahap lanjut dapat terjadi gangguan pada nerves medianus yang menimbulkan
kelemahan otot tenar sehingga jari-jari tidak dapat digunakan untuk bekerja,
misalnya menjahit, menulis, mengancingkan baju, mengendarai motor.
6. Komplikasi
Komplikasi
carpal tunnel syndrome adalah atrofi otot-otot thenar, kelemahan otot-otot
thenar, dan ketidakmampuan tangan untuk beraktifitas (Shidarta, 1984).
7. Prognosis Gerak dan Fungsi
Carpal tunnel syndrome yang kasusnya
idiopatik mempunyai gejala yang timbul dan hilang dalam beberapa bulan atau
tahu, tapi rasa tidak enak pada malam hari dapat lebih menonjol dan berlangsung
sehingga mengganggu penderita. Progresitifitasnya lebih sering terjadi bila ada
penyakit yang melatarbelakanginya. Bila hanya ada kelainan sensorik, kelainan
ini bersifat reversible, tapi bila dijumpai kelainan motorik maka
kesembuhanya lebih lama walaupun telah melakukan banyak terapi.
8. Diagnosa Banding
Diagnosa carpal tunnel syndrome
adalah (1) Pronator teres syndrome, keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri
pada telapak tangan karena cabang nerves medianus ke kulit telapak tangan
tidak melaui terowongan karpal, (2) Inoracic outlet syndrome, dijumpai atrofi
otot-otot tangan lainya selain otot-otot thenar, (3) Cervical radikulopathy,
keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan bertambah bila leher
bergerak (Rambe, 2004).
B. Deskripsi Problematik Fisioterapi
1. Impairment
a.
Nyeri
Terjadi
karena tekanan yang berulang-ulang dan penjepitan nerves medianus
sehingga tekanan intrafesikuler meningkat.
b.
Parestesia
Terjadi
karena penjepitan pada nerves medianus sehingga aliran darah ke otot-otot yang
disyarafi nerves medianus berkurang (Rambe, 2004) .
c.
Penurunan kekuatan otot dan kemampuan fungsional
Terjadi
karena nyeri yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang yang
mengakibatkan otot inaktif sehingga elastisitasnya berkurang .
- 2. Functional Limitation
Penderita
mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari seperti mengendarai motor,
menyapu, mencuci, dan lain-lain.
- 3. Disability
Aktifitas
sehari-hari yang berhubungan dengan tangan terganggu dalam melakukan
aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga, sebagai anggota keluarga serta dalam
lingkungan masyarakat.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Modalitas
yang digunakan yaitu dengan ultra sonic dan terapi latihan berupa latihan
penguatan otot–otot pada tangan berupa latihan resisted exercise.
- Ultra Sonic
Gelombang
ultra sonic adalah gelombang suara yang tidak dapat didengar oleh manusia.
Merupakan gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya yang
perambatanya memerlukan media penghantar. Media penghantar harus elastis agar
partikel bisa berubah bentuk. Dari sini dijumpai daerah padat atau Compression
dan daerah renggang atau refraction (Sujatno dkk, 2002).
Dalam
penggunaaan modalitas ultra sonic beberapa ahli membuktikan bahwa ultra sonic
efektif untuk mengurangi nyeri karena ultra sonic dapat meningkatkan ambang
rangsang, mekanisme dari efek termal panas. Selain itu pembebasan histamin,
efek fibrasi dari ultra sonic terhadap gerbang nyeri dan suatu percobaan
ditemukan bahwa pemakaian ultra sonic dengan pulsa rendah dapat merangsang
pengeluaran dan pelepasan histamine. Histamine menyebabkan pelebaran
pembuluh darah lokal sehingga terjadi percepatan pembersihan zat atau bahan
kimia yang menyebabkan nyeri (Cameron, 1999).
a.
Mesin ultra sonic
Mesin
ultra sonic terdiri dari sirkuit primer dan sirkuit skunder. Sirkuit primer
adalah generator berfrekuensi tinggi yang membangkitkan arus listrik
berfrekuensi tinggi pula. Sirkuit ini yang dihubungkan dengan tranduser dari
bahan piezo elektrik yang disebut sebagai sirkuit skunder yang memiliki
frekuensi sama dengan sirkuit primer . Frekuensi sirkuit sekunder juga ditentukan
oleh ketebalan bahan piezo elektrik yang harus disesuaikan dengan sirkuit
primer. Mesin ultra sonic dapat memberikan energi secara kontinyu dan terputus.
Pada pemberian-pemberian ultra sonic secara terputus efek panas dapat
ditekankan dan memungkinkan pemberian dengan intensitas yang tinggi. Sedang
pemberian pemberian secara kontinyu lebih menekankan efek termalnya.
Dalam
tranduser terdapat area yang memiliki radiasi efektif yang disebut dengan ERA (
Effective Radiating Area ). Penentuan ERA sangat penting dalam pemberian
intensitas selain luas daerah yang diobati.
b.
Fisika Dasar Ultra Sonic
1)
Sifat-sifat gelombang Ultra sonic
Gelombang
ultra sonic memiliki dua area pancaran yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda yaitu area konvergen dan area divergen. Area
konvergen memiliki ciri terdapat gejala intervensi pada bundle tersebut
sehingga timbul variasi intensitas yang besar (Sujatno dkk, 2002). Sedangkan
area divergen memiliki ciri tidak terjadi gejala interfensi sehingga bundle gelombang
sama dan intensitas semakin berkurang. Jika jarak tranduser semakin jauh dari
permukaan tubuh. Pada area ini bundle gelombangnya memiliki diameter lebih
besar sehingga penyerapan energi lebih besar .
2)
Panjang gelombang
Frekuensi
dari mesin ultra sonic tetap dan kecepatan penyebaran ditentukan oleh
medium, maka panjang gelombang tergantung dari medium yang digunakan.
3)
Penyebaran gelombang ultra sonic
Penyebaran
gelombang ultra sonic di dalam tubuh manusia timbul oleh karena fenomena yaitu
adanya refleksi dan difergensi pada area divergen. Adanya penyebaran
gelombang ultra sonic dapat menimbulkan efek di luar daerah pancaran bundle
ultra sonic sehingga harus diperhatikan media-media yang kuat daya refleksinya
seperti metal, udara, dan jaringan tulang.
4)
Penyerapan dan penetrasi pada gelombang ultra sonic
Jika
energi ultra sonic masuk kedalam jaringan tubu, maka efek pertama yang
diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut semakin
dalam gelombang ultra sonic masuk kedalam tubuh, maka intensitasnya akan
semakin berkurang.
Gelombang
ultra sonic diserap jaringan tubuh dalam berbagai ukuran. Sebagai ukuran
digunakan koefisien penyerapan. Penyerapan tergantung pada frekuensi. Pada
frekuensi rendah penyerapanya lebih sedikit dari pada yang berfrekuensi tinggi.
Disamping refleksi, koefisien penyareapan menentukan penyebaran ultra sonic di
dalam tubuh.
Semakin
dalam gelombang ultra sonic masuk kedalam tubuh semakin besar pula
intensitasnya. Pada frekuensi rendah penyerapan lebih sedikit daripada
frekuensi tinggi.
5)
Bentuk gelombang
Bentuk
gelombang dari ultra sonic antara lain (a) Continous yaitu gelombang yang
dihantarkan secara terus-menerus (b) Interupted / pulsa yaitu gelombang yang
terputus, dengan bentuk pulsa dan lamanya ditentukan oleh karakteristik mesin
yang digunakan.
6) Media penghantar
Media
penghantar harus memenuhi kriteria harus bersih dan steril pada keadaan
tertentu, tidak terlalu cair ( kecuali metode sub aqual ), tidak cepat terserap
kuli, tidak menyebabkan flek-flek, tidak menimbulkan iritasi kulit, mudah
meghantarkan ultra sonik, transparan dan murah.
c.
Efek dari ultra sonic
1)
Efek mekanik
Efek
yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik. Gelombang ultra sonic
menimbulkan peregangan dan perapatan didalam jaringan dengan frekuensi
yang sama dengan frekuensi dari ultra sonic. Efek mekanik ini juga disebut
dengan micro massage. Pengaruhnya terhadap jaringan yaitu meningkatkan
permeabilitas terhadap jaringan dan meningkatkan metabolisme.
Micro
massage adalah merupakan efek teraputik yang penting karena semua efek yang
timbul oleh terapi ultra sonic diakibatkan oleh micro massage ini.
2)
Efek termal
Panas
yang dihasilkan tergantung dari nilai bentuk gelombang yang digunakan, intensitas
dan lama pengobatan. Yang paling besar yang menerima panas adalah jaringan
antar kulit dan otot. Efek termal akan memberikan pengaruh pada jaringan yaitu
bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang mengakibatkan penambahan oksigen
dan sari makanan dan memperlancar proses metabolisme.
3)
Efek biologi
Efek
biologi merupakan respon fisiologi yang dihasilkan dari pengaruh mekanik dan
termal. Pengaruh biologi ultra sonic terhadap jaringan antara lain:
a)
Memperbaiki sirkulasi darah
Pemberian
ultra sonic akan mengakibatkan kenaikan temperatur dan vasodilatasi sehingga
aliran darah ke daerah yang diobati menjadi lebih lancar. Hal ini akan
memungkinkan proses metabolisme dan pengangkutan sisa metabolisme serta suplai
oksigen dan nutrisi menjadi meningkat.
b)
Rileksasi otot
Rileksasi
otot akan mudah dicapai bila jaringan dalam keadaan hangat dan rasa sakit tidak
ada . Pengaruh termal dan mekanik dari ultra sonic dapat mempercepat proses
pengangkutan sel P (zat asam laktat) sehingga dapat memberikan efek rileksasi
pada otot.
c)
Meningkatkan permeabilitas jaringan
Energi
ultra sonic mampu menambah permeabilitas jaringan otot dan pengaruh mekaniknya
dapat memeperlunak jaringan pengikat.
d)
Mengurangi nyeri
Nyeri
dapat berkurang dengan pengaruh termal dan pengaruh langsung terhadap saraf.
Hal ini akibat gelombang pulsa yang rendah intensitasnya memberikan efek
sedatif dan analgetik pada ujung saraf sensorik sehingga mengurangi nyeri.
Pengurangan rasa nyeri ini diperoleh antara lain, perbaikan sirkulasi darah,
normalisasi dari tonus otot, berkurangnya tekanan dalam jaringan, berkurangnya
derajat keasaman.
e)
Mempercepat penyembuhan
Ultra
sonic mampu mempercepat proses penyembuhan jaringan lunak . Adanya peningkatan
suplai darah akan meningkatkan zat antibody yang mempercepat penyembuhan dan
perbaikan pembuluh darah untuk memperbaiki jaringan.
f)
Pengaruh terhadap saraf parifer
Menurut
beberapa penelitian bahwa ultra sonic dapat mendepolarisasikan saraf efferent,
ditunjukkan bahwa getaran ultra sonic dengan intensitas 1,2 w/cm2 dengan
gelombang kontinyu dapat mempengaruhi exitasi dari saraf perifer. Efek ini
berhubungan dengan efek panas. Sedangkan dari aspek mekanik tidak teralu
berpengaruh (Sujatno dkk, 2002).
2.
Terapi Latihan
Terapi
latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam
pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif
maupun pasif. Atau pula dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
mempercepat proses penyembuhan dari suatu cidera yang telah merubah cara
hidupnya yang normal. Hilangnya suatu fungsi atau adanya hambatan dalam
melakanakan suatu fungsi dapat menghambat kemampuan dirinya untuk hidup secara
independent yaitu dalam melaksanakan aktifitas kerja (Priyatna, 1985).
Tujuan
dari terapi latihan adalah (1) Memajukan aktifitas penderita, (2) Memajukan
kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang
berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat beraktifitas normal (Priyatna, 1985).
Terapi
latihan pada carpal tunnel syndrom adalah resisted active exercise merupakan
latihan yang dilakukan dengan memberikan tahanan dari luar terhadap kerja otot
yang memebentuk suatu gerakan. Tahanan dari luar tersebut bisa berasal dari
tahanan manual ataupun mekanik (Kisner,1996). Apabila otot itu berkontaksi
dengan melawan suatu tahanan, maka ketegangan dalam otot itu akan naik. Karena
ketegangan otot bertambah ( bila melawan melawan suatu tahanan) maka untuk
memperkuat otot- otot dengan menggunakan resistance. Tahanan yang dilaksanakan
bisa menggunakan tahanan manual, kantong pasir, per, dan karet. Efek penggunaan
resisted exercise adalah: (1) Menaikkan kekuatan dan daya tahan otot,
(2) Memperbaiki ketidakseimbangan otot, (3) Memperkembang koordinasi gerakan,
(4) Memperbaiki kemampuan fungsional, (5) Memperbaiki kondisi umum penderita.
BAB III
PELAKSANAAN STUDI KASUS
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
Anamnesis adalah suatu tanya jawab
mengenai keadaan pasien yang bisa dilakukan langsung oleh pasien sendiri dan
dilakukan orang lain yang mengetahui keadaan pasien.
- Anamnesis umum
Ditanyakan
mengenai identitas pasien yang meliputi nama: Ny. Eni, umur: 33 tahun,
jenis kelamin: perempuan, agama: islam, alamat: Klipang Permai Blok G No. 134
Semarang, pekerjaan: ibu rumah tangga.
- Anamnesis khusus
Merupakan
anamnesis yang berhubungan dengan kondisi carpal tunnelnya, meliputi:
1)
Keluhan utama
Merupakan
suatu kondisi yang dirasakan oleh pasien yaitu adanya nyeri, terasa tebal,
kesemutan yang dirasakan oleh pasien pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
2)
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat
penyakit sekarang diketahui sejak tiga bulan yang lalu, pasien merasakan
kesemutan dan rasa tebal pada telapak tangan disertai nyeri. Setelah dirasakan
lama-kelamaan rasa kesemutan itu makin sering terjadi dan pasien kesulitan
untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, menyapu, dan
mengendarai motor. Pada bulan November, pasien memeriksakan ke RSUD Kota
Semarang datang ke dokter saraf kemudian dirujuk ke fisioterapi.
3)
Riwayat penyakit dahulu
Pasien
tidak pernah mengalami penyakit serupa dan tidak pernah mengalami hal-hal yang
memicu penyakit tersebut.
4)
Riwayat pribadi
Pasien
adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari melakukan aktivitas di rumah,
seperti mencuci, memasak, dan menyapu dan bepergian naik motor.
5)
Riwayat penyakit penyerta
Pasien
tidak punya penyakit lain.
6)
Riwayat keluarga
Tidak
ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit serupa.
7)
Anamnesis system
Anamnese
system diperoleh informasi untuk system (a). Kepala dan leher, tidak ada
keluhan, (b). Kardiovaskuler, tidak ada keluhan,
(c). Respirasi, tidak ada keluhan, (d). Gastro intestinal, tidak ada keluhan,
(e).Urogenital, tidak ada keluhan, (f). Muskuloskeletal, ada rasa nyeri pada
pergelangan tangan kanan dan kiri, (g). Nervorum, ada rasa tebal dan kesemutan
pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
- 2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan
meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak,
kemampuan fungsional, pemeriksaan kognitif, pemeriksaan spesifik.
a.
Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan
vital sign yaitu pemeriksaan yang meliputi pengukuran tekanan darah, denyut
nadi, pernafasan, suhu, tinggi badan dan berat badan. Untuk pemeriksaaan yang
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2007 diperoleh data Tekanan darah 110/80
mmHg, Denyut nadi 72 kali, Pernafasan 18 kali, tinggi badan 150 cm, berat badan
40 kg.
b.
Inspeksi
Inspeksi
adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati pada kasus carpal tunnel
syndrome. Inspeksi yang perlu diperhatikan adalah, (1) Keadaan umum pasien
yaitu baik, (2) Tanda-tanda inflamasi tidak ada, (3) Deformitas tidak ada, (4)
Atrofi otot-otot sekitar pergelangan tangan tidak ada.
c.
Palpasi
Palpasi
adalah suatu pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan memegang bagian tangan
pasien untuk mengetahui (1) Adanya nyeri tekan, (2) Suhu normal, (3)
Tidak ada pembengkakan.
d.
Perkusi
Tidak
dilakukan.
e.
Auskultasi
Tidak
dilakukan.
3. Pemeriksaan Gerak
- Pemeriksaan Gerak Aktif
Pada
pemeriksaan gerak aktif untuk memperoleh informasi tentang adanya nyeri gerak,
kekuatan otot, koordinasi gerakan. Pada pemeriksaan ini pasien diminta
melakukan gerakan ke segala arah bidang gerak yaitu gerakan fleksi wrist,
ekstensi wrist, ulnar deviasi, dan radial deviasi. Dan dari pemeriksaan
tersebut pasien dapat menggerakkan pergelangan tangan kanan dan kiri ke segala
bidang gerak dengan full ROM tanpa disertai keluhan nyeri di akhir gerakan.
b.
Pemeriksaan Gerak Pasif
Pada
pemeriksaan gerak pasif untuk mengetahui adanya nyeri gerak atau nyeri
tekan, end feel sendi pergelangan tangan. Pada pemeriksaan gerakan
dilakukan penuh oleh terapis ke segala arah bidang gerak yaitu gerakan
fleksi-ekstensi pergelangan tangan, ulnar deviasi, dan radial deviasi yang
dilakukan penuh oleh terapis tanpa menimbulkan kontraksi otot. Dan dari
pemeriksaan tersebut didapatkan nyeri pada akhir gerakan. Dan endfeell pada
pergelangan tangan yaitu endfeell lunak.
c.
Pemeriksaan Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk memprovokasi nyeri musculotendineusnya. Pada
pemeriksaan gerakan ini pasien diminta melakukan gerakan ke segala arah bidang
gerak yaitu gerakan fleksi wrist, ekstensi wrist, ulnar deviasi, dan radial
deviasi yang dilakukan penuh oleh pasien dengan tahanan dari terapis. Dan
didapatkan pasien dapat menggerakan ke segala arah yaitu pada gerakan flexi-ekstensi
wrist, abduksi dan adduksi wrist, ulnar dan radial deviasi wrist, dan ada
sedikit keluhan nyeri.
4. Kemampuan Fungsional
Pemeriksaan
kemampuan fungsional ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari dan yang berhubungan dengan lingkungan.
Kemampuan fungsional meliputi:
a.
Kemampuan fungsional dasar
Pasien
mampu menggenggam, fleksi dan ekstensi, serta radial dan
ulnar deviasi pergelangan tangan kanan dan kiri.
- Aktivitas fungsional
Pasien
dapat melakukan aktifitas makan dengan menggunakan tangan tanpa timbul nyeri,
mampu memasak, mencuci baju, menyapu dan mengendarai motor secara mandiri tapi
dalam jangka waktu yang lama timbul nyeri dan kesemutan.
c.
Lingkungan aktivitas
Lingkungan
aktivitas pasien tidak mendukung untuk kesembuhan karena banyak aktivitas yang
dilakukan dengan tangan, seperti mencuci baju dan menyapu dan bepergian naik
motor.
- 5. Pemeriksaan kognitif, intra personal, interpersonal
Pemeriksaan
kognitif diketahui bahwa memori pasien baik, mampu memahami dan mengikuti
instruksi terapis. Pemeriksaan interpersonal diketahui bahwa pasien mempunyai
semangat untuk sembuh sehingga dia rajin datang untuk terapi. Pemeriksaan
intrapersonal diketahui bahwa pasien dapat bekerjasama dan berkomunikasi
baik dengan terapis atau lingkungan sekitar.
6. Pemeriksaan spesifik
a.
Test profokasi
1)
Phalen test
Pergelangan
tangan penderita dipertahankan selama kira-kira 30 detik dalam posisi flexi
palmar penuh. Hasil yang diperoleh hasil positif menunjukkan nyeri pada
pergelangan tangan kanan dan kiri.
Gambar
6
Phalen
test (De Wolf & Mens, 1994)
2)
Thinel test
Test
ini mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi
nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi
tangan sedikit dorsi fleksi. Dan hasil yang diperoleh adalah positif pada
pergelangan tangan kanan dan kiri.
Gambar
7
Tinel
test (De Wolf & Mens, 1994)
3)
Phrayer test
Ekstensikan
pergelangan tangan dengan maksimal tahanan selama 30 detik kemudian lepaskan
maka akan timbul nyeri di pergelangan tangan. Dan hasil yang diperoleh adalah
positif pada pergelangan tangan kanan dan kiri.
b.
Dermatom test
Dermatom
test adalah test sensitifitas pada daerah yang mendapatkan persyarafan
nervus medianus. Yaitu berupa test tajam tumpul ataupun panas dingin. Dan
hasil dari dermatom test yang penulis lakukan menunjukkan tidak adanya
pengurangan sensibilitas pada daerah yang disyarafi nerves medianus pada
pergelangan tangan kanan dan kiri.
c.
Pengukuran kekuatan otot
Yaitu
pengukuran secara fungsional dengan mengukur kekuatan dan integrasi dari fungsi
dasar tangan yang berupa kelompok otot flexor, ekstensor, abduktor, dan
adduktor pergelangan tangan dengan menggunakan MMT (Manual muscle Testing). MMT
(Manual Muscle Testing) adalah suatu usaha untuk mengetahui kemampuan seseorang
dalam menunjukkan kontraksi otot. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan adalah
Tabel 1
Nama Otot
|
Nilai otot
|
Wrist kanan:
Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
Wrist kiri
Fleksor wrist
Ekstensor wrist
Ulnar deviasi
Radial deviasi
|
4
5
5
4
5
4+
5
4
|
Hasil
pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT
d.
Diskriminasi 2 titik
Dengan
mencari sensoris yang lemah pada distribusi nervus medianus yang telah
disebutkan di depan dengan menggunakan bolpoin. Dan dari hasil pemeriksaan yang
dilakukan pada daerah tangan kanan dan kiri adalah tidak adanya penurunan
sensibilitas.
e.
VAS (Visual Analog Scale )
Yaitu
sebuah parameter yang digunakan untuk pengukuran nyeri yang menggunakan nilai
0cm sampai 10cm ( 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sekali). Dan hasil yang diperoleh
adalah:
Kanan:
Nyeri diam: 0 mm, Nyeri gerak saat gerakan fleksi dan ekstensi
wrist: 4 mm, Nyeri tekan pada dorsal tangan: 2 mm.
Kiri:
Nyeri diam: 0 mm, Nyeri gerak saat gerakan fleksi dan ekstensi wrist: 4
mm, Nyeri tekan pada dorsal tangan: 2 mm.
B. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan fisioterapi untuk memberikan metode yang tepat dan efektif
berdasarkan masalah yang dihadapi, penyebab dan kemampuan pasien sehingga
tujuan dari terapi dapat tercapai dengan baik dan yang diharapkan dari program
terapi dapat terwujud. Pada kasus carpal tunnel syndrome ini pelaksanaan fisioterapi
menggunakan modalitas ultra sonic dan terapi latihan untuk mengatasi
problematik yang dihadapi pasien.
Terapi
pertama (T1) tanggal 5 Desember 2007:
- 1. Ultra sonic
Gambar
8
Ultra
sonic
a. Persiapan alat
Mesin
di test apakah mesin dalam keadaan baik dan dapat mengeluarkan gelombang ultra
sonic dengan cara memberi air pada tranduser guna menampung air dan
dipegang menghadap ke atas kemudian mesin dihidupkan, bila mesin dalam keadaan
baik maka air akan bergerak seperti mendidih kemudian koupling medium, handuk,
tissue, dan alkohol dipersiapkan.
b. Persiapan pasien
Pasien
diposisikan senyaman mungkin, rileks, dan tanpa adanya rasa sakit yaitu posisi
dengan duduk kemudian tangan supinasi diletakkan diatas bed, kemudian pada
bagian tangan disuport oleh bantal. Dan tangan yang akan diterapi harus
terbebas dari pakaian dan segala aksesoris. Sebelum pemberian terapi dilakukan
tes sensibilitas dengan menggunakan tabung berisi air panas dan dingin didaerah
tangan bagian palmar. Posisi terapis duduk di depan pasien. Pasien diberi
penjelasan tentang tujuan pengobatan yang diberikan dan juga rasa panas yang
dirasakan dan jika pasien merasakan seperti kesemutan yang berlebihan
saat terapi berlangsung diharapkan pasien langsung memberitahukan kepada
terapis.
c. Pelaksanaan
Alat
diatur sedemikian rupa sehingga tangkai mesin dapat menjangkau tangan yang akan
diterapi kemudian area yang akan diterapi yaitu pada dorsal pergelangan tangan
kanan diberikan koupling medium kemudian tranduser ditempelkan lalu mesin dihidupkan
lalu tranduser digerakan pelan-pelan pada pergelangan tangan kanan pasien
secara tranvers dan irama yang teratur di atas pergelangan tangan dengan arah
tegak lurus dengan area terapi, tranduser harus selalu kontak dengan
kulit, dengan intensitas 1,5 watt/cm2 secara continous, lama terapi 5 menit
diperoleh dari luas area 25 cm2 dan ERA 5 cm2. Selama proses terapi berlangsung
harus mengontrol panas yang dirasakan pasien. Jika selama pengobatan rasa nyeri
dan ketegangan otot meninggi, dosis harus dikurangi dengan menurunkan
intensitas. Hal ini berkaitan dengan overdosis. Setelah terapi pada pergelangan
tangan kanan selesai intensitas dinolkan dan dilanjutkan untuk pergelangangan
tangan yang kiri sama seperti yang dilakukan pada pergelangan tangan kanan,
setelah selesai kemudian alat dirapikan seperti semula. Untuk (T2 – T6)
pemberian terapi ultra sonic pada pergelangan tangan kanan dan kiri sama
seperti T1.
- 2. Terapi Latihan
Ressisted exercise yaitu merupakan bagian dari active exercise dengan dinamik
atau statik kontraksi otot dengan tahanan dari luar. Tahanan dari luar bisa
dengan manual atau dengan mekanik.
Posisi
pasien: duduk di kursi dengan tangan disangga bantal, terapis duduk berhadapan
dengan pasien.
Pelaksanaan:
a.
Gerakan dorsi fleksi dan palmar fleksi
Posisi
pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh. Latihan diberikan pada
pergelangan tangan kanan dan kiri. Terapis menstabilisasi pada pergelangan
tangan kemudian pasien diminta menggerakkan kearah dorsal dan palmar fleksi dan
terapis memberi tahanan kearah palmar dan dorsal tangan dengan aba – aba
“pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8
pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien dengan pengulangan 8
– 10 kali (Bates, 1992).
Gambar
9
Gerak
dorsal fleksi dan palmar fleksi dengan tahanan (De Wolf & Mens,
1994)
b.
Gerakan ulnar deviasi dan radial deviasi
Ulnar
deviasi:
Posisi
pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh dan pronasi dalam posisi
netral. Latihan diberikan pada pergelangan tangan kanan dan kiri Terapis
memfiksasi pada distal lengan bawah dan pasien diminta menggerakkan tangan ke
ulnar dan terapis memberi tahanan kearah dorsal tangan dengan aba – aba
“pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8
pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien, dengan pengulangan
8 – 10 kali (Bates, 1992).
Gambar
10
Gerak
ulnar deviasi dan radial deviasi yang ditahan (De Wolf & Mens,
1994)
Radial
deviasi:
Posisi
pasien duduk nyaman dan lengan bawah tersangga penuh dan pronasi dalam posisi
netral. Latihan diberikan pada pergelangan tangan kanan dan kiri Terapis
memfiksasi pada distal lengan bawah dan pasien diminta menggerakkan tangan ke
radial deviasi dan terapis memberi tahanan kearah ulnar tangan dengan aba – aba
“pertahankan disini…tahan…tahan…”. Selama 7 hitungan kemudian hitungan ke-8
pasien rileks. Tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien, dengan pengulangan
8 – 10 kali (Bates, 1992).
Untuk
(T2 – T6) pemberian terapi latihan pada pergelangan tangan kanan dan kiri
sama seperti T1 tapi untuk tahanannya ditambah.
- 3. Edukasi
Agar
hasil maksimal maka perlu diberikan edukasi pada pasien tentang cara melakukan
aktivitas sehari-hari yang benar dan pemberian modalitas fisioterapi. Edukasi
yang diberikan untuk penderita carpal tunnel syndrome yaitu pasien diminta
untuk mengompres dengan air hangat pada kedua pergelangan sampai telapak tangan
kanan dan kiri sekitar 10 menit, menggerakkan kedua pergelangan tangan sebatas
nyeri pasien secara aktif dengan tujuan pemperlancar peredaran darah dan
mengistirahatkan kedua tangan saat timbul nyeri dan juga jangan mengangkat
beban berat yang menimbulkan nyeri, serta melakukan latihan tangan
seperti yang diajarkan terapis tapi menggunakan tahanan kantong pasir, jangan
mengangkat beban berat yang menimbulkan nyeri, jangan memaksakan bekerja secara
berlebihan saat tangan merasa nyeri .
C. Evaluasi Hasil Terapi
Untuk
mengetahui kemajuan dan kemunduran pasien dengan kondisi carpal tunnel syndrome
bilateral atas nama Ny. Eni berumur 33 tahun setelah mendapatkan terapi, maka
perlu dibandingkan antara hasil sebelum dan sesudah diberikan terapi.
- Tes provokasi
Test Provokasi
|
T0
|
T3
|
T6
|
Wrist kanan:
Test Thinel
Test
Phanel
Test Phrayer
Wrist kiri:
Test Thinel
Test Phanel
Test Phrayer
|
+
+
+
+
+
+
|
-
+
+
-
+
+
|
-
-
+
-
-
+
|
- Nyeri dengan VAS
VAS
|
T0
|
T3
|
T6
|
Wrist kanan:Nyeri tekan
Nyeri
gerak
Nyeri
diam
Wrist
kiri:
Nyeri
tekan
Nyeri
gerak
Nyeri
diam
|
2
4
0
2
4
0
|
2
3
0
2
3
0
|
1
3
0
1
3
0
|
- Kekuatan otot dengan MMT
MMT
|
T0
|
T3
|
T6
|
Wrist kanan:Fleksor wrist
Ekstensor
wrist
Ulnar
deviasi
Radial
deviasi
Wrist
kiri:
Fleksor
wrist
Ekstensor
wrist
Ulnar
deviasi
Radial
deviasi
|
4
5
5
4
5
4+
5
4
|
4+
5
5
4
5
4+
5
4+
|
4+
5
5
4
5
4+
5
4+
|
4.
Kemampuan fungsional pada tangan yaitu pasien sudah sedikit sempurna saat
menggenggam, memasak, mencuci dan saat mengendarai motor nyeri agak berkurang.
BAB 1V
PEMBAHASAN HASIL
Seorang
wanita berumur 33 tahun dengan carpal tunnel syndrome bilateral yang
menimbulkan masalah adanya paraestesia, rasa tebal dan penurunan kekuatan otot,
dan penurunan kemampuan fungsional tanganya setelah mendapatkan penanganan
fisioterapi dengan menggunakan modalitas ultra sonic dan terapi latihan
sebanyak 6 kali dengan remisi tiga kali seminggu didapatkan perkembangan yang
positif yaitu adanya pengurangan keluhan parestesia, pengurangan rasa tebal,
pengurangan rasa nyeri, peningkatan kemampuan fungsional tangan, peningkatan
kekuatan otot pada ke dua pergelangan tangannya.
Berikut
ini adalah grafik kemajuan dari problematika pada pasien dengan carpal
tunnel syndrome bilateral dengan menggunakan parameter tertentu.
Grafik 1
Grafik nilai VAS wrist kanan
Grafik 2
Grafik nilai VAS wrist kiri
Dari
2 grafik di atas dapat dilihat pengaruh pemberian ultra sonic pada
pergelangan tangan kanan dan kiri sama yaitu nyeri gerak dan nyeri tekan
berkurang 1 , sedangkan nyeri diam tidak ada.
Grafik 3
Grafik nilai peningkatan kekuatan otot
pergelangan tangan kanan
Grafik 4
Grafik nilai peningkatan kekuatan otot
pergelangan tangan kiri
Dari
2 grafik di atas dapat dilihat bahwa kekuatan otot pada semua sendi pergelangan
tangan kanan dan kiri mengalami peningkatan.
Tabel 2
Tabel test provokasi pada pemeriksaan carpal tunnel syndrome
Test Provokasi
|
T0
|
T3
|
T6
|
Wrist kanan:
Test Thinel
Test Phanel
Test Phrayer
Wrist kiri:
Test Thinel
Test Phanel
Test Phrayer
|
+
+
+
+
+
+
|
-
+
+
-
+
+
|
-
-
+
-
-
+
|
Data
yang dapat memberikan bukti klinis yaitu dari data yang bersifat subjektif dari
pasien antara lain adanya pengurangan keluhan kesemutan dan rasa tebal pada
tangan kanan dan kirinya, peningkatan kemampuan fungsional tangan dan
peningkatan kekuatan otot, kemudian test tinel dan test phalen negative pada T6
pada ke dua pergelangan tangannya.
Pada
kasus ini penggunaan ultra sonic efektif dalam mengurangi nyeri karena adanya
pengaruh termal dan pengaruh langsung dari serabut saraf. Nilai ambang rangsang
nyeri meningkat setelah pemberian Ultra Sonic dengan intensitas 1 – 1,5 W/cm2
selama 2 menit (Michlovitz, 1996). Menurut Midellamas dan chatterje
bahwa acut soft tissue injury dapat membaik dengan diberikan
ultra sonic 1,5 MHz pada intensitas 0,5 – 1 watt/cm² selama 4 – 10
menit untuk jaringan superficial dan 1-2 watt/cm² untuk jaringan yang lebih
dalam. Dengan gelombang continous pada ultra sonik pada intensitas 0,5 – 2
W/cm2 dan frekuensi 1,5 MHz telah menghasilkan efek yang lebih efektif pada
jaringan superficial dari pada pemanasan dengan parafin dan modalitas lainnya
dalam hal mengurangi nyeri pada soft tissue injury atau pada kondisi
akut (Cameron, 1999). Selain itu dengan berkurangnya nyeri maka tidak terjadi
hambatan dalam kontraksi otot dan kekuatan ototpun bias meningkat, sehingga
kemampuan menggenggam juga meningkat.
Efek
yang dihasilkan ultra sonic salah satunya yaitu efek thermal yang akan
mengakibatkan dilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan aliran darah
yang membawa oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk perbaikan jaringan.
Selain itu proses pengangkutan zat pengiritasi menjadi lebih lancar sehingga
diperoleh efek rileksasi. Dengan frekuensi 1MHz efek thermal dari pemakaian
ultra sonik dapat menembus jaringan hingga kedalaman 5 cm dari permukaan kulit
(Cameron, 1999). Adanya pengaruh non termal dari ultra sonic mampu memberikan
efek peningkatan permeabilitas jaringan kolagen dan perubahan aktifitas seluler
yang berperan dalam proses regenerasi jaringan (Sujatno dkk, 2002).
Nyeri
spontan, tenderness, erytema, dan swelling setelah 10 kali pengobatan
selama 12 hari menunjukkan perbandingan yang berarti dibanding terapi infra
red, SWD, atau wax bath (Michlovitz, 1996). Sedang penelitian lain
menunjukan bahwa dengan pemberian ultra sonic dengan dosis 1 watt/cm²
dengan gelombang konstan selama 5 menit dapat meninggikan ambang rangsang
(TITAFI, XV). Penggunaan ultra sonic telah digunakan sejak 50 tahun yang lalu
dan efek yang ditimbulkan paling besar adalah efek biologi pada jaringan dengan
frekuensi tinggi dengan angka kesembuhan mencapai 73% (Miclhovitz, 1996).
Selain
mengoptimalkan modalitas yang telah digunakan yaitu usaha untuk mengurangi
nyeri, untuk mencegah adanya atrofi atau menjaga sifat fisiologis otot tangan
dan sekitarnya, kelemahan otot, dan gangguan dalam aktivitas dapat dilakukan
dengan berbagai teknik terapi latihan baik dengan resissted exercise (Michlovitz,
1996). Manfaat dari terapi latihan adalah untuk meningkatkan kekuatan otot,
meningkatkan kemampuan fungsional, meningkatkan peredaran darah pada persendian
dan nutrisi tulang rawan sendi dan memperbaiki fungsi jaringan sekitar
persendian akibat peradangan atau perlengketan. Suatu percobaan membuktikan
bahwa dengan resisted exercise dengan pengulangan 1-8 kali dapat
meningkatkan kekuatan otot hingga 60% dan tidak terjadi hambatan dalam
kontraksi otot (Miclhovitz,1996).
Keberhasilan
yang nyata dengan pemberian terapi ultra sonic dan terapi latihan pada kondisi
carpal tunnel syndrome ini dipengaruhi oleh beberapa factor pendukung. Faktor
yang mendukung keberhasilan terapi yang dilaksanakan berasal dari faktor
terapis, pemilihan modalitas yang efektif, serta faktor dari pasien sendiri.
Faktor dari terapis antara lain tingkat pengetahuan tentang carpal tunnel
syndrome yaitu proses patologis sampai penatalaksanaan terapi, kemampuan
terapis dalam memilih dan melaksanakan program terapi dan pemberian edukasi
yang jelas dan benar kepada pasien. Modalitas ultra sonic dilakukan dalam
keadaan baik sehingga dapat memberikan efek terapi sesuai yang diinginkan.
Sedangkan dari pasien sendiri, dukungan dari pasien terhadap program terapi
yang telah ditetapkan dapat memberikan hasil sesuai yang diharapkan.
BAB V
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Dari
uraian yang telah dijelaskan dalam bab terdahulu, mulai dari penyebab,
perjalanan penyakit sampai pelaksanaaan terapi dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa carpal tunnel syndrome adalah suatu sindroma akibat adanya penekanan
nervus medianus pada terowongan carpal dengan derajat penekanan yang bervariasi
dari ringan sampai berat. Keadaan tersebut muncul karena adanya berbagai kondisi,
artinya syndroma ini jarang muncul sendiri tanpa adanya kondisi lain sebaga
pencetus carpal tunnel syndrome sendiri mempunyai gejala dan tanda klinis yang
beragam tergantung derajat kerusakan nervus medianus yang tertekan.
Modalitas
fisioterapi yang dapat diberikan pada kondisi ini antara lain: ultra sonic,
short wave diathermy, micro wave diathermy, infra red, massage, terapi
latihan, cold pack. Fisioterapi dengan modalitas ultra sonic dan terapi
latihan merupakan terapi yang dapat diberikan pada kondisi carpal tunnel
syndrome. Untuk mengatasi masalah yang muncul, yang meliputi impairment,
functional limitation, serta disabilitynya.
Pada
kasus ini dengan menggunakan ultra sonic dan terapi latihan selama 6 kali,
dapat mengatasi masalah dengan hasil menambah kekuatan otot, mengurangi nyeri
dan meningkatkan kemampuan fungsional tangan walaupun belum sepenuhnya
dapat diatasi. Peningkatan ini berkat kerja sama fisioterapis dan tenaga kerja
lain.
B. Saran
Adanya kerja sama dengan tenaga
kesehatan yang lain merupakan solusi yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahan yang ditimbulkan, meskipun pemberian modalitas fisioterapi
memegang peranan penting. Hendaknya fisioterapi melakukan identifikasi dan
interprestasi masalah dengan baik sehingga bisa diberikan interfensi yang
sesuai dengan permasalahan yang ada.
Dalam
pemberian modalitas perlu diperhatikan pengecekan terhadap modalitas
secara periodik agar program terapi yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang
optimal. Fisioterapi sendiri hendaknya mengembangkan pengetahuan dan selalu
merasa tidak puas dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Hal-hal yang juga
mempengaruhi keberhasilan terapi adalah motivasi pasien untuk sembuh, peranan
dari keluarga serta kerjasama dari tenaga kesehatan lain yang terkait.
Penulis
berharap semoga penyajian penulisan ini dapat bermanfaat dalam memberikan
pelayanan terapi pada carpal tunnel syndrome dengan modalitas fisioterapi
berupa ultra sonic dan terapi latihan. Akhirnya penulis menyadari bahwa
penyajian mengenai penatalaksanaan terapi ultra sonic dan terapi latihan pada
carpal tunnel syndrome bilateral dalam Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai
banyak kekurangan dan perlu disempurnakan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan guna kepentingan bersama
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bates,
Andrea, 1992; Aquatic Exercise Therapi; W.B Sounders Company, Philadelpia.
Cailliet,
Rene, 1990; Neck and Arm Pain; F.A Davis Company, Callifornia.
Chusid,
J.G,1967; Corelative Neuro Anatomy and Fungsional Neurologi; Thirtheen, Lange
Medical, Publication Los Altos, California, hal. 220.
Connoly,
John, 1981; The Management of Fractures and Dislocation; Bagian satu, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
De
Wolf AN and Mens, 1994; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh; Bohn Stafleu Von
Loghom, Houten Seventeen.
Dep
Kes RI, 1999; Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat 2010;
Jakarta.
Hislop,
H.J and Montgomery, J, 1995; Muscle Testing Technique of Manual Examination.
Sixth edition, Daniel and Wortingham’s, Churchill Livingstone, USA.
Kisner,
C and Colby, 1996; Therapeutic Exercise Fondation and Teqniques; Second
edition, Davis Company, Philadelpia .
Livingstone,
Churchill, 1983; The Hand Examination and Diagnosis; Aurora, New York.
Maxey,
Lisa, 1990; Rehabilitation For Postsurgical Ortopedic Patient; Cetakan Pertama,
Davis Company, St Louis, hal. 101.
Michlovitz,
Susan, 1996; Thermal Agent in Rehabilitation; Third edition, Davis Company,
Philadelpia.
Priyatna,
Heri, 1985; Exercise Therapy; Akademi Fisioterapi Surakarta.
Putz,
R and R. Pabst, 2000; Sobotta Atlas Anatomi Manusia; E.G.C, Jakarta.
Rambe,
Aldy (2004); Carpal Tunnel Syndrome; Diakses 4 Oktober 2006, dari
http:/www.rsup.adammalik.cline.net.html.
Shidarta,
Priguna, 1984; Sakit Neuro Muskulo Skeletal; Cetakan kedua, P.T
Dian Rakyat, Jakarta, hal. 140.
Snell,
Richard S,1997; Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; Bagian tiga,
penerbit EGC, Jakarta.
Sujatno,
I.g dkk, 2002; Sumber Fisis; Akademi Fisioterapi Surakarta.
Posted by wahyu
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan
kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan nasional yang diarahkan guna
mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajad kesehatan yang optimal. Kesehatan
optimal yaitu dimana keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Bina Depnakes,
2003 ).
Misi dari pembangunan kesehatan sendiri
yaitu mewujudkan Indonesia Sehat 2010, untuk mewujudkan Indonesia 2010 maka
diperlukan perencanaan yang matang, program yang jelas, penggerakan pelaksanaan
yang seksama dan sumber daya (manusia, pembiayaan, logistik) yang memadai.
Fisioterapis sebagai salah satu pelaksana layanan kesehatan ikut berperan dan
bertanggungjawab dalam peningkatan derajat kesehatan, terutama yang berkaitan
dengan obyek disiplin ilmunya yaitu gerak dan fungsi.
A. LATAR
BELAKANG
Dalam
melakanakan praktek sering kali kita jumpai pasien dengan keluhan nyeri di
sekitar leher. Bahkan banyak pasien yang merasakan nyeri tersebut menjalar
sampai ke lengan hingga jari tangan bahkan bahu sulit untuk diangkat karena
adanya kelemahan otot-otot bahu. Gangguan tersebut merupakan kumpulan
gejala-gejala yang dinamakan Cervical Root Syndrome atau lebih dikenal
dengan CRS. Nyeri yang menjalar tanpa atau adanya kelemahan otot-otot
bahu menyebabkan pasien kehilangan jam kerjanya karena dirasakan sangat
mengangggu dalam beraktifitas kerja maupun akifitas sehari-hari yang
manggunakan bahu. Adanya pernmasalahan yang timbul karena adanya gangguan
fungsi gerak bahu dan tangan maka fisiotrapis berperan aktif dalam menangani
permasalahan mengurangi nyeri , mengurangi spasme dan meningkatkan kekuatan
otot bahu.
Nyeri
cervical merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang
berobat ke fasilitas kesehatan. Di populasi didapatkan sekitar 34% pernah
mengalami nyeri cervical dan hamper 14% mengalami nyeri tersebut lebih dari 6
bulan. Pada populasi diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami nyeri cervical
(Turana, 2005). Dr. Ahmad Toha Muslim (2005) mengemukakan bahwa sekitar 80 %
penduduk di kota bandung pernah mengalami sakit leher.
Dalam
kasus ini penulis menggunakan modalitas fisioterapi berupa Short Wave
Diatermy ( SWD ). Pemberian SWD diharapkan dapat merangsang serabut syaraf
tipe II dan tipe III, sehingga akan menghalangi masuknya impuls nosiseptif
di tingkat medulla spinalis sehingga nyeri akan berkurang dan selanjutnya akan
memutus siklus nyeri-spasme-nyeri, Sedangkan modalitas yang kedua adalah
dengan ultra sonic . Ultra Sonic dapat mengurangi nyeri yang didapat dari
efek thermalnya. Dilihat dari tulang, ligament, tendon otot yang kesemuanya itu
berbentuk keras sehingga modalitas elektris fisioterapi yang penetrasinya dapat
menembus jaringan keras adalah ultra sonic (Comeron, 1999 ).
Kelemahan
otot-otot bahu dan leher yang disebabkan oleh entrapment akar saraf servikal
dapat diatasi dengan menggunakan modalitas fisioterapi yang berupa terapi
latihan. Jenis terapi latihan yang digunakan untuk kondisi ini adalah adalah srengtening
yaitu terapi latihan dengan menggunakan metode Propioceptif Neuromusular
Fasilitation (PNF) dan terapi latihan berupa traksi cervical secara manual.
Dengan traksi servical diharap terjadi penambahan ruangan pada intervertebralis
maka penyempitan yang dapat menekan akar saraf dapat berkurang, serta diperoleh
relaksasi otot-otot leher. Sedangkan dengan PNF berusaha
memberikan rangsangan sedemikian sehingga diharapkan timbul reaksi-reaksi yang
sesuai dengan perangsangan yang akhirnya gerakan-gerakan yang diinginkan
tercapai. Berdasarkan prinsip PNF dari teori pergerakan yang menyatakan bahwa PNF
dapat memperbaiki kekuatan dan kondisi system neuro musuloseletal.
Tehnik ini bermanfaat untuk assisted otot-otot yang lemah sekaligus
strengthening otot-otot yang lebih kuat.
B. RUMUSAN
MASALAH.
Berdasarkan permasalahan pada kondisi CRS ini, maka penulis dapat merumuskan
masalah antara lain (1) Apakah Short wave Diatermy dan ultra sonic dapat
mengurangi nyeri (2) Apakah Terapi latihan dengan metode PNF dapat meningkatkan
kekuatan oot dan meningkatkan Lingkup Gerak Sendi? (3) Apakah traksi cervical
manual dapat menguragi penyempitan pada vertebrae cervialis.
C. TUJUAN
PENULISAN.
Dalam penulisan makalah ini tujuan yang ingin penulis capai adalah untuk
mengetahui (1) Manfaat SWD dan ultra sonic terhadap pengurangan nyeri (2)
Manfaat Terapi latihan dengan metode PNF terhadap meningkatkan kekuatan oot dan
meningkatkan Lingkup Gerak Sendi.(3) Manfaat traksi cervical terhadap
pengurangan penyempitan pada vertebrae cervicalis.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Anatomi Fungsional
- 1. Sistem tulang
- Arcus
Arcus
adalah bangunan yang merupakan lempengan dan simetris antara kanan dan kiri,
terletak pada posterior corpus. Pangkal dari corpus ini disebut radiks arcus
vertebralis. Di sebelah posterior dari lengkung ini bertemu linea mediana
posterior dan selanjutnya membentuk tonjolan seperti duri yang disebut prosessus
spinosus. Tonjolan meruncing pada batas dataran radiks dan arus ke lateral
disebut prosessus tranversus.
- Foramen vertebralis
Vertebra
cervicalis membentuk suatu columna vertebralis, dengan sendirinya tiap foramen
vertebrae yang lain membentuk kanalis di dalam columna vertebralis
yang ditempati oleh medulla spinalis, yaitu foramen vertebralis.
- Vertebrae cervicalis
Vertebrae
cevicalis terdiri dari tujuh vertebrae, yang masing-masing terhubung dengan
yang lain. Pada vertebra cervicalis satu sampai enam mempunyai corpus kecil.
Processusnya bersifat bifida (bercabang dua). Processus tranversusnya
mempunyai foramen transversarium yang membagi processus tranversum menjadi dua
tonjolan yaitu tuberkulum anterius dan posterius. tetapi pada
cervical enam terdapat pembesaran dari tuberkulum anterius yang disebut tuberkulum
karotikus yang terletak di arteria karotikus.
Sedangkan
pada vertebrae cervical tujuh terdapat perbedaan susunan dengan vertebrae
cervicalis lainya karena prosessus spinosusnya disini meruncing menuju
ke dorsal dan tidak bercabang menjadi dua lagi dan sangat menonjol sehingga
mudah diraba dari luar, oleh karena itu vertebrae cervical tujuh disebut vertebrae
prominens. Selain itu perbedaan yang lainya adalah foramen tranversarium
sangat kecil, sebab belum dilalui oleh pembuluh darah.
- 2. Sistem otot
Sesuai
dengan kondisi CRS ini maka dalam bab ini penulis akan membahas otot-otot yang
berhubungan dengan gerakan leher dan bahu yang meliputi flexor cervicalis
otot-otot penggerak utamanya adalah m. sternoleidomastoideus, m. sclaneus
medius dan anterior posterior, dimana otot-otot ini diinervasi oleh
C1-8, eksensor cervicalis otot penggerak utamanya adalah m. splennius
cervicis, m. semi spinalis, m. longisimus cervicalis, m. ilioastalis cervicis (diinervasi
C3-T6), lateral flexi otot penggerak utamanya adalah m. sternoleidomastoideus,
m. sclaneus anterior, medius dan posterior (diinervasi C2-3), rotasi,
penggerak utamanya adalah m. obliqus capitis inferior, m. semispinalis
cervicis, m. splenius cervicis, m. longus capitis (diinervasi
C2-T5).
Sedangkan
otot–otot penggerak bahu adalah m. deltoid anterior, m. supra
spinatus, dan m. coraco radialis untuk gerakan flexi, m. latisimus
dorsi dan m. teres mayor untuk ekstensi, m. deltoid middle, m. supra
spinatus untuk abduksi, m. latisimus dorsi, m. petoralis mayor, m. teres
minor dan m. coraco brachialis untuk adduksi, m. infraspinatus, m. teres
minor untuk internal dan eksternal rotasi.
- 3. Sistem persarafan
Sistem
persarafan merupakan sistem penghantar yang berfungsi sebagai perantara
impuls-impuls saraf yang berjalan di kedua arah antara susunan saraf pusat dan
jaringan tubuh lainya. Komponen badan saraf terdiri dari serabut-serabut yang
terikat menjadi satu oleh jaringan penyokong konektif. Sistem persarafan yang
terletak pada plexsus brachialis merupakan sistem saraf perifer yang mana
terdapat beberapa persarafan antara lain, n. medianus, n. ulnaris, n.
cuaeus, dan n. radialis (Chusid, 1993).
- a. Nerves Musculocutaneus
Nerves Musculocutaneus timbul dari fascicularis lateral plexsus
brachialis dan terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C5 dan
C6. mula-mula nerves ini terletak di sebelah lateral arteri axillaris, lalu
menembus muscular coraco brachialis dan turun secara oblique di sebelah
lateral diantara musculus biceps dan brachialis (Chusid, 1993).
- b. Nerves axillaris (circumflexa, C5-C6)
Nerves
axillaris berasal dari fasciculer post plexus brachialis dan terdiri
dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C5 dan C6, kemudian serabut
berjalan ke dorsal (Chusid, 1993).
- c. Nerves radialis (musculospiralis, C6-8 dan Th 1)
Nerves
radialis merupakan cabang yang terbesar daripada batas bawah muscular
pectoralis sebagai kelanjutan langsung dari fasciculer pectoralis dan
serabut-serabut yang berasal dari tiga segmen thoracal pertama dari medulla
spinalis. Selama berjalan turun sepanjang lengan, n. radialis ini menyertai
arteri profundus dan sekitar humerus serta di dalam sulcus
musculospinalis. (Chusid, 1993).
- d. Nerves Medianus (C6-8, Th1)
Nerves medianus dipercabangkan dari pleksus brachialis dengan dua buah
caput. Kedua caput tersebut berasal dari fasikulus lateral dan fasikulus
medial. Kedua caput tersebut bersatu pada bawah otot pectoralis minor,
jadi serabut-serabut dari dalam trunkus berasal dari tiga segmen cervical yang
bawah dan dari segmen thorakal pertama medulla spinalis di dalam lengan atas
bagian bawah (Chusid, 1993).
- e. Nerves Ulnaris (C8-Th1)
Nerves ulnaris
merupakan cabang terbesar daripada plexsus brachialis. Serabut syaraf
ini terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C8-Th1. Nerves
ulnaris ini berasal dari batas bawah musculus pectoralis minor dan
berjalan turun pada sisi medial lengan dan menembus septum intermuscular
untuk melanjutkan perjalanan dalam sulcus pada caput medialis (Chusid,
1993).
B. Patologi dan Problematik Fisioterapi
1. Definisi
Cervical Root Syndrome adalah keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau kompresi
akar-akar saraf cervicalis, yang ditandai dengan nyeri di leher yang menyebar
ke lengan atau tergantung pada akar saraf yang tertekan (Dorland, 1985).
2.
Etiologi
Beberapa
kondisi pada leher banyak disebabkan oleh pergeseran atau penjepitan dari akar
saraf atau gangguan pada foramen intervertebralis mungkin disertai dengan tanda
dan gejala dari CRS. Kondisi tebanyak pada kasus ini disebabkan oleh proses
degeneratif dan herniasi dari discus intervertebralis (Gartland, 1974).
3.
Patologi
Discus
intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus yang merupakan jaringan elastis,
yang dikelilingi oleh annulus fibrosus yang terbentuk oleh jaringan
fibrosus. Kandungan air dalam nucleus pulposus ini tinggi, tetapi
semakin tua umur seseorang kadar air dalam nuleus pulposus semakin
berkurang terutama setelah seseorang berumur 40 tahun, bersamaan dengan itu
terjadi perubahan degenerasi pada begian pusat discus, akibatnya discus ini
akan menjadi tipis, sehingga jarak antara vertebrae yang berdekatan mejadi
kecil dan ruangan discus menjadi sempit. Selanjutnya annulus fibrosus mengalami
penekanan dan menonjol keluar. Menonjolnya bagian discus ini maka jaringan
sekitarnya yaitu corpus-corpus vertebrae yang berbatasan akan terjadi suatu
perubahan. Perubahannya yaitu terbentuknya jaringan ikat baru yang dikenal
dengan nama osteofit. Kombinasi antara menipisnya discus yang
menyebabkan penyempitan ruangan discus dan timbulnya osteofit akan mempersempit
diameter kanalis spinalis. Pada kondisi normal diameter kanalis spinalis adalah
17 mm sampai 18 mm (Adam dan Victor, 1977). Tetapi pada kondisi CRS, kanalis
ini menyempit dengan diameter pada umumnya antara 9 mm sampai 10 mm (Adorte dan
Galsberg, 1980).
Pada
keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati seperempat sampai seperlima,
sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh jaringan lain sehingga tidak ada ruang
yang tersisa. Bila foramen intervertebralis ini menyempit akibat adanya
osteofit, maka akar-akar saraf yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang
tertekan ini mula-mula akan membengkok. Perubahan ini menyebabkan akar-akar
saraf tersebut terikat pada dinding foramen intervertebralis sehingga
mengganggu peredaran darah. Selanjutnya kepekaan saraf akan terus meningkat
terhadap penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat
fisiologisnya. Penekanan akan menimbutkan rasa nyeri di sepanjang daerah
yang mendapatkan persarafan dari akar saraf tersebut.
- 4. Tanda gejala
Adapun
gejala yang khas dari CRS yaitu rasa nyeri yang menjalar mengikuti alur
segmentasi serabut syaraf yang lesi sehingga disebut dengan nyeri radikuler,
gangguan fungsi motoris yang ditandai dengan kelemahan otot berdasarkan
distribusi myotom, terjadi spasme otot, gangguan sensibilitas pada segmen
dermatom, gangguan postural yang terjadi akibat menghindari posisi nyeri, dan
pada kondisi kronis timbul kontraktur otot dan kelemahan otot pada regio
cervical (Adam dan victor, 1980).
- 5. Diagnosis banding
Banyak
kondisi yang dapat menimbulkan nyeri pada leher dan bahu serta rasa tak nyaman
pada ekstremitas. Semua itu harus dibedakan dari mana asalnya dan bagaimana
mekanisme terjadinya. Diagnosis banding untuk CRS ini adalah :
- Carpal Tunnel Syndrome,
Adalah suatu gejala yang muncul bila ada penekanan nervus medianus oleh
ligamen transversum sehingga timbul kesemutan, nyeri menjalar ke tangan
(Cailliet, 1991).
- Thoracic outlet syndrome
- a. Anterior sclanei syndrome
Disebabkan karena adanya kompresi
bundle neurovaskuler diantara otot sclanei dan costa pertama.
Gejalanya adalah numbness, tingling, di lengan dan jari-jari tangan.
Biasanya menggambarkan kesemutan datang dan pergi dari tangan dan jari tangan.
Nyeri ini letaknya dalam biasanya datang setelah duduk lama (Cailliet, 1991).
- b. Petoralis minor syndrome
Muncul
bila ada penekanan bundle neuromuscular diantara bagian antero lateral
atas dan otot pectoralis minor terjadi bila hiperabduksi humerus
mengulur otot pectoralis minor ( Cailliet, 1991).
- Claviculocostal syndrome
Timbul
karena adanya penekanan pada bundle neurovasculer saat melewati belakang
clavicula di sebelah anterior costa pertama, gejala lainnya adalah adanya dropy
posture yaitu posturnya salah, lelah, cemas, dam depresi. (Cailliet,
1991).
- 6. Komplikasi
Komplikasi
dari CRS adalah atrofi otot-otot leher dan adanya kelemahan otot-otot leher dan
bahu, dan ketidakmampuan tangan untuk melakukan aktifitas (Sidharta, 1984).
- 7. Problematika fisioterapi
- Impairment, yaitu berupa nyeri, penurunan kekuatan otot bahu dan leher, serta penurunan lingkup gerak sendi bahu dan leher..
- Functional limitation, berupa gangguan saat menengok dan menunduk, nyeri saat bangun tidur dan tidur miring, nyeri saat mengangkat lengannya.
- Disability, yaitu tidak ada gangguan dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
C. Teknologi Fisioterapi
Modalitas
fisioterapi yang digunakan dalam penanganan CRS ini adalah SWD, ultra
sonic, dan terapi latihan.
- 1. SWD (Short Wave Diatermy)
SWD adalah alat yang menggunakan energi listrik elektromagnetik yang dihasilkan
arus bolak-balik frekuensi tinggi. Frekuensi yang diperbolehkan pada penggunaan
SWD adalah 27 MHz dengan panjang gelombang 11 m. Energi elektromagnetik yang
dipancarkan dari emitter akan menyebar sehingga kepadatan gelombang semakin
berkurang pada jarak semakin jauh. Berkurangnya intensitas energi
elektromagnetik juga disebabkan oleh penyerapan jaringan (Banress, 1996).
Dalam
kasus ini penulis menggunakan modalitas fisioterapi berupa Short Wave Diatermy
( SWD ). Pemberian SWD diharapkan dapat merangsang serabut syaraf tipe II dan
tipe III, sehingga akan menghalangi masuknya impuls nosiseptif di
tingkat medulla spinalis sehingga nyeri akan berkurang dan selanjutnya akan
memutus siklus nyeri, kemudian akan memberikan efek relaksasi otot-otot lain
yaitu mempengaruhi aliran darah lokal yang membuat spasme otot berkurang
sehingga terapi relaksasi dan nyeri dapat terhambat ( Cailliet, 1991).
- 2. Ultra Sonic
Gelombang
ultra sonic adalah gelombang yang tidak dapat didengar oleh manusia. Merupakan
gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya dari arah “ke” dan “dari” dan
perambatannya memerlukan media penghantar. Media pengahantar harus elastis agar
partikel bisa merubah bentuk dan kembali ke bentuk semula untuk memungkinkan
gerakan “ke” dan “dari”. Dari sini dijumpai daerah padat atau compression
dan daerah renggang atau refraction (Sujatno dkk, 2002).
Dalam
penggunakan modalitas ultra sonic beberapa ahli membuktikan bahwa ultra sonic
efektif untuk mengurangi nyeri, karena ultra sonic dapat meningkatkan ambang
rangsang, mekanisme dari efek termal panas. Selain itu pembebasan histamin,
efek fibrasi dari ulta sonic terhadap gerbang nyeri dan dari suatu percobaan
ditemukan bahwa pemakaian ultra sound dengan pulsa rendah .
a. Efek
Ultra sonic
1)
Efek mekanik
Efek yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik. Gelombang ultra
sonic menimbulkan adanya peregangan dan perapatan didalam jaringan dengan
frekuensi yang sama dengan frekuensi dari ultra sonic. Efek mekanik ini juga
disebut dengan micro massage. Pengaruhnya terhadap jaringan yaitu
meningkatkan permeabilitas terhadap jaringan dan meningkatkan metabolisme
(Cameron, 1999).
Micro
massage adalah
merupakan efek terapeutik yang penting karena semua efek yang timbul oleh
terapi Ultra Sonic diakibatkan oleh micro massage ini (Cameron, 1999).
2)
Efek termal
Panas yang dihasilkan tergantung dari nilai bentuk gelombang yang dipakai,
intensitas dan lama pengobatan. Yang paling besar yang menerima panas adalah
jaringan antar kulit dan otot. Efek termal akan memberikan pengaruh pada
jaringan yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang mengakibatkan
penambahan oksigen dan sari makanan dan memperlancar proses metabolisme
(Cameron, 1999).
3)
Efek biologi
Efek
biologi merupakan respon fisiologi yang dihasilkan dari pengaruh mekanik dan
termal. Pengaruh biologi ultra sonic terhadap jaringan antara lain:
a)
Memperbaiki sirkulasi darah
Pemberian
ultra sonic akan menyebabkan kenaikan temperatur yang menimbulkan vasodilatasi
sehingga aliran darah ke daerah yang diobati menjadi lebih lancar. Hal ini akan
memungkinkan proses metabolisme dan pengangkutan sisa metabolisme serta suplai
oksigen dan nutrisi menjadi meningkat (Cameron, 1999).
b)
Rileksasi otot
Rileksasi
otot akan mudah dicapai bila jaringan dalam keadaan hangat dan rasa sakit tidak
ada. Pengaruh termal dan mekanik dari ultra sonic dapat mempercepat proses
pengangkutan sel P (zat asam laktat) sehingga dapat memberikan efek rileksasi
pada otot (Cameron, 1999).
c) Meningkatkan
permeabilitas jaringan
Energi
ultra sonic mampu menambah permeabilitas jaringan otot dan pengaruh mekaniknya
dapat memperlunak jaringan pengikat.(Cameron, 1999).
d)
Mengurangi nyeri
Nyeri
dapat berkurang dengan pengaruh termal dan pengaruh langsung terhadap saraf.
Hal ini akibat gelombang pulsa yang rendah intensitasnya memberikan efek
sedatif dan analgetik pada ujung saraf sensorik sehingga mengurangi nyeri. Dan
dasar dari pengurangan rasa nyeri ini diperoleh dari, perbaikan sirkulasi
darah, normalisasi dari tonus otot, berkurangnya tekanan dalam jaringan,
berkurangnya derajat keasaman (Cameron, 1999).
e).
Mempercepat penyembuhan
Pemberian
Ultra sonic mampu mempercepat proses penyembuhan jaringan lunak . Adanya
peningkatan suplai darah akan meningkatkan zat antibodi yang mempercepat
penyembuhan dan perbaikan pembuluh darah untuk memperbaiki jaringan ( Cameron,
1999).
g).
Pengaruh terhadap saraf parifer
Menurut
beberapa penelitian bahwa Ultra Sonic dapat mendepolarisasikan saraf efferent,
ditunjukkan bahwa getaran Ultra Sonic dengan intensitas 0,5-3 w/cm2 dengan
gelombang kontinyu dapat mempengaruhi exitasi dari saraf perifer. Efek ini
berhubungan dengan efek panas. Sedangkan dari aspek mekanik tidak terlalu
berpengaruh (Sujatno dkk, 2002).
- 3. Terapi latihan
a. Dengan metode PNF
Terapi
Latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam
pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif
maupun pasif. Atau pula dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
mempercepat proses penyembuhan dari suatu cidera yang telah merubah cara
hidupnya yang normal. Hilangnya suatu fungsi atau adanya hambatan dalam
melakanakan suatu fungsi dapat menghambat kemampuan dirinya untuk hidup secara independent
yaitu dalam melaksanakan aktifitas kerja (Priyatna, 1985).
Tujuan dari Terapi latihan adalah (1) Memajukan aktifitas penderita, (2)
Memperbaiki otot yang tidak efisien dan memperoleh kembali jarak gerak sendi
yang normal tanpa memperlambat usaha mencapai gerakan yang berfungsi dan
efisien, (3) Memajukan kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan
gerakan-gerakan yang berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat beraktifitas
normal (Priyatna, 1985).
Jenis
terapi latihan yang digunakan untuk kondisi CRS adalah Terapi latihan dengan
menggunakan metode Propioceptif Neuromusular Fasilitation (PNF) berusaha
memberikan rangsangan sedemikian sehingga diharapkan timbul reaksi-reaksi yang
sesuai dengan perangsangan yang akhirnya gerakan-gerakan yang diinginkan tercapai.
Tujuan PNF adalah untuk meningkatkan kekuatan otot. Berdasarkan prinsip PNF
dari teori pergerakan yang menyatakan bahwa PNF dapat memperbaiki kekuatan dan
kondisi system neuro musuloseletal. Tehnik ini bermanfaat untuk assisted
otot-otot yang lemah sekaligus strengthening otot-otot yang lebih kuat tanpa
melupakan prinsip-prinsip dasar PNF dan teknik PNF.
Adapun
prinsip-prinsip dasar yang berhubumgan dengan kasus CRS ini antara lain:
- Tahanan maksimal (optimal)
Tahanan maksimal maksudnya adalah tahanan maksimal yang masih bisa dilawan oleh
penderita dengan baik sehingga memungkinkan penderita untuk mempertahankan
suatu posisi (kontraksi isometric) dengan gerakan yang halus. Tahanan ini
tergantung toleransi pasien ( Voss, 1985).
Pegangan pada lumbrical akan mempermudah dalam memberikan tahanan rotasi.
Tahanan diberikan sejak awal gerakan sampai titik lemah gerakan. Faktor-faktor
mekanis seperti cara kerja “lever”., letak “as” dan gaya berat (gravitasi)
sangat mempengaruhi terhadap besar-kecilnya tahanan yang diberikan (
Voss, 1985).
- 2. Manual contact
Manual contact dimaksudkan agar pasien mengerti arah gerakan yang diminta oleh terapis
dan sebaiknya dilakukan dengan kedua tangan sehingga mudah untuk memberikan
tahanan ataupun assisted ( Voss, 1985).
- Stimulasi verbal (komando)
Rangsangan suara dapat memacu semangat aktivitas penderita. Dalam memberikan aba-aba
kepada penerita harus jelas dan sering diulang-ulang.
- 4. Body position dan body mechanic
Terapis berdiri pada grove dan menghadap ke pasien sehingga memungkinkan selalu
memperhatikan pasien agar dalam melakukan latihan di rumah sama seperti yang
diajarkan terapis.
- Traksi dan aproksimasi.
Traksi adalah
tarikan yang membuat saling menjauhnya segmen yang satu terhadap segmen yang
lain atau usaha mengulur segmen pada suatu ekstrimitas.
Aproximasi adalah
saling menekanya atau memberikan tekanan pada suatu segmern atau ekstrimitas.
Aproximasi bertujuan untuk stabilisasi sendi.
- Pola gerak
Pola gerak pada ekstrimitas atas adalah flksi-abduksi-eksoroasi, fleksi-adduksi-eksorotasi,
ektsensi, abduksi-eksorotasi, ekstensi-abduksi-endorotasi,
ekstensi-adduksi-endorotasi.
Teknik yang digunakan pada kasus ini adalah “ repeated contration”. Repeated
contration adalah suatu teknik isotonic untuk kelompok agonis, yang
dilakukan pada bagian–bagian tertentu, dari lintasan gerakan dengan jalan
memberikan “ restrech “ yang disusun dengan kontraksi isotonic. Dan
tujuan dari teknik ini antara lain memperbaiki kekuatan otot dan daya tahan,
memperbaiki lingkup gerak sendi secara aktif, menurunkan ketegangan atau
penguluran antagonis, serta penguatan (strengtening) (Wahyono, 2002).
b. Dengan traksi cervical.
Traksi adalah
tarikan yang membuat saling menjauhnya segmen yang satu terhadap segmen yang
lain atau usaha mengulur segmen pada suatu ekstrimitas.
Dengan traksi cervical diharap terjadi penambahan ruangan pada intervertebralis
maka penyempitan yang dapat menekan akar saraf dapat berkurang, serta diperoleh
relaksasi otot-otot leher (Musthafa, 1988).
Dalam percobaan traksi yang diberikan pada susunan vertebrae cervicalis. oleh
Olachis dan Strohm disebutkan bahwa dalam keadaan lordosis servical normal.
Traksi diberikan dengan tarikan diperoleh regangan jarak antara prosessus
spinosus pada vertebrae yng berbatasan sebesar 1-1,5mm (Musthafa, 1988).
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Hastono, 2000, Organisasi Kesehatan; Bina Dipnakes ; Jakarta.
Bambang
Hastono, Peningkatan Kualitas Layanan Kesehatan; Bina Dipnakes; Jakarta.
Cailliet,
Rene, 1990; Neck and Arm Pain ; F.A Davis Company, Callifornia.
Chusid,
J.G, 1993; Neuroanatomi Corelatif dan Neuro Fungsional ; Bagian satu,
Gajah Mada University Press, Yogjakarta.
De Wolf AN
and Mens, 1994 ; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh ; Bohn Stafleu Von
Loghom, Houte Seventeen.
Mustafa,
Ihsan ; Penggunaan traksi pada penanggulangan nyeri; Kumpulan makalah TITAFI ke
VI, Jakarta, 1988
Michlovits,
Susan, 1996; Thermal Agent in Rehabilitation ; Third Edition, Davis
Company, Philadelpia.
Priyatna,
Heri,1985; Exercise Therapy ; Akademi Fisioterapi Surakarta.
Priyatna,
Heri dan Suharyono, 1982 ; Joint Mobility ; Akademi Fisioterapi
surakarta.
Sidharta, Priguna1984
; Neurologi klinis dan Pemeriksaan ; Cetakan pertama, p.t Dian Rakyat,
Jakarta.
Voss, et
all ; Propeoceptive Neuromusceletal Falititaion ; 3 rd, Harpes Row,
Philadelpia, 1985.